Pesantren, antara Tradisi dan Relevansi Kehidupan

Ketika saya masih tinggal di Asrama Mahasiswa UI, saya suka bertanya kepada mahasiswa asal daerah (non-JABODETABEK) lainnya. Pertanyaannya: ”kata apa yang tepat untuk melukiskan Banten secara umum?” rata-rata dari mereka akan menjawab: debus, santet atau pendekar. Sepertinya Banten dalam pikiran mereka suatu wilayah yang dipenuhi dengan ilmu hitam dan menyeramkan. Tetapi dari sekian jawaban, ada di antaranya jawaban yang menyebutkan kata Islam. Banten itu islami. Ya, memang Banten juga dikenal islami oleh orang kebanyakan.
Menurut saya, setidaknya ada dua hal yang menjadikan Banten menjadi daerah yang dikenal kebanyakan orang sebagai daerah yang islami. Pertama, Banten dahulu dikenal sebagai salah satu kerajaan Islam terbesar di Nusantara ini. Terbayang kejayaan bandar antarpulau dan negara yang mana tersangkut di dalamnya nama Sultan Ageng Tirtayasa, pahlawan nasional asal Kerajaan Banten yang terkenal gigih melawan pemerintahan kolonial Belanda sekitar abad 16. Kedua Banten merupakan pusat pendidikan pesantren tersohor di Nusantara tempo dulu. Nama seperti Syaikh Nawawi Al-Bantani (abad 19), yang ajarannya menjadi rujukan di kalangan (pesantren) penganut Kitab Kuning di Nusantara, adalah salah satu tokoh ulama besar yang dilahirkan di Banten (Tanara). Alasan kedua (pendidikan pesantren) tersebut, akan sedikit saya jabarkan dalam tulisan ini.

Pendidikan Pesantren
Kendati pun pendidikan pesantren bukanlah sesuatu yang genuin dalam tradisi Islam (Arab), pendidikan pesantren di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari Islam. Pendidikan pesantren memiliki karakter pendidikan yang sifatnya menyeluruh. Artinya seluruh potensi pikir dan zikir, rasa dan karsa, jiwa dan raga dikembangkan melalui berbagai media pendidikan yang terbentuk dalam suatu komunitas yang sengaja didesain secara integral untuk tujuan pendidikan. Jadi kehidupan dalam pondok sudah merupakan pelajaran yang penting bagi santri. Terbiasanya bertegur sapa, saling ingat-mengingatkan dalam kebaikan dan kesabaran, tingginya tingkat kepedulian antara santri satu dengan santri yang lain, serta tingginya rasa hormat pada ustadz (guru), merupakan segelintir nilai yang baik diterapkan di masyarakat.
Melihat hal tersebut, dapat dipahami bahwa tujuan pendidikan pesantren seperti halnya tujuan kehidupan manusia di dunia ini, yaitu beribadah. Tentu saja ibadah pengertian yang luas. Santri tidak hanya disiapkan untuk kehidupan akhirat nanti, tapi juga dipersiapkan untuk kehidupan di dunia. Inilah yang mereka sebut manusia seutuhnya (insan kamil). Sesuai dengan hadist Nabi yang berbunyi: carilah ilmu dunia seakan-akan kamu akan hidup selama-lamanya, dan carilah ilmu akhirat seakan-akan kamu akan mati besok. Pengolahan potensi diri ini didukung oleh bangunan spiritual, sistem nilai dan jiwa kedisiplinan yang kuat yang dapat diklasifikasikan sedikitnya menjadi lima, yaitu keikhlasan, kesederhanaan, ukhuwah islamiyah, kemandirian dan kebebasan.

Pesantren saat ini
Namun sayangnya, pesantren kini dipandang sebelah mata. Citra pesantren di mata masyarakat, khususnya masyarakat kota, adalah lembaga pendidikan yang sistem pendidikannya tidak signifikan dalam mengembangkan pemahaman dan tidak menciptakan lulusan yang memiliki pemikiran yang kritis dan visioner. Sehingga lulusan pesantren dianggap tidak bisa mengimbangi segala bentuk aspek kehidupan di dunia nyata, karena dianggap apa yang diajarkan dalam pesantren tidak relevan bagi pesatnya kemajuan zaman.
Sistem pendidikan yang terkesan mengisolir, menjadikan santri tidak mengetahui informasi dunia luar pesantren–karena sifatnya yang mengisolir, seakan tercipta dua dunia yaitu dunia pesantren dan dunia luar pesantren. Dunia luar pesantren yang bersifat heterogen dan dinamis, sulit dipahami bagi santri yang dalam kehidupan di pesantren selalu berkutat mempelajari ajaran agama yang cenderung tetap.
Memang, salah satu masalah yang menghantui umat Islam, khususnya kalangan pesantren adalah: bagaimana bisa hidup sesuai tuntutan ajaran agama di satu sisi, tetapi di sisi lain juga bisa mengikuti perubahan dunia yang terus berkembang? Bagaimana agar bisa terus menyesuaikan diri dengan perubahan, tetapi tetap sebagai Muslim yang baik? Bagaimana menjadi tradisional (yang menjaga kemurnian agama), tapi juga sekaligus menjadi modern?

