Selalu, saat membaca atau mendengar berita atau pembahasan mengenai derita buruh migran yang bekerja di Malaysia, saya teringat film ”Babel.”Film yang memenangkan kategori Best Director di Festival De Cannes 2006 ini, menggambarkan kehidupan masyarakat dunia dari berbagai negara secara pararel. Dikemas dengan rangkaian kejadian yang saling terkait (dengan setting negara Amerika Serikat, Meksiko, Jepang dan Maroko), pararelnya masyarakat dunia dalam “Babel” terlihat dari adanya hubungan lintas batas antar warga negara.
Salah satu bentuk hubungan lintas batas yang digambarkan “Babel” adalah kisah tenaga kerja wanita (TKW) Meksiko bernama Amelia. Ia warga ras Hispanik, bekerja di Amerika Serikat sebagai pengasuh kedua anak pasangan ”kulit putih”, Richard-Susan (Brad Pitt-Cate Blanchet). Amelia sudah menjadi bagian keluarga itu, tetapi karena Amelia dan keluarga Richard berasal dan tumbuh dari masyarakat dan budaya yang berbeda, mereka ”dipisahkan” karena saling tak memahami satu sama lain. Dampaknya, karena suatu kejadian, mereka saling curiga dan tak percaya. Akhirnya, Amelia sebagai pekerja dari negara “dunia ketiga” dienyahkan dengan dipidanakan dan dideportasi kembali ke negaranya, oleh keluarga Richard sebagai bagian dari masyarakat negara “adi kuasa”.
TKW Indonesia pun ”disingkirkan” karena keadaan itu. Garis administrasi negara yang memisahkan Indonesia-Malaysia, berdampak pada pikiran dan rasa saling tak memahami, “apa itu Indonesia?” dan “apa itu Malaysia?”. Si Malaysia kerap kali mengartikan Indonesia sebagai Indon yang miskin tak terdidik sehingga banyak yang bermigrasi, mengais kesejahteraan di Malaysia. Lalu, Si Indonesia mengartikan Malaysia sebagai bangsa yang jahat, licik dan senang merebut kekayaan alam dan budaya Indonesia. TKW Indonesia berdiri di antara stigma itu; dan derita yang dialaminya malah memperkuat stigmatisasi. Sebuah stigma yang memposisikan kita yang “di dalam batas” dengan mereka yang “di luar batas”.
Dasar manusia beraktivitas
Muhammad Chatib Basri dalam tulisannya berjudul: Kapitalisme, Domba dan Meja Panjang, mengutip pandangan David Friedmen bahwa, ada tiga dasar yang mendorong manusia melakukan aktivitas. Yang pertama karena cinta. Ada kala manusia melakukan sesuatu hal secara sukarela, tanpa merasa dipaksa dan tanpa diimingi imbalan atau didasari kepentingan.
Yang kedua karena paksaan. Pilihan ini kerap kali efektif untuk membuat orang lain melakukan apa yang kita inginkan. Tetapi paksaan akhirnya punya batas, ada biaya yang sangat besar untuk ini.
Maka perlu dasar ketiga: trade. Dalam trade, seseorang akan bersedia melakukan aktivitas bagi kepentingan orang lain, jika kepentingannya juga diakomodasi oleh orang itu. Dengan kata lain di sini terjadi pertukaran. ”Quid pro qou”, atau ”ini untuk itu”. Dalam konteks ini, ketika orang merasa bahwa dengan melakukan sesuatu dia akan menerima manfaat dari tindakannya, maka keputusannya untuk bertindak akan bersifat sukarela. Selama kepentingan-kepentingan itu berinteraksi, dan masing-masing pihak menyadari kepentingannya dalam berinteraksi, selama itu pula proses interaksi sosial berjalan.
Globalisasi
Ketika dunia diselimuti iklim globalisasi, di mana banyak pemerintah negara sadar bahwa keberlangsungan hidup penduduk suatu negara tak bisa berlanjut tanpa adanya aktivitas interaksi dengan negara lain. Kemudian, negara pun sadar bahwa, ketika ia ingin mencapai tujuan-tujuan industri atau keberhasilan dalam bidang ekonomi, ada keadaan di mana penduduk usia produktif di negara itu tak bisa memenuhi jumlah dan kualitas yang dibutuhkan.
