”Memahami” Imam Samudra

“Manusia tidak pernah berbuat jahat sesempurna yang mereka
perbuat karena keyakinan agama.”
(BLAISE PASCAL, dalam ”Batas Nalar” karya Donald B. Calne)

Terlepas dari keraguan bahwa kasus Bom Bali memang dilakukan oleh Imam Samudra dkk., mengingat, dan membicarakan kejadian Bom Bali selalu memunculkan pertanyaan: benarkah aksi Bom Bali adalah jihad?
Tak salah memang Abdul Azis ‘Imam Samudra’–selanjutnya hanya ditulis Imam- dalam bukunya yang berjudul ”Aku Melawan Teroris!” (Jazera: 2004) menuliskan secara khusus mengenai penjelasan jihad Bom Bali di dalam bab “Bom Bali, Jihadkah?”.
“Bom Bali, Jihadkah?” Bagi Imam sendiri pertanyaan itu memang serius untuk dibahas. Memahaminya tidak bisa hitam putih begitu saja. Ada spektrum permasalahan dengan segenap wacananya yang harus dimengerti secara mendasar. Menurut Imam, seorang yang terdidik tidak akan mengatakan: “ngapain, jihad kok di Bali? Itu sih bukan jihad, soalnya menghacurkan ekonomi Indonesia. Kalau mau jihad ya di Amerika sana! Masa iya, jihad kok membunuh sesama muslim?” Itu asbun!
Untuk bisa memahami mengapa Imam bisa melakukan pemboman sedahsyat itu di mana banyak korban sipil dan tak sedikit di antaranya beragama Islam tentu tidak bisa dilepaskan dari pemahaman Imam sebagai muslim. Apa arti jihad bagi Imam? Mengapa Imam harus berjihad? Mengapa menggunakan bom? Mengapa di Bali?
Saya coba meringkas jawaban dan alasan Imam terhadap pertanyaan-pertanyaan itu yang memang Imam tulis dalam buku ”Aku Melawan Teroris?” (AMT).

Arti jihad menurut Imam
Imam mengartikan jihad ke dalam tiga segi, yaitu:
1. Dari segi bahasa (etimologi), jihad berarti bersungguh-sungguh, mencurahkan tenaga untuk mencapai satu tujuan.
2. Dari segi istilah, jihad berarti bersungguh-sungguh memperjuangkan hukum Allah. Mendakwahkannya serta menegakannya.
3. Dari segi syar’i, jihad berarti berperang melawan kaum kafir yang memerangi Islam dan kaum muslimin. Pengertian syar’i ini lebih terkenal dengan sebutan “jihad fi sabilillah”.
Dari tiga pengertian itu, Imam memahami bahwa arti jihad dari segi syar’i merupakan pengertian jihad yang sempurna. Dua pengertian jihad sebelumnya merupakan tahapan dan penyusun untuk capaian berperang melawan kaum kafir yang memerangi Islam beserta kaum muslimin. Kafir diartikan oleh Imam sebagai orang (individu dan kelompok/ bangsa) yang bukan beragama Islam. Dan kerap kali Imam menyamakan pengertian kafir dan musyrik. Mungkin lahir dari buah pikir bahwa setiap kafir menyembah tuhan selain Allah.

Mengapa Imam (/ muslim) harus berjihad?
Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang beriman diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang di jalan Allah, lalu mereka membunuh atau terbunuh. Itu (telah menjadi janji) yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Quran. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya selain Allah? Maka, bergembiralah dengan jual beli itu, dan itulah kemenangan yang besar.
(At Taubah:111)
Apakah kamu menyangka bahwa kamu akan masuk surga padahal Allah belum melihat (dalam kenyataan) siapa yang berjihad di antara kamu dan belum nyata siapa yang bersabar.
(Ali Imran: 142)
Dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah berserta orang-orang yang bertakwa.
(At Taubah: 36)
Dan perangilah mereka sehingga tidak ada lagi firnah, dan supaya agama itu semata-mata untuk (keunggulan) Allah.
(Al Anfal: 39)
Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sehingga mereka bersaksi bahwa tidak ada ilah (Tuhan) selain Allah dan bahwasanya Muhammad adalah Rasulullah, dan mereka mendirikan shalat serta menunaikan zakat.
(HR. Bukhari-Muslim)
”ketahuilah, bahwa surga berada di bawah bayang-bayang pedang.”
(HR. Bukhari-Muslim)
Ayat dan hadist tersebut, bagi Imam merupakan perintah langsung dari langit tujuh yang ditujukan kepada semua umat Islam. Berjihad (memerangi) kaum kafir merupakan cerita utama kehidupan umat manusia di dunia. Jihad (dan sabar) merupakan syarat yang harus dijalani dan dipenuhi setiap muslim untuk mencapai surga.
Berjihad pun merupakan kewajiban bagi setiap (muslim yang) mukmin. Sebagaimana diwajibkannya berpuasa bagi setiap mukmin.
Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu padahal amat buruk bagimu; Allah mengetahui sedangkan kamu tidak.
(Al Baqarah: 216)
Jadi, menjadi muslim bukan sekedar sholat, puasa, zakat, haji atau yang lainnya. Semua itu bagi Imam, belum sempurna tanpa disertai turut sertanya kita dalam memerangi kaum kafir.

