Membincangkan Peran Mahasiswa

Membincangkan peran mahasiswa, merupakan usaha untuk merumuskan apa saja laku atau tindakan seorang mahasiswa, baik itu secara individu maupun kolektif. Mahasiswa ibarat tokoh dalam sandiwara yang memiliki rangkaian hal yang menjadikan si tokoh berlaku atau bertindak. Di sini saya mengartikan peran mahasiswa sebagai kumpulan bentuk tindakan seorang atau suatu kelompok mahasiswa. Adanya tindakan itu, menjadikan mahasiswa terlihat, terdengar dan terasakan keberadaannya, yang biasa disebut sebagai eksistensi mahasiswa. Pertanyaannya, ”apa peran mahasiswa?”. Atau lebih jelasnya ”apa saja tindakan yang termasuk dalam peran mahasiswa?”.
Menjawab pertanyaan itu, bagi saya tidak mudah. Jika seorang mahasiswa mencuri sepatu di masjid kampus, atau ada mahasiswa yang melakukan pesta seks bebas, sepertinya kita semua sepakat bahwa, itu bukan merupakan bentuk peran mahasiswa. Jadi kalau misalnya mahasiswa M melakukan tindakan itu, tidak ada sangkut pautnya dengan peran mahasiswa. Meski pun si M dalam melakukannya menggunakan jaket almamater.
Tetapi banyak hal-hal di mana kita sulit membedakan mana yang termasuk peran mahasiswa dengan yang bukan. Misalnya, ada kegiatan mahasiswa yang bernama Jazz Goes to Campus (JGTC) (atau acara musik lain); aktivitas bermain kartu, gitar, futsal atau yang lainnya; acara seminar dan pelatihan yang diselenggarakan mahasiswa di hotel-hotel berbintang, dengan memungut biaya besar (senilai ratusan ribu s/d jutaan rupiah) dari masyarakat; aksi demonstrasi mahasiswa dengan cara-cara ”anarkis”; aksi ”militan” mahasiswa dengan mengatasnamakan sebuah identitas agama yang memperjuangkan sebuah (sistem) ideologi agama; atau juga rutinitas perkuliahan yang cenderung ”datar-datar saja”. Manakah aktivitas tersebut yang bisa dibilang sebagai bentuk peran mahasiswa?
Bagi saya, aktivitas mahasiswa tersebut sulit dibedakan mana yang bisa dibilang sebagai bentuk peran mahasiswa dan mana yang bukan. Dan bila kita bertanya kepada masing-masing pelaku tindakan tersebut, (sepertinya) masing-masing akan mengkleim bahwa tindakannya merupakan bagian dari peran mahasiswa. Masing-masing punya alasan dan penjelasan atas tindakannya.
Dari keadaan itu, perlu bagi kita menentukan batasan untuk dijadikan acuan penilaian terhadap peran mahasiswa. Diperlukan batasan untuk bisa membedakan mana yang memang merupakan bentuk peran mahasiswa dan mana yang bukan. Tak hanya sebagai acuan, tetapi juga sebagai koridor dalam menentukan dan menjalankan peran mahasiswa; sekaligus dalam mengkritik suatu bentuk peran mahasiswa.
Dahulu, sebagian dari kita begitu mengagungkan peran mahasiswa dengan tiga jargon: agent (/ direct) of change; middle-class; dan iron-stock. Saya pikir peran sebagai pengantar (/ pengarah) perubahan; penyambung kaum alit dan kaum elit; serta sebagai generasi penurus, masih relevan untuk dijadikan sebagai batasan dalam menentukan tindakan kita sebagai mahasiswa. Hanya saja tiga batasan (peran) itu identik dimiliki oleh kalangan mahasiswa yang aktif dalam pergerakan (demonstrasi). Sehingga perlu adanya batasan lain yang bisa diterima oleh semua civitas akademik, khususnya mahasiswa. Mahasiswa yang mengenyam pendidikan tinggi formal di kampus (perguruan tinggi), sebaiknya juga menjadikan landasan perguruan tinggi sebagai batasan yang dipakai untuk merumuskan perannya. Kita mengenalnya dengan istilah Tridharma Perguruan Tinggi; pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat.
Jadi, jawaban dari pertanyaan "apa peran mahasiswa?" adalah, mahasiswa memiliki peran dalam melaksanakan Tridharma Perguruan Tinggi (TPT). Bentuk peran mahasiswa harus sesuai dengan proses pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat.
