Membangun Rumah Tuhan yang Inklusif


Kening kita bisa dikerutkan ketika mengamati perjalanan kehidupan beragama di Indonesia. Salah satunya karena polemik pembangunan rumah ibadah (berikutnya ditulis: rumah Tuhan). Penutupan paksa dan pengrusakan rumah Tuhan beberapa kali dialami umat beragama minoritas di banyak daerah, dan berulang. Datanya bisa dengan mudah kita cari melalui situs google, dengan pencarian kata ”rumah ibadah”.

Tak dapat dipungkiri, fenomena penutupan dan pengrusakan rumah Tuhan tersebut merupakan bagian dari daftar konflik dan intoleransi antar umat beragama di Indonesia. Keharmonisan kehidupan umat beragama naik turun terancam. Dibutuhkan adanya solusi cepat yang taktis dan strategis agar permasalahan ini tidak berlarut-larut dan tidak terjadi lagi.

Mempersoalkan SKB

Peraturan Bersama Menag dan Mendagri No. 9/2006 dan No. 8/2006 sebagai revisi Surat Keputusan Bersama (SKB) Dua Menteri No. 1/1969 tentang pembangunan rumah ibadah, telah ditandatangani pada 21 Maret 2006. Aturan ini menjadi pedoman gubernur, bupati, camat, dan kepala desa dalam pemeliharaan kerukunan beragama dan pengaturan rumah ibadah.

SKB itu disikapi dengan nada optimis oleh beberapa pihak. Menteri Agama berharap revisi ini dapat memberdayakan masyarakat dalam memelihara kerukunan beragama. Dari perwakilan (sebagian) umat Islam, nada optimis juga muncul dari ungkapan Ketua PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin. Ia menegaskan, Indonesia memang perlu instrumen hukum bagi upaya membangun kerukunan antarumat beragama yang sejati. Penandatanganan aturan soal rumah ibadah ini, ia anggap sebagai alat untuk menghindari konflik antarumat beragama.

Namun, nada optimistis itu tidak muncul sebagaimana pihak yang nota bene beragama Islam tersebut. Nada pesimis muncul, justru bagi pihak yang mengalami masalah pembangunan rumah Tuhan. Misalnya dari sebagian kalangan Persekutuan Gereja Indonesia (PGI). Mereka pesimis soal syarat dukungan paling sedikit 60 orang masyarakat setempat yang harus disahkan lurah atau kepala desa, selain tanda tangan dan KTP 90 orang yang akan menggunakan rumah ibadah tersebut.

Alasan pesimis PGI cukup logis. Umumnya masyarakat kita merupakan masyarakat yang cenderung menolak bila ada rumah Tuhan dari agama lain dibangun di lingkungannya. Alasanya macam-macam. Di antaranya, masyarakat umumnya berpandangan bahwa, mempersilahkan atau mengizinkan umat agama lain membangun rumah Tuhannya adalah tindakan dosa, karena identik dengan penerimaan dan pengakuan terhadap ajaran agama lain (yang jelas merupakan agama yang salah dan jauh dari keselamatan). Alasan lainnya, masyarakat umumnya khawatir dengan keberadaan rumah Tuhan agama lain. Mereka khawatir jika bagian dari keluarga mereka akan terpengaruh dengan agama lain itu, apalagi sampai berpindah agama.

Bisa disimpulkan bahwa, masyarakat kita umumnya merupakan masyarakat yang tidak toleran. Masyarakat kita belum dewasa terhadap perbedaan beragama beserta hak-hak dalam menjalankannya. Masyarakat kita belum percaya diri terhadap keyakinan agamanya dalam berhubungan dengan umat beragama lainnya. Semua hal ini, cenderung mendorong masyarakat untuk menutup diri dan tidak menerima keberadaan agama lain. Tidak hanya pelarangan, penutupan dan pengrusakan rumah Tuhan agama lain, menjalankan kegiatan keagamaan rutin bersama di salah satu rumah jamaah agama tersebut pun dilarang. Padahal kegiatan keagamaan rutin bersama merupakan hal yang wajar bagi suatu jamaah dalam menjalankan keyakinannya.

