The Da Vinci Code dan Kedewasaan Beragama di Indonesia

Untuk yang ke sekian kalinya novel laris (best seller) dunia kembali difilmkan. Kali ini novel karya Dan Brown yang berjudul The Da Vinci Code. Tidak dapat dipungkiri bahwa larisnya The Da Vinci Code adalah karena kepiawaian Dan Brown dalam mengaitkan fakta sejarah dengan ajaran (doktrin) agama yang kemudian dia kemas dalam teka-teki pemecahan kode. Memukau nalar, mengguncang iman! Itulah kalimat yang tertulis di sampul novel The Da Vinci Code edisi Indonesia yang diterbitkan oleh Penerbit Serambi. Kalimat yang sesuai dengan apa yang dirasakan bagi kita yang telah membacanya. Memukau nalar karena kita tidak habis-habisnya "dipompa" untuk berpikir selama membacanya. Mengguncang iman karena di dalamnya terdapat penggugatan terhadap kemapanan suatu doktrin (ajaran) agama.

Diceritakan dalam The Da Vinci Code bahwa Yesus adalah manusia bukanlah Tuhan sebagaimana doktrin Kristiani pada umumnya. Penetapan Yesus sebagai (Putra) Tuhan bukanlah bersumber dari ajaran Yesus, melainkan dari hasil voting yang terjadi pada Konsili Nicea. Penetapan tersebut tidak lepas dari kepentingan politik Raja Roma Konstantin. Konstantin juga menitah dan membiayai penyusunan Al Kitab baru yang meniadakan prilaku manusiawi Yesus dan menggantinya dengan klaim Yesus sebagai Tuhan.

Yesus juga diceritakan mempunyai keturunan hasil pernikahannya dengan Maria Magdalena. Keturunan Yesus masih ada dan dijaga serta dirahasiakan sampai sekarang oleh sekte rahasia yang bernama Biarawan Sion. Hal tersebut dilakukan agar ajaran dan pengikut Kristen yang murni tetap ada sebagai usaha untuk keselamatan umat manusia. Maria Magdalena sendiri adalah Cawan Suci (Holy Grail) yang gambarannya ada dalam lukisan Perjamuan Terakhir (The Last Supper) karya Leonardo Da Vinci yang selama ini (gambar Magdalena) dianggap sebagai pelacur agar rahasia besar tersebut tidak tersebar.

Jelas dari semua hal itu, The Da Vinci Code merupakan kontroversi bagi penganut Kristen (Katolik) pada umumnya. Protes keras dari berbagai kalangan khususnya para penganut agama Kristen dilakukan. Mulai dari pernyataan-pernyataan keberatan atas penerbitan dan penayangan The Da Vinci Code secara luas sampai dengan membuat buku tandingannya (salah satunya adalah Fact and Fiction in The Da Vinci Code karya Steven Kellemeir). Untuk versi filmnya, banyak negara yang tidak menerima penayangan The Da Vinci Code di bioskop. Hal tersebut merupakan upaya penjagaan terhadap keyakinan beragama (Kristen).


Kedewasaan beragama di Indonesia

Jika banyak negara memprotes dan melarang penayangan The Da Vinci Code di bioskop, Indonesia menerima dengan terbuka The Da Vinci Code ditayangkan di bioskop-bioskop (21) tanah air. Bahkan untuk pemutaran perdana (juga sampai sekarang di beberapa bioskop) tiket habis terjual, sehingga harus memesan di jam tayang sebelumnya atau satu hari sebelumnya.