Mengapa menggunakan bom?
Bagi Imam konsep perang adalah bagaimana kita membunuh atau terbunuh. Artinya, teknis dan peralatan (senjata) disesuaikan dengan konsep itu. Dalam Al Quran memang tidak ada istilah bom. Meski demikian, pada zaman nabi ada teknis cara bertempur yang bernama ”manjaniq”. Fungsi manjaniq seperti martir yang memiliki daya rusak sangat tinggi. Fungsi martir pada manjaniq ini yang diasosiasikan sebagai bom. Ada pun beberapa pendapat ulama yang Imam pegang adalah sebagai berikut:
Dalam pengepungan terhadap kaum Banu Hawazin dan sekutunya, Rasulullah saw. menggunakan manjaniq selama empat puluh hari.
(Ibnu Katsir. Tafsir al Quran, Juz 2/ 357)
”Diperbolehkan menembakan manjaniq terhadap kaum kafir, dengan menghantamkan batu-batu dan api serta mengirim air bah pada mereka sekalipun di antara kaum kafirin itu terdapat kaum muslimin yang tertawan, karena hal ini merupakan kepentingan peperangan.” (Al Khatib Asy Syarbini dikutip oleh Imam Asya Syahid Ibn Nuhas dalam Tahzib Masyariqul Asywaq) -hal 150 dan 151.

Mengapa di Bali?
Sebetulnya tidak ada keharusan melakukan jihad di Bali. Karena setiap jengkal tanah adalah kepunyaan Allah. Mereka yang beragama di tanah Allah, tetapi tidak sesuai dengan agama Allah maka harus diperangi. Imam berpegang pada ayat:
Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka.
(Al Baqarah: 191)
Target jihad adalah orang-orang kafir. Kafir yang harus diperangi dalam artian negara adalah Amerika dan para sekutunya (Israel, Australia dll.). Di mana terdapat orang kafir berkewarganegaraan tersebut, maka itulah target. Menyerang target pada wilayah yang homogen (Amerika dan sekutunya) tentulah lebih efektif dan efisien dari pada menyerang wilayah yang heterogen. Setelah dipertimbangkan, Sari Club dan Pady’s Pub, Legian, Bali merupakan target yang tepat (Hal. 120).

Mengapa sipil yang jadi sasaran?
Imam yang begitu ”membenci” negara kafir Amerika (dan sekutunya) tentulah akan bisa kita mengerti jika kebenciannya dia luapkan dengan aksi kekerasan terhadap tentara Amerika, atau Bush misalnya. Tetapi yang Imam serang malah pihak sipil, yang notabene tidak tahu menahu, apa itu pertarungan ideologi Barat dan Islam?; apa itu konflik Israel-Palestina?; dsb. Ini menimbulkan keheranan bagi kita.
Tetapi Imam mempunyai dasar dan alasan yang menarik. Imam memulai penjelasan dengan menggambarkan keadaan bahwa selama ini Amerika dan sekutunya telah banyak melakukan peperangan di beberapa negara. Imam menuliskan bagaimana serangan Amerika terhadap Irak, telah membunuh 1,5 juta bayi Irak. Serta kebiadaban sikap Israel terhadap rakyat (sipil) Palestina yang masih berlangsung hingga sekarang.
Dari keadaan itu Imam menilai bahwa, kafir Amerika dan sekutunya adalah teroris. Para Kafir telah melampaui batas. Maka Imam mengacu pada ayat:
Barang siapa melampaui batas terhadap kami maka balaslah serangan mereka seimbang dengan yang mereka lakkukan terhadap kamu...
(Al Baqarah: 194)
Dan jika kamu mengadakan pembalasan, maka balaslah dengan balasan yang setimpal dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu...
(An Nahl: 126)
Dengan begitu, sipil bangsa-bangsa kafir (penjajah) yang semula tidak boleh diperangi, berubah menjadi boleh diperangi dengan adanya tindakan melampaui batas oleh kafir penjajah terhadap kaum sipil muslim. Bagi Imam, ini merupakan usaha pencapaian keseimbangan hukum dalam perlawanan (Hal. 116). Bom Bali hanyalah setitik reaksi terhadap sekian banyak aksi yang dilakukan oleh bangsa-bangsa kafir (Amerika dan sekutunya) penjajah terhadap umat Islam di seluruh dunia. Perang dibalas perang; darah dibalas darah; nyawa dibalas nyawa, sipil dibalas sipil, pelampauan batas dibalas dengan setimpal!

