SHADIA MARHABAN: Keinginan Aceh untuk Merdeka Tidak Akan Hilang

Aceh, setidaknya, dalam satu dekade terakhir merupakan daerah yang menjadi sorotan nasional dan internasional. Belakangan, daerah yang kini bernama Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) ini banyak diperbincangkan terkait penerapan syariat Islam. Pada peraturan daerah bernama Qanun Syariat Islam (QSI), perempuan Aceh diharuskan berjilbab jika beraktivitas di ruang publik. Dalam peraturan itu pun terdapat hukum cambuk untuk tindak pidana tertentu, salah satunya berkhalwat—berduaan dengan yang bukan muhrim. Seperti belum puas dengan itu, pemerintah NAD hendak menetapkan Qanun Jinayah (QJ) yang di dalamnya terdapat hukum rajam—lempar batu pada orang ditanam hingga mati.

Tentu saja, yang terjadi sekarang di Aceh bukanlah hal yang hadir secepat gelombang tsunami. Ada sejarah menyertai latar belakang Tanah Rencong. Untuk lebih mengetahui hal tersebut, Usep Hasan Sadikin dari Yayasan Jurnal Perempuan (YJP) coba mewawancarai aktivis perempuan Aceh, Shadia Marhaban.

Lahir di Banda Aceh 20 Maret 1969, Shadia merupakan satu-satunya perempuan yang aktif berpartisipasi dalam tim negosiasi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di perundingan damai 2005, yang menghasilkan berakhirnya konflik di Aceh. Sebelumnya, selama GAM dan pemerintah Indonesia berkonflik, Shadia bekerja sebagai wartawan dan penerjemah serta menjabat sebagai koordinator Sentral Informasi untuk Referendum Aceh (SIRA). Pada 1999, bersama SIRA ia mengorganisir reli massa damai di Banda Aceh di mana hampir satu juta orang bersatu menuntut referendum. Perempuan yang mengenyam pendidikan tinggi Hubungan Internasional di Universitas Nasional dan Arabic di American University in Cairo ini pun terlibat dalam “Jeda Kemanusiaan,” sebuah gerakan perdamaian pertama di Aceh yang banyak beranggotakan perempuan dari masyarakat sipil. Di 2001, melalui “Moratorium Dialog”, Shadia menggalang dukungan internasional untuk Aceh.

Kini, sebagai presiden Liga Inong Acheh (LINA), Shadia mengawasi beragam program LINA yang berdedikasi untuk memberdayakan perempuan Aceh (http://www.lina-acheh.com). Seiring itu, selain berperan sebagai anggota dewan pendiri untuk Sekolah Perdamaian dan Demokrasi di Aceh, Shadia merupakan peserta aktif di beberapa dialog nasional dan internasional sekitar isu-isu perempuan dan keamanan. Di 2009, Shadia menyampaikan pidato utama “Gender dan Mediasi - Bagaimana Meningkatkan Peran Perempuan dalam Negosiasi Perdamaian” pada konferensi di Finlandia, yang diselenggarakan Crisis Management International (CMI). Di 2010, Shadia dipresentasikan Pusat Penelitian Konflik Berghof pada konferensi bertajuk “Merancang Proses Perdamaian Inovatif” di Bogota, Columbia.

Berikut hasil wawancara YJP dengan Shadia Marhaban pada Minggu, 16 Januari di Jakarta.

Bagaimana masyarakat Aceh menilai QJ?

QJ sebetulnya masih berupa rancangan draft. QJ masih wacana, belum menjadi undang-undang. Masyarakat luar Aceh berpikir QJ sudah diberlakukan.

Yang sudah diberlakukan adalah QSI. Qanun ini pun diberlakukan di beberapa daerah di luar Aceh, seperti Garut, Tangerang dan lainnya. Beberapa daerah tersebut mengambil secuil dari QSI di Aceh.

Untuk QJ, saya pikir masyarakat Aceh pun banyak yang akan menolak. QJ sangat bertentangan dengan hukum positif di Indonesia dan bertentangan dengan hak asasi manusia (HAM). Mengapa harus merajam orang? Hukum cambuk yang sudah diterapkan di Aceh hingga saat ini pun masih banyak dipertanyakan masyarakat Aceh. Kenapa harus ada hukum cambuk di Aceh? Kenapa tak bisa ditukar dengan hukum lain yang lebih manusiawi. Misalnya hukuman kerja sosial yang sesuai dengan kemampuan si pelaku.