Menanggapi fenomena tersebut, di satu sisi saya memandang positif hal ini, artinya hak kita untuk mengetahui dan memahami suatu agama dengan pendekatan yang kritis terbuka lebar. Tetapi di sisi lain ada perasaan khawatir dalam diri saya terhadap realita kehidupan beragama di Indonesia. Saya jadi teringat sikap Indonesia yang melarang ditayangkannya film True Lies (yang dibintangi Arnold Schwarzenegger) serta film The Prince of Egypt (kartun nabi Musa) di bioskop. Novel The Satanic Verses karya Salman Rusdhie pun tidak boleh diterbitkan. Indonesia pun merupakan Negara yang paling lantang melaknat pembuat karikatur Nabi yang dimuat di harian Jylland Posten, Denmark. Artinya, segala sesuatu yang mengandung unsur agama dan keyakinan jika dianggap melecehkan umat Islam (padahal tidak semua merasa dilecehkan) di Indonesia dilarang dan ditentang. Tetapi jika hal tersebut terjadi pada agama selain Islam dibiarkan. Untuk The Da Vinci Code (meskipun ada penjelasan dari Dan Brown kalau The Da Vinci Code adalah sebuah fiksi sebagaimana dengan novel The Satanic Verses-nya Salman Rusdhie) bebas terbit dan tayang. Padahal menurut saya apa yang dipaparkan dalam The Da Vinci Code sebagai bentuk gugatan terhadap doktrin Kristen lebih radikal dan mendasar dibandingkan dengan karikatur Nabi, film True Lies dan The Prince of Egypt atau pun novel The Satanic Verses.

Saya bersyukur tidak ada reaksi yang berlebihan dari para penganut agama Kristen di Indonesia. Upaya dari pemuka agama Kristen adalah melakukan penjelasan kepada jemaah sebagai bentuk penguatan keyakinan. Mereka pun tidak mengeluarkan "fatwa mati" kepada Dan Brown dan pihak-pihak yang terlibat dalam The Da Vinci Code. Tidak ada aksi pencekalan, tidak ada pembakaran atau pun bentuk tindakan anarkis lainnya.

Tampaknya kita (umat yang beragama lain) perlu belajar dari penyikapan yang dilakukan kalangan Kristiani di Indonesia. Bagi saya apa yang dilakukan mereka merupakan cerminan sikap kedewasaan dalam beragama. Dewasa karena mereka tidak khawatir dan bisa bersikap dengan bijak ketika doktrin (keyakinan) agama mereka "diserang", digugat atau pun dikritik. Kekhawatiran dalam beragama dan "kegoyahan" iman bukan disebabkan oleh pihak luar tetapi lebih disebabkan karena kurangnya pengetahuan dan pemahaman dalam beragama. Mereka tetap menunjukan ajaran agama kasih sayang sebagaimana yang mereka sebarkan selama ini. "Berilah pipi kananmu jika pipi kirimu ditampar".

Di samping itu, semoga hal tersebut bisa menyadarkan kita untuk tidak menerapkan standar ganda dalam menjalani kehidupan beragama. Kita "senang" mengkritik keyakinan agama tertentu tetapi kita tidak "senang" mengkritik keyakinan kita atau jika keyakinan kita dikritik. Kita sering mencari tahu dan membeberkan "kekurangan-kekurangan" agama tertentu tetapi tidak mau mencari tahu kekurangan keberagamaan kita. Hal tersebut akan menciptakan iklim kehidupan beragama yang tidak sehat dan tidak harmonis, saling menjelekan dan penuh prasangka.

Marilah kita bersama memperdalam pengetahuan dan pemahaman serta menjalankan ajaran agama yang kita yakini. Ini perlu dilakukan (karena merupakan kewajiban setiap penganut agama) agar kedewasaan kita dalam beragama bisa tumbuh, terakumulasi dan terjaga. Saya percaya bahwa dengan kedewasaan beragama kita bisa bersama-sama (baik dengan yang seagama maupun dengan yang berbeda agama) menciptakan kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang lebih baik. Dan biarlah iklim kebebasan berkarya, berpendapat dan mengkritik tetap terjaga dan kita pelihara sebagai bagian dari kesempurnaan dalam beragama serta sebagai ujian terhadap keyakinan kita. Semoga karya "cerdas" The Da Vinci Code-nya Dan Brown bisa menjadi pemicu usaha pendewasaan keberagamaan di Indonesia.[]

USEP HASAN SADIKIN
http://forlib.blogspot.com/2006/10/edisi-7.html

Comments