Dalam konteks demikian, mestinya sebuah aturan atau produk hukum hadir dengan maksud untuk menunjang terciptanya masyarakat yang lebih toleran. Asumsinya, kondisi intoleransi dalam masyarakat dapat dibenahi dengan adanya aturan bersama yang legal. Alih-alih mengusung dan menguatkan semangat toleransi, beberapa butir aturan baru ini tampaknya rawan terjebak pada upaya menguatkan intoleransi. Apa alasannya?

Pertama, bayangkanlah keberadaan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) yang antara lain bertugas membuat rekomendasi boleh-tidaknya suatu rumah ibadah dibangun. Komposisi orang atau kelompok yang akan mengisi forum ini tidak dibatasi secara spesifik (misalnya dari Islam hanya diwakili NU dan Muhammadiyah sebagai sayap kembar moderat Islam), tapi dibuat seumum mungkin, sehingga sangat mungkin dimasuki para pemuka dan kelompok keagamaan yang tidak toleran. Bila forum ini dibanjiri wakil-wakil kelompok agama apapun yang tidak toleran, ia justru akan menjadi medan tempur antaragama dan institusi penghambat pembangunan rumah ibadah. Rebirokratisasi dan repolitisasi pembangunan rumah ibadah yang amat rumit, akan bermula dari forum ini.

Kita bisa optimis kalau forum ini diisi oleh agamawan-agamawan yang toleran dan mengerti pentingnya kebebasan beragama tiap-tiap orang dan menghargai Pancasila dan UUD 1945. Tapi bagaimana kalau forum ini diisi oleh orang-orang yang picik, penuh iri dan dengki, dan tidak ingin agama-agama saling berdialog dan bekerja sama dalam kerangka keragaman masyarakat Indonesia?

Karena itu, janji Ketua Umum PBNU, Hasyim Muzadi, bahwa PBNU akan terus mengondisikan masyarakat agar tidak sulit dalam memberi rekomendasi, menjadi penting dicermati. Itu artinya, secara implisit Pak Hasyim mengerti betul kalau forum ini suatu saat akan menjadi ajang kontestasi kuasa dan unjuk rasa intoleransi yang justru dapat menghambat kerukunan umat beragama.

Kedua, persyaratan dukungan minimal 60 orang masyarakat setempat, selain 90 orang yang akan menjadi jemaah suatu rumah ibadah, juga akan sangat problematis. Aspek persetujuan 60 orang itu akan sangat rawan manipulasi, politisasi, dan bisa menjadi lahan perseteruan. Bisakah kita membayangkan minoritas Kristen di tengah-tengah mayoritas Islam akan dengan mudah mendapat restu minimal 60 orang masyarakat setempat ketika hendak membangun sebuah gereja? Bayangkan juga hal sebaliknya: apakah mudah bagi umat Islam di wilayah mayoritas Kristen atau agama lainnya untuk mendapat persetujuan minimal 60 orang masyarakat setempat demi membangun sebuah masjid? Cobalah dikiaskan dengan contoh-contoh lainnya.

Ketika tidak ada kekuatan-kekuatan sosial keagamaan yang mengupayakan terciptanya harmoni dan toleransi antar umat beragama di suatu daerah, kaum minoritas hanya akan mengurut dada untuk punya sebuah rumah ibadah. Artinya, aturan ini sangat terkait dengan seberapa lapang dada dan toleran masyarakat setempat terhadap perkembangan agama lain.

Karena itu, yang perlu direnungkan lebih dalam daripada butir-butir aturan ini adalah soal iklim kehidupan beragama kita yang makin tidak toleran dan sangat gampang dipolitisir. Negara dengan pemerintahannya harus sadar akan semua hal ini. Negara harus bisa bertindak netral dalam penetapan aturan praksis di lapangan, berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. 

Negara sekuler

Jika pengertian negara sekuler dilawankan dengan negara agama, Indonesia bukan negara agama, melainkan negara sekuler. Dalam negara sekuler, negara tidak didasarkan pada suatu ideologi agama tertentu yang membentuk teokrasi. Namun sering juga dikatakan, Indonesia tidak sepenuhnya sekuler, karena dasar negara dalam konstitusinya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa.

