"Hanya pemenang yang kita yakini."
Begitu salah satu kalimat dalam lirik lagu “Impresi” dari Pas
Band. Lagu yang dibuat dan dipopularkan pada konteks pemerintahan Presiden
Soeharto ini menjelaskan keadaan politik yang diukur dari impresi Pimpinan
Eksekutif. Yang benar, yang baik, yang sesuai, adalah yang ditunjukan oleh
Presiden. Yang berbeda apalagi melawan dinilai salah bahkan bisa dihukum
penjara.
…Pencaci bersemi luka luka, kekerasan dan tangisan.
Kritisme Pas Band mewakili oposisi Orde Baru. Memanfaatkan
ruang sempit kebebasan melalui jalur kebudayaan yang simbolik.
Sekonyong-konyong mengkritik saat itu bisa masuk dikurung, hilang, bahkan
pulang tinggal nama. Sedikit saja pikiran saat itu sudah cukup menyadari bahwa
demokrasi sedang bermakna otokrasi. Kekuasaan Soeharto adalah ketunggalan yang
menghilangkan segala perbedaan dan perlawanan. Kebebasan bicara berarti omong
kosong.
Kemiskinan dan ketakutan ditenangkan dengan pembangunan. Para
petani menyerta komoditasnya dikendalikan tirani melalui kamuflase
kesejahteraan Kelompencapir TVRI. Pemikiran berbeda dilarang karena Pancasila
sudah final—yang kita tak tahu kapan semifinal-nya? Politik dibuat tak dinamis
karena NKRI harga mati. Yang bergerak adalah pengabdian kekaryaan yang mengisi
gegap gempita infrastuktur.
Melalui penyelenggaraan pendidikan nasional, warga dihasut
dengan citra negeri yang harus dicintai. Indonesia ijo royo royo padahal hutan
dikuasai pimpinan tentara dengan Surat Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Hujan emas
di negeri orang masih lebih baik hujan batu di negeri sendiri. Cinta tanah air
sebagian dari pada iman. Dan, haram hukumnya mengkritik pemimpin muslim (baca:
beragama Islam).
Aku mulai bosan dengan harapan.
Padahal, dalam banyak indeks kualitas negara-negara dunia,
Indonesia ada di ranking buruk. Indonesia bukan hanya sebagai negara korupsi
tinggi tapi juga dipimpin koruptor nomor 1 di dunia menurut Transparency
International. Bhinneka Tunggal Ika hanyalah slogan karena ekspresi keragaman
diancam sehingga Indonesia terjerambap dalam peringkat indeks kebebasan Freedom
House dan peringkat indeks demokrasi The Economist.
Aku mulai muak dengarkan ceritamu.
Reformasi pecah dirayakan pesta demokrasi 1999. Ini Pemilu
terbaik kedua Indonesia setelah 1955, terbaik pada aspek kontestasi dan hasil
pemilu. Kita punya anggota parlemen yang memilih Simbol Reformis sebagai
presiden. Entah kapan lagi terjadi.
Dipimpin lokomotif perdamaian, pendekatan perang militer
terhadap ekspresi kemerdekaan di Aceh dan Papua diubah dengan penghormatan
budaya dan otonomi khusus. Yang berbeda, yang kecil, dan yang lemah dirangkul
diposisikan setara sebagai warga di hadapan negara hukum.
Sayangnya, impresi disabilitas Presiden Reformasi
dipolitisasi dengan kebutuhan stabilitas. Perempuan sebagai penggantinya, punya
impresi kegagahan laki-laki yang diturunkan sejarah sperma: Revolusi, merdeka,
linggis, setrika, ganyang!
Tampaknya, Reformasi lebih tepat sebagai sesuatu yang pecah.
Terjebak pada impresi ketokohan personal, pengupayaannya tak menyertakan
perencanaan politik alternatif yang solid dalam bentuk kelembagaan demokrasi.
Sehingga, kekuasaan zalim yang kalah tak serta merta luluh lantah. Karakter dan
tindak Orde Baru masih ada bahkan berlipat ganda dalam ragam bentuk yang
mengatasnamakan pembaru: demokratis, solidaritas, dan kini kaum progresif.
Reformasi menghasilkan amandemen memilih presiden melalui
pemilu langsung. Tak tahu, apakah perubahan konstitusi ini menyertakan
pengetahuan bahwa sistem pemerintahan presidensial kalah berhasil dengan
parlementer dibanyak peringkat negara dunia? Sejak merdeka, negara bhinneka
tunggal ika ini berkarakter multipartai tapi malah kemerdekaan politik
mengawinkan banyak partai dalam parlemen dengan presidensial. “Tak ada negara
presidensial multipartai ekstrim yang baik,” begitu kesimpulan riset panjang
Scott Mainwaring yang dipublikasikan 1 dekade sebelum Indonesia memilih
presidensial.
Pemilihan presiden langsung berkonsekuensi sistemik membelah
masyarakat berdasar identitas mayoritas. Perebutan 1 kursi kekuasaan kepala
pemerintahan sekaligus kepala negara ini mendorong elite politik memainkan
sentimen identitas terkuat yang ada dalam masyarakat. Logika pemenangan
menyerta dukungan pemilih cenderung menjadi dua: mendukung yang terkuat atau
melawannya.
Ian Budge dalam “Direct Democray” mengingatkan kritik yang
ditujukan dalam pemilu bersistem mayoritas (50%+1). Selain dilupakannya
eksistensi kelembagaan utama demokrasi seperti partai politik dan parlemen oleh
publik, pemilu bersistem mayoritas akan menghadirkan tirani mayoritas.
Sehingga, demokrasi langsung cenderungan bersifat otoritarian terhadap
minoritas.
Dalam sistem politik ini impresi personal ketokohan lebih
mungkin dieksploitasi menyertai identitas mayoritas. Oposisi biner “Pancasila
vs Islam” dalam masyarakat yang berhasil diredam melalui Pemilu Parlemen 1999
kembali muncul sejak Pemilu Presiden 2004 lalu makin menguat pada Pilkada DKI
2012, Pemilu Presiden 2014, Pilkada 2017, dan Pemilu Serentak Nasional 2019.
Kontestasi politik Indonesia yang bhinneka malah soal impresi personal
nasionalis atau religius dengan massa membebek bernama “cebong” atau “kampret”.
Pemilu pimpinan eksekutif langsung yang membelah massa
membuat bhinneka tinggal dua terus berseteru. Ada yang dipenjara hanya karena
berbicara. Ada yang diusir dari lingkungannya. Ada yang tak diterima
pemakamannya karena perbedaan pilihan calon eksekutif. Harmoni masyarakat rusak
setiap pemilu dan kembali rusak sebelum utuh diperbaiki.
Demokrasi impresi menjadikan “dari, oleh, dan untuk rakyat”
sebagai hal yang seolah-olah. Impresi kedaulatan. Padahal tumbal kekuasaan.
Kita lupa rindangnya nurani, pertarungan adalah mati
Tak jadi akhirkan cerita, tak sembuhkan luka-luka. []
USEP HASAN SADIKIN
Comments