Pak ISNAR

“Media Seribu, Media seribu, Media seribu…!”

Jika kita memasuki kawasan kampus UI, dengan berjalan kaki melalui Gang Senggol. Di sekitar jam 9 pagi s/d jam 1 siang, kita akan mendengar seorang bapak yang meneriaki kalimat itu. Namanya adalah Isnar. Pak Isnar saya memanggilnya.

Pak Isnar adalah seorang penjual koran (khusus) Media Indonesia. Namanya memang tak setenar seorang Om Surya Paloh ”jenggot” pemilik Media Grop. Wajahnya pun (jauh) kalah ganteng dengan Tommy Tjokro. Suaranya juga tidak terdengar ”seksi” seperti ”desahan” Rahma Sarita. Dan kulitnya pun (tampak) tidak sehalus kulitnya Prita Laura. Tetapi kita akan mudah mencirikan sosoknya di Gang Senggol.

Pak Isnar selalu menjadi sosok yang paling terlihat bersemangat di antara sekian banyak orang yang lalu-lalang di sepanjang jalan Gang Senggol. Dengan menggunakan seragam lengkap (beserta topi) bertuliskan Media Indonesia, Pak Isnar begitu ceria menawarkan koran. Media Indonesia terbaru seharga seribu rupiah ditawarkan kepada setiap orang yang melewatinya. Tentu saja disertai teriakan, ”Media seribu, Media seribu, Media seribu...!”.

Entah berapa kali (banyaknya) Pak Isnar menyebutkan kata Media di setiap harinya. Taruhlah ada tiga ratus orang yang melewati Gang Senggol di setiap waktu Pak Isnar berdiri menawarkan koran. Kalau setiap satu orang Pak Isnar menyebut kata Media dua kali, maka dalam satu hari Pak Isnar menyebutkan nama Media sebanyak enam ratus kali.

Bagi saya, itu luar biasa. Mungkin kata Media, diucapkan oleh Pak Isnar lebih banyak dari pada ”nama” Tuhannya Pak Isnar. Dan saya yakin, Surya Paloh saja tidak pernah mengucapkan kata Media sebanyak itu di salah satu harinya.

Pak Isnar pun tidak pernah bosan mengucapkan kata Media. Disertai sapaan dan senyum manis kepada kita dia ucapkan kata itu. Meski panasnya sinar matahari membakarnya. Meski sesekali saja orang membeli korannya. Tak terlihat adanya keluh kesah beban hidup pada raut wajahnya. Dia tetap mengucapkannya, ”Media seribu, Media seribu, Media seribu...!”.

Mungkin Surya Paloh ”sang pemilik” tidak tahu hal itu. Dan pemodal pun tak mau tahu. Yang mereka tahu, mereka telah membayar (orang-orang seperti) Pak Isnar seharga Rp. 300 ribu per bulannya. Dan bonus dua ratus rupiah setiap (ekslempar) koran yang terjualnya. Itulah penghargaan akan pentingnya Pak Isnar bagi mereka.

Tapi bagi saya, yang (mungkin) hanya bisa membantu dengan membeli korannya, bertemu sosok Pak Isnar merupakan suatu hal yang begitu berharga. Dan tentunya, harga seribu yang saya keluarkan bukan merupakan bentuk penghargaan yang bisa dibandingkan. Meski (mungkin) adanya ”seribu-seribu” dari kitalah yang membuatnya tetap berdiri tersenyum sampai sekarang.

Itulah Pak Isnar. Orang yang selalu mengucapkan kata ”terimakasih dan alhamdulillah” (serta tak jarang mendoakan kita menjadi orang sukses) setiap korannya kita beli. Sosoknya menjadi pengingat bagi saya. Pengingat akan pentingnya semangat, senyum dan kerja keras dalam menjalankan aktivitas sehari-hari. Pengingat akan pentingnya menikmati hidup (yang keras) ini. []
USEP HASAN SADIKIN

Dipersembahkan untuk Pak Isnar.
Senin, 12 Nopember 07 (rubrik kolom Badan Otonom Suara Mahasiswa; www.suma.ui.ed)

Comments