Apakah pihak yang menginginkan syariat Islam merupakan pihak mayoritas masyarakat Aceh?

Menurut saya, tidak semua setuju dengan model syariat Islam sekarang. Bagi sebagian kalangan politisi, syariat Islam digunakan untuk melanggengkan posisi mereka. Politisi itu menilai ide politik yang bisa dijual bagi warga Aceh adalah agama.

Bagaimana prosesnya masyarakat Aceh bisa menerima syariat Islam di Aceh?

Ada perasaan bahwa tsunami membawa bencana dan kemalangan merupakan peringatan dari Allah SWT. Dalam pemikiran ummat beragama tentu ada rasa takut bencana itu terulang. Penjelasan ini masuk dalam ranah politik massa dan mudah diterima. Masyarakat umum sendiri banyak yang belum paham tentang syariat Islam. Tapi secara umum, masyarakat Aceh memang kuat agamannya. Keinginan sebagian orang Aceh memang cenderung diterima masyarakat karena memang mengatasnamakan agama. Keadaan masyarakat Aceh tersebut, membuat ide-ide HAM dan demokrasi sulit dipahami mereka dan cenderung dibenturkan dengan pemikiran dan interpretasi agama.

Sebelumnya, sewaktu Abdurrahman Wahid (Gusdur) masih menjadi presiden, Gus Dur menanyakan keinginan Aceh untuk meredakan konflik. Apa sih yang diinginkan orang Aceh? Saat itu ada lima tokoh yang mewakili Aceh. Ke lima tokoh ini menyebutkan bahwa keinginan Aceh adalah syariat Islam. Gus Dur tidak berpikir hal ini akan menimbulkan konflik di kemudian hari. Yang dilakukan Gus Dur saat itu lebih sebagai temporery solution, agar Aceh tidak lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Syariat Islam menjadi solusi saat keadaan Aceh darurat.

Saat proses ini berlanjut perundingan damai juga dilaksanakan dengan kerjasama NGO (Non-Governmental Organization) dari Swiss, Hendry Dunant Centre (HDC) yang akhirnya menghasilkan “Jeda Kemanusiaan” dan Perjanjian Perhentian Permusuhan (Cessation of Hostilities) pada tahun 2001-2002. Kemudian, saat terjadi darurat militer isu syariat Islam tenggelam. Konflik di masyarakat saat itu terjadi lebih dalam dan luas. Setiap hari ada kabar orang meninggal, dibunuh dan diculik. GAM serta sebagian masyarakat yang masih belum puas terhadap pemerintah nasional, tetap melalukan perlawanannya.

Dalam perjanjian damai Helsinki 2005, bila kita baca, tidak ada penulisan syariat Islam. Yang ada, kebebasan beragama. Kami menuliskan “freedom of religion”. Ini bisa ditafsirkan secara luas, maknanya. Waktu itu GAM memang tidak menginginkan syariat Islam masuk ke dalam agenda perjanjian damai. Pasca perdamaian Helsinki, tentunya ide syariat Islam menguat dan ini sebagai bentuk identitas pemerintahan sendiri, yang memang pada awalnya bukan menjadi dasar, dan sekarang lebih sebagai simbol identitas masyarakat Aceh.

Saat ini, pemerintahan banyak diwakili partai apa dan seperti apa pemerintahan berjalan?

Mantan pasukan gerilyawan GAM mendirikan partai yang diberi nama Partai Aceh (PA). Partai inilah yang sekarang memegang tampuk kekuasaan di parlemen termasuk sebagian eksekutif. Ekspektasi masyarakat Aceh terhadap pemerintahan yang baru terbentuk itu terlalu tinggi, tapi kapasitas pemerintah terpilih tidak tinggi. Terjadi gap antara kapasitas pemerintah dan ekspektasi masyarakat Aceh. Contoh, masyarakat berharap pemerintahan Aceh bisa menyelesaikan permasalahan kesejahteraan, pendidikan, HAM, investasi dll., tapi kapasitas pemerintahannya sendiri tidak mencukupi. Itu yang terjadi di Aceh sekarang.