Tetapi negara tidak punya tugas melaksanakan syariat Islam bagi pemeluknya. Negara harus netral, tidak memihak terhadap satu agama. Sementara itu warga negara punya kebebasan untuk menjalankan agama dan beribadah menurut agama dan keyakinannya masing-masing. Ketuhanan Yang Maha Esa berkedudukan sebagai sumber moral yang dijadikan pedoman bagi sikap dan perilaku warga. Sistem moral itu dapat digali dari ajaran-ajaran agama yang dipeluk masyarakat. Tapi ajaran-ajaran agama itu harus melalui proses rasionalisasi dan objektivikasi. Tuhan di sini adalah Tuhan lintas agama. Dengan demikian, setiap agama punya peranan dalam membangun moral bangsa.

Dasar Ketuhanan Yang Maha Esa itu diikuti dengan ketentuan mengenai kebebasan beragama dan menjalankan ibadah menurut agama dan kepercayaan masing-masing (individu dan kelompok). Di sini, dalam Negara berlaku asas pluralisme yang mengakui kebenaran eksklusif masing-masing agama, terutama dalam hal akidah (creed) dan peribadatan (cult). Kebenaran suatu agama, diserahkan kepada masyarakat masing-masing agama. Inilah makna sekularisme sebagaimana dikatakan Talcott Parson: mengembalikan agama kepada masyarakat dan bukan bersatu dengan kekuasaan negara.

Negara-negara yang (relatif) benar dalam menerapkan konsep sekulerisme tersebut di antaranya adalah Amerika Serikat, Inggris, Australia, dan negara demokratis lainnya, sekularisme tidak dipahami sebagai musuh agama, tapi justru dijadikan sebagai pelindung agama. Ekspresi beragama (seperti mengenakan simbol-simbol agama di ruang publik dan lembaga pemerintahan, ritual beribadah, pembangunan rumah ibadah dan lain-lain) yang selajan dengan sinergitas dan harmonisasi masyarakat diakomodir dengan bebas dan adil. Sejalan dan saling melengkapi, sekulerisme ini menyukseskan demokratisasi di negara tersebut.

Negara-negara Islam, seperti Turki, Mesir, dan Irak (pada masa Saddam Husein), adalah contoh negara yang berusaha mengadopsi sekularisme tapi menerapkannya secara salah. Kesalahan dalam mempersepsi dan menerapkan konsep ini berakibat fatal, karena bukan saja ia gagal dalam mewujudkan sistem politik yang demokratis, tapi juga mencemari konsep sekularisme yang luhur.

Penolakan sebagian kaum Muslim terhadap sekularisme selama ini karena mereka merujuk pada pengalaman negara-negara yang gagal menerapkan prinsip ini, seperti yang disebut di atas. Sekularisme di Turki, misalnya, diidentikkan dengan serial pelarangan terhadap atribut dan praktek-praktek keagamaan. Sekularisme berarti pelarangan jilbab, penutupan institusi pengajaran al-Qur’an, dan penangkapan terhadap aktivis Islam.

Di Mesir, sekularisme identik dengan diktatorisme. Bagi sebagian besar aktivis Islam di sana, Presiden Husni Mubarak adalah penjelmaan dari sekularisme yang buruk. Sementara di Irak pada masa Saddam Husein dulu, sekularisme identik dengan despotisme dan anti-Tuhan, khususnya karena rezim penguasa adalah partai Ba’ath yang sosialis.

Para pencemar sekularisme bukan hanya datang dari negara Islam. Di Eropa, Perancis kerap dikecam sebagai negara yang menerapkan sekularisme secara salah. Persis seperti di Turki (atau Turki memang meniru model Perancis), sekularisme di Perancis dipahami sebagai kewaspadaan terhadap “ancaman” agama. Memakai jilbab, karenanya, dianggap sebagai ancaman bagi sekularisme.

Kebebasan beragama, dengan dalil tidak ada paksaan dalam agama, adalah prinsip yang sangat penting dalam sekularisme dan harus dipahami makna dan konsekuensinya, baik oleh negara maupun masyarakat. Oleh sebab itu, prinsip ini perlu diwujudkan ke dalam suatu undang-undang (UU) yang memayungi kebebasan dalam keberagamaan.