Sedangkan negara lain ada yang membutuhkan kesempatan kerja dalam jumlah banyak. Kelebihan penduduk usia produktif dan keterbatasan negara dalam menyediakan lapangan kerja, mengakibatkan banyaknya usia produktif menganggur di negara ini.
Dua kondisi umum negara itulah yang terjadi pada negara Malaysia dan Indonesia. Malaysia-Indonesia saling memenuhi kebutuhan dalam keberlangsungan hidup. Maka hubungan antara TKW Indonesia dengan penduduk Malaysia (pengguna jasa TKW) bisa ditempatkan pada konsep dasar dorongan aktivitas dasar ketiga: trade. TKW Indonesia bersedia melakukan aktivitas bagi kepentingan penduduk Malaysia, karena TKW Indonesia mempunyai kepentingan mendapat penghasilan dari penduduk Malaysia.
Kesadaran akan kondisi kekurangan -dan pentingnya usaha saling melengkapi kekurangan- itu hendaknya juga mengantarkan pada kesadaran bahwa kita sejatinya merupakan satu bagian dalam masyarakat dunia. Seharusnya kita juga menyadari, batas negara selama ini bagi sebagian kita malah lebih berfungsi sebagai sekat pembatas masyarakat dunia yang (ber)satu. Batas negara telah menghambat keinginan dan usaha mereka dalam memenuhi kebutuhan untuk keberlangsungan hidup. Padahal, adakah dari kita yang bisa memilih untuk dilahirkan di negara maju dengan tingkat kesejahteraannya yang tinggi? Adakah dari kita yang mau memilih untuk dilahirkan di negara yang miskin dan penuh konflik? Bisakah kita memilih untuk dilahirkan di negara tertentu? Semua pasti menjawab: ”tidak!” Lalu mengapa masih ada negara yang menghambat dan melarang masuk orang yang memiliki kewarganegaraan tertentu? Lalu mengapa kita masih mementingkan batas-batas ”Indonesia”, ”Malaysia”, ”Amerika Serikat”, ”Meksiko” dan lainnya.
Batas negara telah menyulitkan dan membuat TKW menderita. Dimulai saat mereka hendak berangkat ke Malaysia. Atas dasar niat dan hak memenuhi kesejahteraan dalam keberlangsungan hidupnya, mereka sudah harus merogoh kocek untuk urusan macam-macam seperti surat-surat dan banyak pungutan. Ketika sampai di Malaysia, dapat dilihat dan dirasakan bahwa, ”batas” telah menciptakan segregasi antar masyarakat “Malaysia” dengan masyarakat “Indonesia”. Segregasi itu hadirkan stigma “si lebih tinggi” dan “si lebih rendah”; ”si pemberi” dan ”si pengais”, antara kedua masyarakat itu. Segregasi yang membuat para TKW mudah menerima penyiksaan, pemerkosaan, hingga gaji yang tidak dibayar. Belum lagi dampak sosial yang mesti ditanggung keluarga, seperti berpisah dengan suami dan telah memicu perceraian.
Karena itu batas negara harus kita artikan kembali. Batas negara bukan untuk membuat kita sulit berpindah tempat, beraktivitas dan berinteraksi. “Batas” bukan untuk membuat kita sulit dalam memahami satu sama lain, sehingga tercipta stigma, prasangka dan tindakan yang tak adil. Batas administrasi negara sebaiknya kita pahami sebagai identitas dan identifikasi atas perbedaan dan keragaman yang ada di dunia. Bukan sebagai pemisah antar perbedaan dan keragaman itu, apalagi sampai menempatkan suatu perbedaan/keragaman lebih hebat dibandingkan perbedaan/keragaman yang lain.
Perwujudannya memang sulit. Diperlukan usaha perundingan yang berkelanjutan dan intim dengan semangat rekonsiliasi dunia. Di sini peran negara-negara maju sangat besar. Dengan tak menempatkan dirinya sebagai negara yang paling tinggi, mereka harus mengajak negara-negara lain untuk terbuka dan menghilangkan orientasi dan identitas sempit yang lokalistik dan sektarian demi membangun peradaban global yang menjunjung tinggi nilai-nilai universal manusia sebagai masyarakat dunia yang satu.