Kondisi itu mirip dengan yang terjadi di Timor Leste dan Nikaragua. Pergerakan gerilya yang memenangkan perebutan kekuasaan tidak mampu menjalankan pemerintahan. Kekuatan politik yang lahir dan mempunyai tradisi pergerakan gerilya, hanya mampu memimpin perang. GAM bisa bertahan 30 tahun berperang. Tapi untuk memerintah belum bisa.

Secara umum pun orang Aceh suka perang. Memilih perang, orang Aceh mau dan sanggup. Banyak referensi buku yang menceritakan dan menjelaskan tradisi perang masyarakat Aceh. Pengalaman perang masyarakat Aceh membentuk watak masyarakat Aceh yang rebellious (suka memberontak). Keadaan ini memungkinkan masyarakat Aceh mudah untuk diprovokasi, diobok-obok.

Saya berpikir, GAM merupakan bagian dari orang Aceh. Suka atau tidak suka, orang Aceh merupakan bagian dari gerakan yang dinilai separatis itu. Perang yang berlangsung selama 30 tahun, tidak memberikan kemerdekaan bagi Aceh. Sekarang, kami (masyarakat Aceh) harus berpikir realistis, bersama pemerintah membangun Aceh.

Apakah semangat referendum di Aceh masih ada?

Setelah perdamaian ini tentunya semangat referendum sudah tidak ada lagi karena sudah digantikan dengan perdamaian yang membolehkan Aceh mengatur pemerintahannya sendiri walaupun masih dalam NKRI.

Namun ide Merdeka, sampai kapan pun keinginan orang Aceh untuk merdeka tidak akan hilang. Seorang aktivis Irlandia pernah menyatakan, “jika benih ide telah tertanam dalam pikiran suatu bangsa, ide itu tidak pernah hilang.” Orang Irlandia ingin mencapai kemerdekaan sampai sekarang. Mereka tetap menyatakan “Im Irish, not British”. Tak mengapa Aceh mempunyai visi yang berbeda dengan Indonesia. Ini bisa menjadi cambuk yang sesuai dengan identitas dalam melakukan pembangunan. Aceh bisa menjadi rujukan daerah lain untuk juga mencari identitas dan visi yang sesuai dengan konteks lokal.

Dalam konteks desentralisasi daerah, Aceh tak hanya sebagai daerah modal sumber daya, tapi juga daerah model. Kalau kita perhatikan program pemerintahan daerah lain, itu banyak merujuk kepada Aceh. Calon Independen dan syariat Islam, diikuti oleh banyak daerah di Indonesia. Partai lokal pun sepertinya akan diikuti daerah lain.

Pastinya di ujung kemerdekaan adalah kesejahteraan. Kita ingin mendapatkan apa yang selama ini pemerintah Indonesia tidak berikan. Ujung-ujungnya untuk rakyat. Bukan untuk diri kita sendiri. Nah, kalau cara itu bisa dicapai dengan tidak merdeka, misalnya sekarang, tentunya dengan otoritas pemerintahan yang bagus beserta kemampuan, Aceh bisa kita bangun.

Seperti apa keadaan perempuan Aceh saat ini?

Saat ini perempuan tidak mendapatkan porsi yang seharusnya didapat. Dalam situasi yang masih transisi ini, banyak peran-peran perempuan terabaikan. Walaupun pasca tsunami dan perdamaian banyak bantuan dari LSM lokal, nasional maupun internasional tidaklah cukup. Perempuan Aceh harus muncul dan memperbaiki kondisinya bersama seluruh elemen masyarakat Aceh. Saya pikir ini penting sekali untuk kemajuan perempuan Aceh ke depan yang baru saja bangun dari konflik.

Saat Syariat Islam diterapkan di Aceh, perempuan Aceh diharuskan berjilbab di ruang publik. Apa memang dahulu muslimah Aceh berjilbab? Apakah jilbab bagian dari identitas muslimah Aceh?

Islam di Aceh tidak konservatif. Sekarang pun begitu. Tapi, orang Aceh memandang Islam sebagai bagian budaya mereka, “Islam way of life”, “Islam way of think”. Sebetulnya orang Aceh tidak menerima ide-ide konservatif fundamentalis. Dahulu, ibu-ibu kami tidak pake jilbab. Sama dengan perempuan Indonesia umumnya. Orang Aceh itu awalnya pake selendang. Jilbab tertutup kan baru muncul pada 80-an/90-an. Bukan hanya di Aceh saja kan. Ini fenomena Asia tenggara. Jadi masuk juga tuh ke Aceh.