Antara tradisi dan relevansi kehidupan
Islam sebagai agama dakwah, disebarkan secara efektif melalui proses transmisi ilmu dari ulama ke masyarakat (tarbiyah wa ta’lim, atau ta’dib). Proses ini di Indonesia berlangsung melalui pesantren. Hal ini dapat dibuktikan di antaranya dari metode pembelajaran di pesantren. Metode sam’ (audit, menyimak), metode syarh (penjelasan utama) dengan secara halaqah, metode tahfiz (hafalan) dll, yang terdapat di pesantren berasal dari tradisi intelektual Islam. (Sabili, Edisi Khusus, Sejarah Emas Muslim Indonesia, PT Bina Media Sabili, Jakarta 2003).
Metode pembelajaran itu, dahulu telah menghasilkan lulusan pesantren yang dibutuhkan masyarakat. Lulusan yang mempunyai kemampuan dalam menyelesaikan permasalahan masyarakat dan bisa menularkan kemampuannya ke tiap-tiap individu lainnya.
Lalu, bagaimana agar lulusan pesantren bisa kembali seperti itu? Bagaimana agar lulusan pesantren, memang menjadi lulusan yang dibutuhkan masyarakat?
Yang utama, pesantren harus bisa memilah-pilih, antara bagian dari tradisi yang murni dan mendasar (yang memang masih dibutuhkan). Dan pesantren harus jeli dan elastis dalam melihat dan mengadopsi hal/ nilai baru di luar tradisi pesantren. Penambahan hal/ nilai yang baru dibutuhkan, tanpa melupakan sesuatu yang baik dari tradisi.
Hal ini pun sesuai dengan ayat dalam al-Qur’an yang menjelaskan bahwa ide yang baik, pikiran yang otentik, bagaikan “pohon yang baik”, “akarnya menghujam di dalam bumi”, merupakan kesinambungan dengan masa lalu, absah dan valid (pemikiran yang memiliki akar pada tradisi). Dan juga al-Qur’an menyebutkan “dahan-dahannya yang menjulang tinggi kelangit”, yang bisa diartikan sebagai pemikiran yang mampu memahami zaman saat ini. Pemisalan al-Qur’an itu dapat disimpulkan sebagai berikut: ajaran (yang menghasilkan pemikiran) yang baik adalah yang memiliki akar pada tradisi, mengandung kemurnian dan bersifat relevan.
Untuk itu, metode pembelajaran sam’, syarh, halaqah dan tahfiz saya pikir termasuk bagian dari tradisi yang harus dipertahankan. Ada pun untuk hal/ nilai baru yang bagi saya perlu diadopsi oleh pesantren, adalah:
Pertama, perlu adanya penciptaan dan penjagaan iklim diskusi yang hangat dan terbuka baik itu di internal pesantren maupun yang melibatkan dengan masyarakat luar pesantren. Dengan ini, diharapkan sifat dan sikap kritis bisa ditanamkan kepada santri, yang teraplikasikan dalam bentuk kritik-kritk tajam terhadap fenomena dalam dan luar pesantren. Selama ini, pesantren pada umumnya menganggap tindakan kritik sebagai sesuatu yang tabu. Diharapkan dari kritik-kritik tajam tersebut akan ditemukan solusi dan penyikapan dalam menghadapi permasalahan kehidupan masyarakat.
Ke-dua, pesantren sebaiknya mau untuk belajar hal-hal yang ada di luar pesantren. Contohnya, belajar untuk menggunakan teknologi, menggunakan dan memanfaatkan media (cetak dan elektronik) untuk memperoleh informasi (nasional dan internasional) agar masyarakat pesantren bisa mengetahui, mempelajari dan memahami kehidupan dalam konteks global.
Ke-tiga, masyarakat pesantren sebaiknya ditanamkan jiwa berwirausaha. Selain untuk kemandirian pesantren, hal ini juga berguna untuk para santri saat nanti keluar dari pesantren dan berada di tengah masyarakat. Bentuknya bisa berupa peternakan, koprasi, percetakan, atau pendirian PT. Mungkin dalam hal ini, Pesantren Daarut Tauhid binaan Abdullah Gymnastiar (Aa Gym) bisa menjadi rujukan yang baik.
Di samping itu, masyarakat di luar pesantren pun sebaiknya memberikan perhatian dan kepedulian terhadap kondisi atau perkembangan pesantren yang ada di wilayahnya. Hal ini bisa dilakukan dalam bentuk dialog dengan memberi masukan atau dengan memberikan sumbangan berupa materi.
Dari semua hal tersebut, diharapkan pesantren bisa dan tetap menjadi pusat pendidikan, pembelajaran, dan pemberdayaan masyarakat, khususnya di Banten. Pesantren bisa dan tetap menjadi laboratorium civil society Banten sebagaimana dulu (atau lebih). Laboratorium yang produk-produknya (ide ataupun lulusannya) selalu dinanti masyarakat Banten. Sehingga hal ini akan menjadikan citra Banten sebagai daerah yang islami tetap melekat dan terlihat dalam kehidupan masyarakatnya. []

USEP HASAN SADIKIN
anggota FORKOMA UI Banten

tulisan ini pernah dimuat di koran Radar Banten (Syawal 1426 H)

Comments