“Lingua Franca” Hukum

Kita berhasil sebagai bangsa, tetapi belum sebagai negara.” (Nurcholis Madjid);

Hukum adalah sesuatu yang kaku.” (Aristoteles);


Dalam sejarahnya, bahasa Indonesia tumbuh dan berkembang dari bahasa Melayu yang sejak masa pra kemerdekaan sudah digunakan sebagai bahasa penghubung (lingua franca). Bahasa penghubung dalam keragaman (bahasa) masyarakat. Dipilihnya bahasa Malayu sebagai bahasa penghubung karena beberapa alasan tertentu. Di antaranya adalah karena relatif lebih mudah, dan juga karena relatif lebih banyak digunakan oleh masyarakat pada umumnya.

Setelah ditetapkan sebagai bahasa negara, sampai sekarang bahasa Indonesia tetap menjadi bahasa penghubung di negara ini. Bahasa penghubung antara suku bangsa satu dengan suku bangsa lainnya. Bahasa penghubung antara orang Minang, Jawa, Sunda, Batak, Papua, Makasar; Bali, Maluku, dan sebagainya.

Bahasa Indonesia terpelihara. Meski ketika percakapan hanya melibatkan kita yang satu daerah, kita lebih suka menggunakan bahasa daerah asal kita. Orang Minang jika bercakap dengan orang Minang, lebih suka menggunakan bahasa Minang; jika orang Jawa ngobrol dengan orang Jawa, lebih suka menggunakan bahasa Jawa; begitu juga orang yang berasal dari daerah lainnya.

Bahkan di tengah-tengah ”kepungan” bahasa asing dan juga bahasa agama (dari teks kitab suci), bahasa Indonesia juga tetap masih digunakan. Bahasa Indonesia tetap eksis dan berjalan dengan percaya diri. Malah, kepungan bahasa asing dan bahasa agama (beserta bahasa daerah) turut memperkaya jumlah kata bahasa Indonesia dengan hadirnya berbagai macam kata serapan.

Dapat disimpulkan bahwa, dalam berbahasa kita bebas memilih bahasa sesuai ”selera” kita. Mana bahasa yang kita anggap ”enak”, bahasa itu yang digunakan. Tetapi dengan catatan, dalam memilihnya tidak terlepas dari kondisi. Jika kita sebagai orang Minang kita bisa enak menggunakan bahasa Minang ketika berbicara dengan orang Minang. Tetapi kita tidak bisa (se-)enak(-nya) menggunakan bahasa Minang ketika berbicara dengan orang Jawa atau yang lainnya. Maka di sinilah bahasa Indonesia (sebagai bahasa negara) berperan, sebagai bahasa penghubung.


Hukum negara sebagai hukum penghubung

Jika bahasa negara lahir dan digunakan dari keadaan beserta proses seperti itu, lalu bagaimana dengan hukum negara? Bagaimana proses berlakunya hukum positif di Indonesia? Bagaimana hukum negara dirumuskan? Jawabannya saya tidak tahu pasti. Tetapi, tampaknya hukum negara lahir tanpa melalui proses interaksi antar keragaman (hukum). Kelahiran hukum negara sepertinya dipaksakan dengan mengambil begitu saja dari ”warisan” kolonial Belanda. Tak heran jika hukum negara yang diberlakukan di Indonesia, hingga kini tidak sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia yang beragam.

Kita tahu, ada sebagian dari kita yang lebih ”senang” menggunakan hukum lain dibandingkan menggunakan hukum negara. Ada yang lebih senang menggunakan hukum adat. Ada yang lebih senang menggunakan hukum agama. Dan ada juga yang lebih senang menggunakan/ memperjuangkan berlakunya hukum asing.

Kita tahu bahwa masih banyak masyarakat Madura yang lebih suka menggunakan hukuman carok dalam menyelesaikan kasus pembunuhan. Mereka merasa lebih ”puas” jika menggunakan hukuman carok dibandingkan hukum negara. Permasalahan bisa selesai dengan carok. Karena ”selera” mereka adalah hukum adat, bukan hukum negara.

Dan kita pun tahu bahwa ada daerah atau masyarakat yang ingin menggunakan hukum Islam dalam menyelesaikan permasalahan sosial, khususnya tindakan kriminal. Masih membekas dalam pikiran kita, bagaimana di Makasar, Jafar Umar Thalib bisa ”leluasa” melakukan hukuman rajam (sampai mati), di tengah lapang (dengan disaksikan dan melibatkan banyak orang) terhadap pengikutnya yang melakukan perzinahan. Belum lagi banyaknya usaha pengajuan Perda berdasarkan hukum (kitab) agama.

Karena semua hal tersebut, perlakukanlah hukum negara sebagaimana bahasa negara. Tempatkanlah hukum negara sebagaimana menempatkan bahasa negara. Jadikanlah hukum negara sebagai hukum penghubung, atau kalau boleh saya mengistilahkannya menjadi, ”lingua franca” hukum. Sebagaimana bahasa Indonesia yang menghubungkan suku bangsa yang berbeda-beda bahasa.

Jadikanlah hukum negara sebagai hukum yang bisa berjalan beriringan dengan hukum-hukum yang lain. Membiarkan hukum adat, hukum agama dan hukum asing tetap ada, diberlakukan oleh masyarakat. Dan biarkanlah hukum negara berkembang dengan menyerap bentuk-bentuk hukuman dari hukum adat, hukum agama dan hukum asing. Sebagaimana bahasa negara bisa terus berkembang di tengah-tengah bahasa adat, bahasa asing dan bahasa agama.

Kemudian biarkanlah masyarakat memilih, hukum apa yang digunakan dalam menyelesaikan sebuah permasalahan. Jika ada orang Madura yang membunuh orang Madura, maka dia bisa memilih hukum adat Madura. Jika ada orang Islam bermasalah terhadap orang Islam, maka mereka bisa mengajukan hukuman berdasarkan hukum Islam. Tetapi dengan catatan kedua pihak (pelaku dan korban) bisa menerima pengajuan tersebut.

Dengan begitu, hukum negara di sini (lebih) merupakan sebuah penyelesaian atau aturan yang dipilih bagi dua/ lebih pihak yang memiliki ”selera” hukum yang beragam. Fungsi hukum negara dalam masyarakat yang beragam adalah untuk menghubungkan, sebagai lingua franca hukum. Bukan untuk menyeragamkan keragaman ”selera” hukum. []

USEP HASAN SADIKIN

http://indonesiamuda.net/blog/2007/10/11/lingua-franca-hukum/

Comments