Dorongan cinta
Kembali pada konsep tiga hal dasar yang mendorong manusia melakukan aktivitas. Tak dapat dipungkiri dunia kini dipenuhi dengan kepentingan-kepentingan. Tak juga dapat dipungkiri jika isi dunia pun “digerakkan” oleh paksaan dari kekuatan dan kekuasaan pemerintahan. Tetapi kita jangan membiarkan itu terus berlangsung. Kita manfaatkan kondisi global ini untuk merubah menjadi kondisi yang lebih “indah”.
Perlu adanya pencerahan dan penyadaran dari kita serta usaha pencerahan dan penyadaran kepada yang lain bahwa kita tak bisa selamanya bertindak berdasarkan kepentingan atau pun diperintah. Kita pun sebaiknya tak menjadi manusia pedagang yang segala tindakannya didasari oleh perhitungan keuntungan semata. Atau sebagai manusia budak yang segala tindakannya didasari oleh perintah dengan ketakutan dan ketidakberdayaan.
Sebaiknya kita selalu berusaha untuk menjadi manusia pecinta yang segala tindakannya didasari oleh cinta terhadap sesama manusia. Cintalah yang bisa dengan total mendorong manusia untuk bergerak, beraktivitas, dan bersatu melintasi batas-batas.
Mengartikan -dan merumuskan- kembali batas-batas negara yang tadinya cenderung sebagai sekat-sekat penghambat dan pembatas, menjadi “garis” terbuka sebagai penghubung antara negara satu dengan negara lain, merupakan upaya penciptaan kondisi bersama yang mengglobal; mengikis dan menghilangkan segregasi serta stigma yang membuat kami -yang “di dalam batas”- lebih hebat dibandingkan mereka yang “di luar batas”.
Bayangkan jika di dunia ini terdapat jalur transportasi canggih darat-laut-udara milik masyarakat dunia yang menghubungkan dan melintasi benua-benua dan negara-negara dengan kecepatan tinggi, daya tampung banyak, murah dan nyaman. Bayangkan jika kita bisa bebas melintasi batas-batas negara dengan mudah dan aman. Bayangkan kalau kita leluasa, mudah dan murah dalam berkomunikasi dengan semua anggota masyarakat dunia. Tentunya sangat memungkinkan manusia sedunia berinteraksi, bergerak, berpindah tempat, belajar, bekerja, berteman, dalam menjalankan kehidupan bersama; termasuk para buruh migran, khususnya TKW. []
Usep Hasan Sadikin
Salah satu bentuk hubungan lintas batas yang digambarkan “Babel” adalah kisah tenaga kerja wanita (TKW) Meksiko bernama Amelia. Ia warga ras Hispanik, bekerja di Amerika Serikat sebagai pengasuh kedua anak pasangan ”kulit putih”, Richard-Susan (Brad Pitt-Cate Blanchet). Amelia sudah menjadi bagian keluarga itu, tetapi karena Amelia dan keluarga Richard berasal dan tumbuh dari masyarakat dan budaya yang berbeda, mereka ”dipisahkan” karena saling tak memahami satu sama lain. Dampaknya, karena suatu kejadian, mereka saling curiga dan tak percaya. Akhirnya, Amelia sebagai pekerja dari negara “dunia ketiga” dienyahkan dengan dipidanakan dan dideportasi kembali ke negaranya, oleh keluarga Richard sebagai bagian dari masyarakat negara “adi kuasa”.
TKW Indonesia pun ”disingkirkan” karena keadaan itu. Garis administrasi negara yang memisahkan Indonesia-Malaysia, berdampak pada pikiran dan rasa saling tak memahami, “apa itu Indonesia?” dan “apa itu Malaysia?”. Si Malaysia kerap kali mengartikan Indonesia sebagai Indon yang miskin tak terdidik sehingga banyak yang bermigrasi, mengais kesejahteraan di Malaysia. Lalu, Si Indonesia mengartikan Malaysia sebagai bangsa yang jahat, licik dan senang merebut kekayaan alam dan budaya Indonesia. TKW Indonesia berdiri di antara stigma itu; dan derita yang dialaminya malah memperkuat stigmatisasi. Sebuah stigma yang memposisikan kita yang “di dalam batas” dengan mereka yang “di luar batas”.