Kalau saya memandang jilbab, selama itu tidak dipaksakan, tidak mengapa. Yang menjadi masalah saat ini jilbab menjadi harus dan dipaksakan. Segala sesuatu harus dilegal-formalkan, itukan aneh.

Kita lihat Malaysia. Hampir semua Melayu pakai jilbab. Mereka tidak dipaksa. Tidak ada usaha pemerintah mengharuskan perempuan berjilbab di Malaysia dengan ancaman hukum cambuk. Masyarakat Malaysia membangun pemahaman berjilbab dari bawah.

Bagaimana masyarakat Aceh menilai identitas Islam Aceh saat ini?

Islam sudah lama ada di Aceh sudah melebur dengan budaya dan tradisi. Kemudian seiring terjadinya konflik selama puluhan tahun dan lain-lainnya, terjadi penurunan nilai dan pemahaman terhadap Islam itu sendiri. Kemudian waktu tsunami, banyak dana masuk ke Aceh dari negara timur tengah, seperti Arab Saudi. Dana tersebut masuk ke pesantren-pesantren menjadi semacam aliran atau pemikiran Islam baru. Islam Arab, bukan Islam Aceh yang kita kenal.

Sekarang Shadia aktif sebagai presiden di LSM LINA. Bisa dijelaskan perjuangan LINA, khususnya seputar isu perempuan?

LINA awalnya dibangun untuk memberikan aksi afirmasi (penguatan posisi) terhadap perempuan mantan kombatan (pejuang perang). Perempuan, pada saat konflik di Aceh, ikut berperang. LINA melakukan afirmasi pada mereka. Saat dan pasca berperang, perempuan tidak mengalami pemberdayaan apa pun. Perempuan mantan kombatan ini tidak hanya perempuan yang memegang senjata, tapi juga ada yang dulu berjuang dengan memasak, membeli pulsa untuk kepentingan komunikasi, menjadi informan dan lain-lain. Kelompok perempuan ini kurang mendapat perhatian pasca perjanjian damai. Tahun 2004-2005 kami mulai gencar melakukan pelatihan, memberikan pemahaman tentang bagaimana sebaiknya masyarakat bisa menyatu dengan perempuan mantan kombatan.

Kini kami memperluas target, memperjuangkan hak-hak semua perempuan Aceh, baik secara sosial, ekonomi maupun politik.

Bagaimana pandangan masyarakat Aceh terhadap LSM lokal dan nasional di Aceh dalam proses demokrasi?

Masyarakat Aceh menerima LSM yang ada di Aceh. Memang di tahun pertama, LSM nasional kurang mendapat tempat di hati masyarakat Aceh karena orang Aceh cenderung tidak bisa percaya dengan orang Jawa. Pengalaman buruk yang dialami orang Aceh menyimpulkan bahwa penyebab atau pemicu terjadinya konflik adalah orang Jawa. Sebetulnya ini tidak hanya terjadi di Aceh saja. Di daerah konflik seperti Papua, Ambon, Timor-Timor juga seperti itu. Sentimen terhadap orang Jawa itu kuat di seluruh Indonesia, di luar Jawa.

Menurut saya keliru jika menyimpulkan orang Aceh tidak suka dengan LSM. Orang Aceh sangat memuliakan tamu dan pendatang selama orang ataupun organisasi tersebut menghormati mereka.

Keadaan orang Aceh yang traumatik dan cenderung berkonflik dengan orang Jawa juga disebabkan oleh Jawanisasi yang keras. Dahulu, kampung-kampung di Aceh mempunyai struktur administrasi sendiri. Lalu diganti dengan kelurahan, sewaktu Orde Baru. Jumat pake batik Jawa. Ada pemaksaan budaya saat itu. Orang Aceh harus membiasakan dengan orang Jawa dan budaya Jawa. Tapi orang Jawa tidak didorong untuk membiasakan budaya Aceh. Pemaksaan itu sistemik dengan program transmigrasi yang didukung World Bank. Konflik Madura dengan Dayak di Kalimantan pun terjadi setelah program transmigrasi.

