Regulasi Pornografi: Belajar dari Kasus Pengaturan Rokok

Dalam sebuah acara reality show di salah satu stasiun televisi, seorang dokter dan seksologi terkenal menawarkan pembawa acara untuk melihat koleksi film-film pornonya. Sontak si pembawa acara kaget dan menolak. Entah karena tidak suka atau takut dilihat pemirsa di rumah yang menonton, ia menampik. Pembawa acara tersebut lalu melanjutkan acara dengan menanyakan hal-hal seputar wilayah pribadi si dokter.

Dari tayangan tersebut, saya menafsirkan, sepertinya si dokter merupakan seorang yang mengangap film porno sebagai sesuatu yang bersifat netral. Artinya baik/tidaknya tergantung siapa yang menggunakan atau mengonsumsinya, dan untuk apa ia digunakan atau dikonsumsi. Film porno tidak baik jika digunakan dan dikonsumsi anak-anak di bawah umur, tapi mungkin baik jika digunakan untuk mereka yang mau atau sudah memiliki pasangan hidup (suami-istri) sebagai pengetahuan seputar seks. Apalagi dokter tersebut mengambil spesialisasi seksologi yang dituntut untuk mengetahui dan memahami bidangnya.

Berbicara pornografi (gambar porno) adalah berbicara antara dua pandangan tentang pornografi itu sendiri. Masing-masing pandangan malahirkan hal yang saling bertentangan. Pandangan pertama menilai bahwa produk porno (pornografi) adalah produk terlarang karena bersifat merusak (moral). Artinya segala hal yang berkaitan dengannya, seperti memproses, memproduksi, memperlihatkan, menjual, membeli atau yang lainnya, adalah terlarang. Dari pandangan ini, lahirlah perasaan berhak untuk membrangus produk porno, sebagaimana orang berhak menghilangkan sesuatu yang tidak dia sukai.

Pandangan kedua menilai bahwa produk porno merupakan salah satu kebutuhan. Artinya produk porno merupakan produk yang mungkin berguna atau dapat digunakan untuk keperluan atau kebutuhan tertentu. Misalnya, seseorang memerlukan atau membutuhkan produk porno untuk hiburan (sebagaimana seseorang mendengarkan musik untuk menghibur diri) atau seseorang memerlukan dan membutuhkan produk porno sebagai sarana edukasi. Dari pandangan ini lahirlah hak untuk menggunakan, mendapatkan, mengonsumsi, membeli, membuat, memproduksi, menjual, dan memasarkan produk porno. Puncaknya, produk porno menjadi industri.

Membicarakan pornografi menurut saya sama halnya ketika kita membicarakan rokok. Ada pandangan yang menilai bahwa rokok merupakan produk yang terlarang karena bersifat merusak kesehatan baik bagi si pengguna (penghisap) maupun yang tidak menghisap atau perokok pasif. Tetapi ada saja pandangan yang menilai bahwa rokok merupakan keperluan dan kebutuhan hidup karena dapat menghilangkan stres dan meningkatkan kinerja otak. Kedua pandangan ini (terus) saling "bertarung" memperjuangkan haknya. Yang satu ingin memberantas rokok, sedangkan "lawan"-nya membutuhkan rokok atau ingin membuat industri rokok.

Bagi penentu kebijakan, merupakan hal yang bijak ketika pemerintah membuat aturan yang mampu mengakomodasi hak-hak masing-masing pandangan (penilaian). Untuk rokok, kebijakan yang ada sekarang ini menurut saya sudah cukup baik. Adanya peringatan pemerintah akan bahaya kesehatan di setiap bungkusnya, serta peninggian pajak terhadap rokok merupakan hal yang bisa menambah pertimbangan masing-masing individu atau pun kelompok dalam menjual, membeli dan atau mengonsumsinya.

Pengaturan terhadap perusahaan rokok dalam mengiklankan produknya di televisi di atas jam 9 malam, serta tidak boleh memperlihatkan bentuk produk rokoknya, merupakan sikap yang bijak dan "cerdas". Itu perlu untuk mengurangi kemungkinan masyarakat, khususnya anak kecil, melihat dan mengetahui suatu produk rokok. Dan yang terbaru, penyediaan ruangan merokok (di Jakarta) merupakan sikap pengendalian (bukan pemusnahan) asap rokok yang bisa diterima masing-masing pihak (perokok dan bukan perokok).

Mungkin kita perlu menyikapi pornografi sebagaimana kita menyikapi rokok. Kita perlu mencontoh kebijakan pemerintah terhadap produk rokok dalam (turut serta) menentukan kebijakan terhadap pornografi. Memang perlu adanya pengaturan dalam distribusi dan pemasaran pornografi. Perlu adanya pengaturan di mana pornografi boleh beredar dan siapa saja yang boleh menggunakan dan membeli serta mengonsumsinya.

Perlu adanya peninggian pajak terhadap industri pornografi. Perlu adanya peringatan pemerintah akan bahaya kerusakan moral pada kemasan produk porno. Perlu adanya penegakan hukum yang tajam terhadap industri atau pihak yang terlibat, apabila melanggar (peng)aturan itu. Dan memang, soal penegakan hukum inilah yang merupakan permasalahan klasik di negeri ini.

Tapi, negara atau pemerintah juga tidak bisa atau tidak perlu memusnahkan pornografi. Yang bisa dan diperlukan adalah bagaimana negara membuat aturan terhadap distribusi dan pemasaran pornografi, serta menindak tegas (sekali lagi, menindak tegas) pihak-pihak yang melanggar aturan yang telah dibuat.

Bagi pihak yang tidak setuju terhadap produk porno, lakukanlah aksi-aksi yang "cerdas" sebagaimana mereka yang tidak setuju akan rokok. Melakukan himbauan-himbauan melalui media cetak dan elektronik, sekolah-sekolah, tempat-tampat ibadah, disertai dengan penanaman kepedulian dan sikap kritis masyarakat (individu dan keluarga) dalam menyikapi aturan yang dibuat, adalah perlu. Atau dengan membentuk komunitas "moral sehat" sebagaimana komunitas "jantung sehat" pada rokok.

Dari kedua pandangan dan penilaian ini, biarlah kedewasaan dan kematangan masing-masing individu serta keluarga yang menilai dan menentukan sikapnya terhadap produk tersebut. Memaksakan suatu hak atau kehendak terhadap hak atau kehendak yang lain merupakan sikap yang tidak bijak dan akan menciptakan iklim demokrasi yang tidak sehat. Biarlah pro dan kontra tetap terjadi, sehingga ia menjadi referensi kebenaran dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Bukanlah sikap bijak jika kita memusnahkan industri pornografi (juga rokok) karena di situ juga mungkin terkait soal keperluan, kebutuhan, dan pemenuhan "kesejahteraan hidup" sebagian masyarakat. Mudah-mudahan saran ini bermanfaat dan tidak ditanggapi secara emosional. []
Catatan: tulisan ini telah diedit dan dimuat oleh Jaringan Islam Liberal (http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=1053)

Comments