Kebebasan beragama tersebut, salahsatunya, berarti bebas untuk menyebarkan agama (berdakwah), asal dilakukan tidak melalui kekerasan maupun paksaan secara langsung ataupun tidak langsung. Kegiatan untuk mencari pengikut, dengan pembagian bahan makanan, beasiswa kepada anak-anak dari keluarga miskin, atau pelayanan kesehatan gratis dengan syarat harus masuk ke dalam agama tertentu, adalah usaha yang tidak etis, karena bersifat merendahkan martabat manusia, dengan cara 'membeli' keyakinan seseorang. Namun program bantuan semacam itu boleh dilakukan oleh suatu organisasi keagamaan, asal tidak disertai syarat masuk agama tertentu.

Penyebaran agama dengan cara menawarkan iman dan keselamatan secara langsung dari orang ke orang atau dengan cara kunjungan dari rumah ke rumah dengan tujuan proliterasi adalah tindakan yang tidak sopan dan sangat mengganggu, karena itu harus dilarang. Kegiatan penyebaran agama, sebagai pewartaan, tidak dilarang, tetapi upaya kristenisasi atau islamisasi sebagai proliterasi tidak diperkenankan. Jika tata cara penyebaran agama bisa diatur, tidak akan ada lagi tuduhan kristenisasi, islamisasi, atau pemurtadan.

Atas dasar tanpa kecurigaan dan semangat untuk hidup rukun antarpemeluk agama, maka pendirian rumah ibadah maupun penggunaan rumah sebagai tempat ibadah tidak dilarang, asal tidak melanggar peraturan tata kota, mengganggu lalu lintas, atau menimbulkan gangguan lainnya. Peraturan semacam SKB, yang mengatur pendirian rumah ibadah, atau UU Kerukunan Antar Umat Beragama yang bernuansa politisasi agama, tidaklah diperlukan.

Konsep gedung serbaguna

Rumah Tuhan merupakan tempat suci atau tempat sakral bagi umat beragama. Ia dibangun khusus untuk tempat pengabdian kepada Tuhan Yang Maha Esa. Karena kesuciannya, rumah Tuhan harus tetap dijaga dan dipelihara, tidak boleh dikotori dan dirusak, apalagi dihancurkan atau dibakar. Hal ini jelas tidak sesuai bahkan bertentangan dengan semua ajaran agama. Semua agama jelas sangat mengutuk mereka yang dengan sengaja menodai rumah-rumah ibadah. Dalam ajaran Islam, pada situasi perang pun ada etika perang untuk melindungi rumah-rumah ibadah dan tidak merusaknya.

Rumah Tuhan sebagai sarana publik ada baiknya kita bandingkan dengan konsep pelayanan gedung serbaguna. Hampir semua kota memiliki gedung serbaguna di wilayahnya. Gedung yang umumnya biasa digunakan atau berfungsi sebagai sarana tempat diadakannya berbagai macam acara atau kegiatan. Misalnya untuk resepsi pernikahan, konser musik, musyawarah besar, upacara, pameran, bazar, seminar, rapat, dan beberapa kegiatan lainnya. Gedung ini biasanya disediakan oleh pemerintah daerah sebagai bentuk pelayanan terhadap kebutuhan masyarakat.

Menurut saya dengan fungsi tersebut, gedung serbaguna memiliki sifat yang inklusif. Inklusif saya artikan sebagai sifat keterbukaan. Terbuka terhadap siapa saja yang membutuhkan serta terbuka terhadap berbagai macam kegiatan. Inklusifnya gedung serbaguna bisa memenuhi banyak kebutuhan masyarakat dengan berbagai macam latar belakang. Dan yang lebih penting, inklusifnya gedung serbaguna tidak mengurangi atau menghilangkan nilai dan tujuan dari kegiatan yang ditampungnya.

Dari hal tersebut, saya pikir kita beserta pemerintah perlu membangun rumah Tuhan yang mengadopsi konsep pelayanan gedung serbaguna dengan sifatnya yang inklusif. Rumah Tuhan yang terbuka untuk berbagai macam kegiatan atau ritual agama. Rumah Tuhan yang tidak hanya untuk salah satu agama saja, tetapi juga untuk banyak agama atau untuk semua agama, khususnya agama minoritas. Rumah Tuhan yang setiap hari Jumat bisa digunakan shalat Jumat berjamaah bagi mereka yang beragama Islam (jika Islam minoritas) tetapi juga setiap hari Minggunya bisa digunakan kebaktian bagi mereka yang beragama Kristen. Begitu juga bagi mereka yang beragama Buddha, Hindu, Kong Hu Cu atau yang lainnya, mereka bisa menggunakan rumah Tuhan ini, rumah Tuhan yang inklusif.