Saya pernah wawancara dengan orang Aceh di daerah transmigrasi. Saat itu, setiap hari dua pesawat Hercules datang membawa orang Jawa. Mereka langsung mendapatkan tanah dan KTP. Transmigrasi yang tidak menyertai usaha memahami masyarakat lokal akhirnya melahirkan konflik. Transmigran yang berduyun-duyun datang ke Aceh merupakan kebijakan salah kaprah. Ada pendatang ambil lahan orang kampung, siapa yang tidak ngamuk. Para pendatang lebih maju, bisa berdagang, sedangkan orang Aceh masih bego-bego, bagaimana perasaannya? Coba misalnya dibalik, orang Batak ambil tanah di Pekalongan atau di daerah-daerah lain di Jawa. Itu bukan pemerataan sebetulnya, tapi penghancuran. Termasuk penghancuran kultur masyarakat. Tidak sama value yang ada di Jawa dengan yang ada di Aceh. Jangan dipaksakan. Masing-masing wilayah punya nilai-nilai sendiri. Transmigrasi yang salah kaprah ini telah menciptakan wilayah-wilayah berpotensi konflik seperti Aceh, Bugis, Papua, dan lainnya.

Saat Aceh konflik, Shadia tinggal di Jakarta. Apa yang membuat Shadia kembali ke Aceh?

Sebelum saya terlibat, saya sudah mendengar kabar kekerasan yang terjadi di Aceh. Kalau kawan saya bercerita, saya hanya bisa menangis. Ada keluarganya yang tewas, ada teman yang diculik. Apa yang bisa kita lakukan, selain menangis dan meratapi keadaan?

Kami coba berpikir untuk melakukan sesuatu. Kepedulian kita pertama kali dilakukan dalam bentuk penyebaran informasi tentang Aceh kepada masyarakat Jakarta, khususnya orang Aceh. Saat itu banyak yang tidak percaya. Kita melakukan pertemuan-pertemuan kecil.

Terus terang, justru dulu, yang mempopulerkan Aceh ke tingkat nasional adalah (almarhum) Munir. Dari situ kita bermain di tingkat nasional. 1999 saya menjadi duta khusus dari SIRA untuk mempromosikan kasus Aceh ke internasional. Saat itu saya keliling ke Amerika Serikat, Australia, Eropa, menyuarakan kasus Aceh di tingkat internasional bersama lembaga internasional seperti Human Rights Watch, Amnesty Interntional dan sebagainya. Isu Aceh yang sebelumnya tidak popular menjadi menarik dan semakin meluas karena dibawa oleh mahasiswa dan aktivis HAM. Banyak negara luar mengundang saya untuk menjelaskan Aceh. 1999-2002, isu Aceh gencar sekali. Lalu tahun 2003 mulai terjadi darurat militer. Terjadi penangkapan dan penculikan aktivis HAM. Keadaan ini justru semakin menguatkan perjuangan orang Aceh untuk lepas dari NKRI. GAM memandang ini sebagai momentum untuk mempromosikan perjuangan referendum ke tingkat nasional dan internasional.. Upaya dialog dan diplomasi yang dilakukan oleh gerakan sipil tentu lebih bisa diterima. Di situlah mulai gerakan referendum populer di Aceh.

Sebagai warga Aceh sekaligus orang yang terus terlibat dalam pembangunan masyarakat Aceh, apa harapan Shadia terhadap Aceh ke depannya?

Sekarang Aceh harus mengejar, mencapai kesetaraan dengan provinsi lain atau bahkan lebih. Sedikit demi sedikit kami mulai berbenah. Sekarang kita lihat, pemerintah daerah (Pemda) Aceh sudah punya program beasiswa yang mengirim anak Aceh kuliah ke luar negeri. Pemda juga mempunyai program Jaminan Kesehatan Aceh (JKA) sebagai bentuk kepedulian terhadap kesejahteraan dan kesehatan masyarakat. Program pendidikan gratis dari tingkat SD-SMA merupakan upaya yang sedang terus dilakukan di Aceh. Dengan perdamaian sekarang, insya Allah Aceh bisa mengejar ketinggalannya. Yang penting tetap berpikir positif. []

Usep Hasan S.

Comments