Dasar manusia beraktivitas
Muhammad Chatib Basri dalam tulisannya berjudul: Kapitalisme, Domba dan Meja Panjang, mengutip pandangan David Friedmen bahwa, ada tiga dasar yang mendorong manusia melakukan aktivitas. Yang pertama karena cinta. Ada kala manusia melakukan sesuatu hal secara sukarela, tanpa merasa dipaksa dan tanpa diimingi imbalan atau didasari kepentingan.
Yang kedua karena paksaan. Pilihan ini kerap kali efektif untuk membuat orang lain melakukan apa yang kita inginkan. Tetapi paksaan akhirnya punya batas, ada biaya yang sangat besar untuk ini.
Maka perlu dasar ketiga: trade. Dalam trade, seseorang akan bersedia melakukan aktivitas bagi kepentingan orang lain, jika kepentingannya juga diakomodasi oleh orang itu. Dengan kata lain di sini terjadi pertukaran. ”Quid pro qou”, atau ”ini untuk itu”. Dalam konteks ini, ketika orang merasa bahwa dengan melakukan sesuatu dia akan menerima manfaat dari tindakannya, maka keputusannya untuk bertindak akan bersifat sukarela. Selama kepentingan-kepentingan itu berinteraksi, dan masing-masing pihak menyadari kepentingannya dalam berinteraksi, selama itu pula proses interaksi sosial berjalan.
Globalisasi
Ketika dunia diselimuti iklim globalisasi, di mana banyak pemerintah negara sadar bahwa keberlangsungan hidup penduduk suatu negara tak bisa berlanjut tanpa adanya aktivitas interaksi dengan negara lain. Kemudian, negara pun sadar bahwa, ketika ia ingin mencapai tujuan-tujuan industri atau keberhasilan dalam bidang ekonomi, ada keadaan di mana penduduk usia produktif di negara itu tak bisa memenuhi jumlah dan kualitas yang dibutuhkan.
Sedangkan negara lain ada yang membutuhkan kesempatan kerja dalam jumlah banyak. Kelebihan penduduk usia produktif dan keterbatasan negara dalam menyediakan lapangan kerja, mengakibatkan banyaknya usia produktif menganggur di negara ini.
Dua kondisi umum negara itulah yang terjadi pada negara Malaysia dan Indonesia. Malaysia-Indonesia saling memenuhi kebutuhan dalam keberlangsungan hidup. Maka hubungan antara TKW Indonesia dengan penduduk Malaysia (pengguna jasa TKW) bisa ditempatkan pada konsep dasar dorongan aktivitas dasar ketiga: trade. TKW Indonesia bersedia melakukan aktivitas bagi kepentingan penduduk Malaysia, karena TKW Indonesia mempunyai kepentingan mendapat penghasilan dari penduduk Malaysia.
Kesadaran akan kondisi kekurangan -dan pentingnya usaha saling melengkapi kekurangan- itu hendaknya juga mengantarkan pada kesadaran bahwa kita sejatinya merupakan satu bagian dalam masyarakat dunia. Seharusnya kita juga menyadari, batas negara selama ini bagi sebagian kita malah lebih berfungsi sebagai sekat pembatas masyarakat dunia yang (ber)satu. Batas negara telah menghambat keinginan dan usaha mereka dalam memenuhi kebutuhan untuk keberlangsungan hidup. Padahal, adakah dari kita yang bisa memilih untuk dilahirkan di negara maju dengan tingkat kesejahteraannya yang tinggi? Adakah dari kita yang mau memilih untuk dilahirkan di negara yang miskin dan penuh konflik? Bisakah kita memilih untuk dilahirkan di negara tertentu? Semua pasti menjawab: ”tidak!” Lalu mengapa masih ada negara yang menghambat dan melarang masuk orang yang memiliki kewarganegaraan tertentu? Lalu mengapa kita masih mementingkan batas-batas ”Indonesia”, ”Malaysia”, ”Amerika Serikat”, ”Meksiko” dan lainnya.