TPT bagi saya merupakan landasan yang sejalan bagi manusia yang diartikan sebagai insan kamil (insan yang sempurna). Insan kamil adalah insan yang dalam setiap lakunya merupakan perwujudan dari potensinya sebagai makhluk yang selalu berusaha untuk belajar, berkarya dan bermanfaat. Sehingga tak salah -setidaknya bagi saya- jika TPT (pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat) merupakan pengistilahan (lain) dari semangat belajar, berkarya dan bermanfaat.
Dengan landasan TPT, kita bisa membedakan mana yang merupakan bentuk peran mahasiswa dan mana yang bukan. Ketika kita mengadakan atau menilai kegiatan JGTC, maka acuannya adalah TPT. Adakah semangat pem(belajar)an di dalamnya? Adakah semangat berkarya di sana? Dan, adakah manfaat (bersama) yang bisa dirasakan dari kegiatannnya? Ini pun berlaku bagi kegiatan mahasiswa yang lainnya.Lalu, siapa yang berhak menilai suatu kegiatan bisa dikatakan sebagai bentuk peran mahasiswa? Bagi saya, semua berhak menilainya. Kita yang menjadi bagian dari civitas akademik kampus berhak memberikan pandangan (beserta penjelasannya) bahwa suatu kegiatan sesuai/ tidak dengan TPT. Artinya, pihak birokrat kampus tidak bisa seenaknya (sendiri) melarang suatu kegiatan atau menilai suatu kegiatan lebih penting dibandingkan kegiatan yang lain. Misalnya, pihak birokrat tidak bisa (secara sepihak) menilai perkuliahan lebih penting dibandingkan aksi demonstrasi turun ke jalan. Karena, aksi demontrasi bisa memiliki dimensi TPT. Aksi demonstrasi bisa saja mengandung semangat belajar, berkarya dan bermanfaat. Sebaliknya, bisa juga perkuliahan merupakan aktivitas yang secara sistemik bukan merupakan aktivitas yang berorientasi TPT.
Lalu, bagaimana proses penilaiannya? Saya pikir kita perlu menciptakan iklim kebebasan berpendapat di dalam kampus. Lembaga-lembaga mahasiswa (BEM Fakultas & UI; BO & BSO; atau mungkin juga lembaga mahasiswa ekstra kampus) perlu menciptakan iklim kebebasan berpendapat melalui program-program yang menekankan kepada semangat kebebasan. Misalnya dengan media tulis dan gambar (buletin, tembok grafiti, poster, dll.), Mading dan forum, yang terbuka terhadap berbagai macam pandangan dan pihak. Sedangkan untuk pendapat (publik) secara umum bisa dengan cara melakukan poling atau wawancara.
Untuk mencapai proses dan hasil yang optimal, perlu adanya dukungan dari pihak birokrat kampus dalam menyediakan fasilitas kampus yang memadai. Misalnya dengan menerapkan prosedur pemakaian auditorium, aula dan ruang kelas yang mudah dan terbuka. Atau dengan menyediakan panggung kebebasan di setiap kantin fakultas untuk digunakan sebagai penyampaian ekspresi dan aspirasi (seni-budaya, diskusi, orasi dll.) mahasiswa. Di sini saya menempatkan proses penilaian bentuk-bentuk peran mahasiswa sebagai (bagian dari) pengkondisian sekaligus pengendalian dinamika kehidupan kampus. Dinamika kehidupan kampus akan berjalan ”sehat” dan optimal bila berada dalam iklim yang bebas. Iklim yang bebas akan mendorong kita untuk lebih kreatif dalam menentukan dan melaksanakan suatu bentuk tindakan yang kita anggap sebagai bagian dari peran mahasiswa. Selain itu, iklim yang bebas akan mengendalikan dinamika kehidupan kampus melalui kritik dan otokritik (yang bebas) dari kita. Baik atas nama individu, lembaga atau kolektivitas mahasiswa.
Dengan memegang batasan TPT dan penciptaan iklim kebebasan berpendapat, kita (bisa lebih memungkinkan) terhindar dari stigma kelompok yang mengatakan bahwa suatu tindakan/ aktivitas bukan bagian dari peran mahasiswa; atau stigma yang ditujukan kepada individu/ kelompok sebagai bukan bagian atau satu-satunya yang merepresentasikan (gerakan) mahasiswa. Dan kita pun terhindar dari pelarangan sepihak terhadap suatu tindakan/ aktivitas. Dengan begitu, (apa itu) peran mahasiswa bisa kita pahami dan sepakati bersama. Hebatnya, dalam perumusan dan pelaksanaan peran itu, kita menjadi bagian yang terlibat aktif. Dan tentu saja, kita pula yang harus bertanggung jawab. []

USEP HASAN SADIKIN
http://sumaui.or.id/?pilih=lihat&id=130

Comments