Kalo toh pemerintah tidak bisa membangun gedung baru sebagai rumah Tuhan dengan konsep ini, pemerintah bisa mengalihfungsikan gedung serbaguna yang sudah ada menjadi gedung yang khusus diperuntukan bagi umat beragama minoritas dalam memenuhi kebutuhan menjalankan dan menyebarkan ajaran agamanya.

Selain berguna untuk pemenuhan kebutuhan beribadah antar umat beragama, rumah Tuhan yang inklusif akan membawa kita terhindar dari jebakan simbolisme agama. Di dalam rumah Tuhan yang inklusif kita tidak memerlukan simbol-simbol (permanen) yang dimiliki salah satu agama. Tulisan Arab Allah, Muhammad, ayat Kursi, atau gambar Ka’bah yang biasanya ada dalam masjid tidak diperlukan. Salib, patung Yesus dan Bunda Maria yang biasanya ada dalam gereja juga tidak diperlukan. Begitu juga dengan simbol-simbol agama Buddha, Hindu atau agama lainnya.

Tidak diperlukannya simbol-simbol agama dalam rumah Tuhan yang inklusif bukan berarti akan mengurangi atau menghilangkan nilai-nilai atau tujuan dari kegiatan ritual agama, tetapi justru mengajarkan dan melatih kita untuk senantiasa menyimpan, menjaga dan memelihara substansi dari simbol-simbol tersebut di dalam pikiran dan hati kita. Karena fungsi simbol-simbol agama adalah untuk pengkondisian atau sebagai alat bantu kekhusukan dalam beribadah dan berdoa. Hakikat beribadah dan berdoa adalah merupakan hubungan antara kita (yang terlihat secara fisik) dengan Tuhan yang metafisik (ghaib). Kita tahu bahwa wahyu (awal) Nabi Muhammad, Yesus, Sidharta Gautama hadir ketika berada dalam kesederhanaan tanpa simbol-simbol. Dan kita pun tahu bahwa simbol-simbol agama beserta kemegahan dan kemewahan rumah Tuhan dikonstruksi berdasarkan obsesi teologis para pengikut agama, terkait dengan sejarah perjalanan perkembangan dan penyebaran agama.

Berbagi rumah Tuhan         

Konsep gedung serba guna mungkin relatif sulit diterapkan, mengingat perlu alokasi dana pembangunan gedung dan penyediaan luasan tanah di suatu tempat. Di samping itu masih ada permasalahan sosial lainnya yang relatif lebih membutuhkan perhatian suntikan dana.

Mengamati permasalahan pembangunan rumah Tuhan, menyadarkan kita akan adanya kesenjangan. Bagi umat agama minoritas keberadaan rumah Tuhan begitu dibutuhkan bagi keberlangsungan menjalankan dan menyebarkan ajaran agamanya. Mereka melakukan berbagai macam cara untuk bisa beribadah dan menyebarkan ajaran agama secara bersama di suatu tempat. Tapi bagi umat agama mayoritas, dalam hal ini agama Islam, berbeda. Sebaliknya, masjid sebagai rumah Tuhan agama Islam sudah terlalu banyak. Yang disayangkan, banyak dari banyaknya keberadaan masjid itu kondisinya sepi jamaah dan tidak terurus.

Dengan kondisi tersebut, hendaknya umat Islam sadar bahwa, ada umat agama lain yang lebih membutuhkan keberadaan rumah Tuhan. Umat Islam sebaiknya bisa memberikan sebagian bangunan masjid untuk dialihfungsikan menjadi rumah Tuhan agama lain.

Kalo toh tidak bisa seperti itu, sebaiknya umat Islam bisa berbagi rumah Tuhan kepada umat agama yang membutuhkan. Umat Islam bisa mempersilahkan umat agama lain untuk bisa memakai masjid sebagai rumah Tuhan bersama. Banyak waktu kosong di sela waktu-waktu sholat lima waktu yang bisa dimanfaatkan untuk agama lain. Di hari Minggu misalnya, umat Islam sebaiknya bisa merapat dengan jamaah masjid lain untuk memakai satu masjid saja dalam satu lingkungan. Masjid-masjid lainnya dipersilahkan untuk digunakan bagi umat agama Kristen, yang memang pada hari minggu lebih membutuhkan tempat untuk beribadah (kebaktian) bersama. Cukup banyak referensi (hadis) tradisi Islam yang menerangkan sikap hubungan antar umat beragama seperti itu.