Batas negara telah menyulitkan dan membuat TKW menderita. Dimulai saat mereka hendak berangkat ke Malaysia. Atas dasar niat dan hak memenuhi kesejahteraan dalam keberlangsungan hidupnya, mereka sudah harus merogoh kocek untuk urusan macam-macam seperti surat-surat dan banyak pungutan. Ketika sampai di Malaysia, dapat dilihat dan dirasakan bahwa, ”batas” telah menciptakan segregasi antar masyarakat “Malaysia” dengan masyarakat “Indonesia”. Segregasi itu hadirkan stigma “si lebih tinggi” dan “si lebih rendah”; ”si pemberi” dan ”si pengais”, antara kedua masyarakat itu. Segregasi yang membuat para TKW mudah menerima penyiksaan, pemerkosaan, hingga gaji yang tidak dibayar. Belum lagi dampak sosial yang mesti ditanggung keluarga, seperti berpisah dengan suami dan telah memicu perceraian.
Karena itu batas negara harus kita artikan kembali. Batas negara bukan untuk membuat kita sulit berpindah tempat, beraktivitas dan berinteraksi. “Batas” bukan untuk membuat kita sulit dalam memahami satu sama lain, sehingga tercipta stigma, prasangka dan tindakan yang tak adil. Batas administrasi negara sebaiknya kita pahami sebagai identitas dan identifikasi atas perbedaan dan keragaman yang ada di dunia. Bukan sebagai pemisah antar perbedaan dan keragaman itu, apalagi sampai menempatkan suatu perbedaan/keragaman lebih hebat dibandingkan perbedaan/keragaman yang lain.
Perwujudannya memang sulit. Diperlukan usaha perundingan yang berkelanjutan dan intim dengan semangat rekonsiliasi dunia. Di sini peran negara-negara maju sangat besar. Dengan tak menempatkan dirinya sebagai negara yang paling tinggi, mereka harus mengajak negara-negara lain untuk terbuka dan menghilangkan orientasi dan identitas sempit yang lokalistik dan sektarian demi membangun peradaban global yang menjunjung tinggi nilai-nilai universal manusia sebagai masyarakat dunia yang satu.
Dorongan cinta
Kembali pada konsep tiga hal dasar yang mendorong manusia melakukan aktivitas. Tak dapat dipungkiri dunia kini dipenuhi dengan kepentingan-kepentingan. Tak juga dapat dipungkiri jika isi dunia pun “digerakkan” oleh paksaan dari kekuatan dan kekuasaan pemerintahan. Tetapi kita jangan membiarkan itu terus berlangsung. Kita manfaatkan kondisi global ini untuk merubah menjadi kondisi yang lebih “indah”.
Perlu adanya pencerahan dan penyadaran dari kita serta usaha pencerahan dan penyadaran kepada yang lain bahwa kita tak bisa selamanya bertindak berdasarkan kepentingan atau pun diperintah. Kita pun sebaiknya tak menjadi manusia pedagang yang segala tindakannya didasari oleh perhitungan keuntungan semata. Atau sebagai manusia budak yang segala tindakannya didasari oleh perintah dengan ketakutan dan ketidakberdayaan.
Sebaiknya kita selalu berusaha untuk menjadi manusia pecinta yang segala tindakannya didasari oleh cinta terhadap sesama manusia. Cintalah yang bisa dengan total mendorong manusia untuk bergerak, beraktivitas, dan bersatu melintasi batas-batas.
Mengartikan -dan merumuskan- kembali batas-batas negara yang tadinya cenderung sebagai sekat-sekat penghambat dan pembatas, menjadi “garis” terbuka sebagai penghubung antara negara satu dengan negara lain, merupakan upaya penciptaan kondisi bersama yang mengglobal; mengikis dan menghilangkan segregasi serta stigma yang membuat kami -yang “di dalam batas”- lebih hebat dibandingkan mereka yang “di luar batas”.
Bayangkan jika di dunia ini terdapat jalur transportasi canggih darat-laut-udara milik masyarakat dunia yang menghubungkan dan melintasi benua-benua dan negara-negara dengan kecepatan tinggi, daya tampung banyak, murah dan nyaman. Bayangkan jika kita bisa bebas melintasi batas-batas negara dengan mudah dan aman. Bayangkan kalau kita leluasa, mudah dan murah dalam berkomunikasi dengan semua anggota masyarakat dunia. Tentunya sangat memungkinkan manusia sedunia berinteraksi, bergerak, berpindah tempat, belajar, bekerja, berteman, dalam menjalankan kehidupan bersama; termasuk para buruh migran, khususnya TKW. []
Usep Hasan Sadikin
http://www.jurnalperempuan.com/index.php/jpo/comments/buruh_migran_dan_hadangan_batas_negara/
Comments