Bagaimana dengan korban yang beragama Islam?
Setiap tindakan manusia sangat memungkinkan untuk tak luput dari kesalahan (human error). Jatuhnya korban yang beragama Islam merupakan bentuk dari human error aksi bom Imam dkk. Sebelumnya mereka telah memperhitungkan dan memahami situasi lapangan bahwa, antara jam 21.00 s/d 24.00 merupakan waktu para kafir aktif bermaksiat. Dan pada waktu itu, hampir bisa dipastikan tidak ada penduduk lokal yang berkeliling di daerah itu. Ternyata kenyataan lain. Tak sedikit muslim yang menjadi korban (Hal. 121).
Adanya human error itu sangat disesali Imam. Dirinya bertaubat kepada Allah atas hal itu.
”Hilangnya dunia masih lebih ringan di sisi Allah dari pada terbunuhnya seorang muslim.”
(HR. Nasai dan Al Baihaqi)
Tapi, berkenaan dengan ketaksengajaan membunuh kaum muslim, bagi Imam Islam sebagai agama yang sempurna telah memberikan solusi tersendiri melalui firman Allah:
Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh mukmin yang lain kecuali karena tersalah (tidak sengaja). Dan barangsiapa membunuh mukmin karena bersalah (hendaklah ia) memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diyat (denda) yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika keluarga si terbunuh bersedekah (membebaskan pembunuh dari membayar diyat). Jika si terbunuh dari kaum yang memusuhimu, padahal ia mukmin, maka hendaklah (si pembunuh), memerdekakan hamba sahaya yang mukmin. Dan jika (si terbunuh) dari kaum kafir yang ada perjanjian (damai) anTara mereka dengan kami, maka hendaklah (si pembunuh) membayar diat yang diserahkan pada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang mukmin. Barang siapa yang tidak memperolehnya maka hendaklah (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut, sebagai cara taubat kepada Allah dan adalah Allah Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana. (An Nisa; 92)

Bagaimana dengan grasi?
Bagi Imam, hanya kepada Allah lah seluruh manusia wajib memohon ampun. Dialah Pemilik Neraka dan Surga. Dialah Maha Pengampun, Pengasih dan Penyayang. Grasi, ampunan, pengampunan atau yang lainnya merupakan bentuk pembelaan hukum yang dibuat oleh hukum-hukum manusia. Hukum-hukum yang jauh dari syariat Islam/ hukum Allah. Mengajukan grasi berarti tunduk kepada hukum buatan manusia.
Memohon grasi pun berarti membenarkan hukum kafir dan mengingkari kebenaran hukum Allah (Hal. 198 s/d 202).
Dan pengajuan grasi merupakan bentuk sikap penyesalan atas perbuatan. Padahal aksi bom Bali bagi Imam tak ada penyesalan dan memang didasari oleh keyakinan yang kuat yang bersumber dari kebenaran Allah, Al Quran dan Hadist. Untuk apa memohon ampun, padahal Imam telah menjalankan kebenaran.