Kedewasaan beragama

Memang semua hal tersebut (bisa jadi) bukan merupakan hal yang mudah. Membangun rumah Tuhan yang inklusif diperlukan kedewasaan dalam beragama semua masyarakat antar agama. Dewasa dalam beragama berarti memiliki pemahaman yang mendalam terhadap agama yang diyakininya, sehingga kita tidak khawatir keyakinan kita akan tereduksi atau tercampuri dengan keyakinan agama lain. Kita pun tidak takut keyakinan kita akan berubah atau pindah ke agama yang lain.

Dewasa dalam beragama juga berarti memiliki keyakinan beragama yang inklusif. Keyakinan beragama yang mau dan bisa menerima nilai-nilai kebaikan dan kebenaran yang terdapat di luar agama yang diyakini. Karena besar kemungkinan nilai-nilai kebaikan dan kebenaran tersebut juga merupakan nilai-nilai dari agama yang kita yakini sehingga kita bisa bekerja sama dalam menjalankan nilai-nilai tersebut.

Khusus bagi umat beragama minoritas, hendaknya bisa menyadari bahwa, diperlukan pemahaman yang lebih mendalam terhadap ajaran agamanya. Pemahaman agama yang bebas dari jebakan simbol-simbol dan identitas keagamaan yang sempit. Memiliki rumah Tuhan tidak harus disertai obsesi teologis untuk membangun rumah Tuhan yang eksklusif, khusus dan megah lengkap dengan hiasan simbol-simbol yang mewah. Sekali lagi, kita tahu bahwa para (nabi dan rosul) pewarta ajaran agama hadir pada kita dalam kesederhanaan tanpa simbol-simbol dan kemegahan rumah Tuhan.

Jika arti kedewasaan beragama tersebut telah terbentuk (baik secara individu maupun secara kolektif) dan nilai-nilai bersama antar agama telah ditemukan, semangat kebersamaan dan persatuan akan tetap ada dan terpelihara. Sudah tentu itu merupakan suatu bentuk kemajuan dalam kehidupan antar umat beragama. Dibutuhkan usaha keras dan berkelanjutan, dari kita semua (khususnya bagi para pemuka agama) untuk berdialog lintas umat beragama, juga menyertakan kajian lintas disiplin ilmu (sosial-politik-hukum-budaya) dalam membangun dan menjaga kedewasaan tersebut.

Penutup

Rumah Tuhan yang inklusif, dengan konsep serba guna dan berbagi, (hanya) merupakan solusi alternatif yang perlu kita terapkan untuk umat beragama minoritas di suatu daerah yang mengalami kendala dalam perizinan mendirikan tempat ibadah. Tantangan utama masyarakat antar umat beragama adalah bagaimana bisa menjadi masyarakat beragama yang dewasa. Tantangan utama lainnya adalah, bagaimana masyarakat antar umat beragama bisa membangun (pemerintahan) negara yang bersikap netral kepada umat beragama yang ada. Negara yang tidak memihak terhadap suatu agama, namun mempersilahkan eskpresi beragama semua umat beragama.

Semoga rumah Tuhan yang inklusif bisa membantu umat agama minoritas dalam menjalankan dan menyebarkan ajaran agamanya. Dan semoga rumah Tuhan yang inklusif bisa menjadi solusi sementara serta bahan pelajaran dalam kehidupan beragama hingga kita bisa menemukan kesepakatan yang berkeadilan dalam merumuskan aturan pembangunan tempat ibadah yang lebih baik. Kesepakatan yang bisa diterima oleh umat agama mayoritas dan umat agama minoritas. Kesepakatan yang menciptakan kehidupan antar umat beragama yang sinergis dan harmonis. [] 

USEP HASAN SADIKIN

Tulisan ini dimuat di Jurnal Makara Wiratama Universitas Indonesia dan menjadi tulisan yang dipresentasikan saat peluncuran jurnal pada 2009 di FISIP Universitas Indonesia.

Ilustrasi:

https://www.beritasatu.com/nasional/681127/indonesia-poros-tatanan-baru-perdamaian-dunia

Comments