Benarkah jihad ala Imam tidak seusai dengan Islam?
Jika kita dihadapi, ditanya, melihat dan/ atau membahas adanya kekerasan yang mengatasnamakan agama, umumnya kita selalu memisahkan antara ajaran agama dengan pemeluk agama. Seperti memisahkan cawan dengan anggur. Agama ibarat cawan sedangkan (perilaku) pemeluk agama adalah anggur. Ketika dirasakan pahit dalam mereguk anggur, maka yang disalahkan adalah anggurnya. Terorisme beragama ibarat rasa pahit yang berasal dari para pemeluk agama, bukan berasal dari ajaran agama. Bukan agama yang mengajarkan pemeluknya melakukan kekerasan, tetapi pemeluknya yang salah dalam memahami dan menjalankan ajaran agamanya.
Benarkah seperti itu? Benarkah agama adalah cawan kristal suci yang kuat-bersih-bening-mengkilat tak luput dari kerapuhan dan noda? Benarkah pemeluk adalah anggur yang sangat memungkinkan menjadi masam dan pahit, tanpa dipengaruhi cawan bernama agama?
Ulil Abshar Abdallah berpendapat bahwa, ketika Bom Bali Imam dkk. kita nilai sebagai tindakan di luar ajaran Islam, maka sebetulnya di sini kita menjumpai permasalahan yang mendasar dalam bingkai pluralitas agama. Karena dengan penilaian itu kita sedang membuat dua kleim sekaligus:
1. Kita menganggap bahwa para pembom Bali itu tidak paham Islam yang sebenarnya, sehingga tindakan mereka jelas salah;
2. Kita mengkleim bahwa pemahaman kitalah yang benar karena sesuai dengan Islam.
Dua kleim itu bagi Ulil, jelas tidak tepat. Kleim pertama tidak tepat karena para Imam dkk. bukanlah para “orang lugu” yang sekedar mengebom karena sebuah orientasi yang rendah. Imam dkk. adalah Al Ustadz (guru agama), yang sepanjang hidupnya berada dalam tradisi ajaran Islam. Dan dalam AMT, jelas bahwa Imam dkk. mempunyai argumentasi kuat yang dibangun oleh rangkaian ayat, hadist dan fatwa ulama disertai dengan penafsiran mereka.
Kleim kedua pun ditolak, karena kita memposisikan pemahaman kita hanya berasal dari satu spektrum penafsiran di antara sekian banyak penafsiran. Islam itu multi tafsir, salah satu di dalamnya ada tafsir yang membentuk pemahaman keras ala Imam Samudra.
Maka untuk menyikapi kasus aksi bom Bali Imam dkk., yang harus kita lakukan adalah kita tidak hanya mengkritik pemahaman Imam Samudra–di samping sikap kritik intropeksi pada diri kita-, tetapi juga kita mengkritik (ajaran) Islam yang kita yakini. Tindakan kekerasan pemeluk agama yang mengatasnamakan ajaran agama, bagi saya bisa juga ibarat rasa pahit dalam mereguk anggur melalui media cawan. Untuk mencari tahu sebab timbulnya rasa pahit, kita tidak hanya memeriksa apakah anggurnya pahit atau tidak. Tetapi juga, kita harus periksa cawan yang mewadahi anggur itu. Perlu adanya otokritik bagi umat Islam terhadap isi sumber ajarannya, Al Quran dan Hadist.
Itulah sikap beragama yang dewasa. Ketika kita memahami diri kita sebagai manusia yang tak luput dari kesalahan, namun kita juga bisa memilah-milih melalui olah pikir dan rasa terhadap kebutuhan kita untuk memiliki konsep ajaran hidup. Beragama secara dewasa adalah ketika kita sadar bahwa, kita berada dalam apitan ajaran yang toleran dan keras; yang berisi pesan perdamaian atau yang mengajarkan berperang ala Imam Samudra. Maka, selamatlah kita jika bisa mencegah potensi dan dampak negatif dari agama yang kita yakini. []

USEP HASAN SADIKIN

http://forlib.blogspot.com/2007/12/memahami-imam-samudra.html

Comments

ANNAS said…
Hari ini kaum Muslimin berada dalam situasi di mana aturan-aturan kafir sedang diterapkan. Maka realitas tanah-tanah Muslim saat ini adalah sebagaimana Rasulullah Saw. di Makkah sebelum Negara Islam didirikan di Madinah. Oleh karena itu, dalam rangka bekerja untuk pendirian Negara Islam, kelompok ini perlu mengikuti contoh yang terbangun di dalam Sirah. Dalam memeriksa periode Mekkah, hingga pendirian Negara Islam di Madinah, kita melihat bahwa RasulAllah Saw. melalui beberapa tahap spesifik dan jelas dan mengerjakan beberapa aksi spesifik dalam tahap-tahap itu