Senyum

“Terimakasih!” ucap seorang pria berseragam yang bekerja sebagai pengatur jalan keluar masuknya mobil di pintu gerbang sebuah pertokoan. Ucapan itu disertai dengan senyum yang tampak manis dan tulus.

“Luar biasa!” ujarku dalam hati. Sepertinya pria itu sangat menikmati pekerjaannya. Yang dia lakukan adalah sikap yang tulus, bebas-lepas tanpa beban. Tidak peduli dengan masalah yang dihadapinya. Teriknya matahari, kepungan debu dan polusi asap kendaraan, tak menghalanginya untuk tetap bisa tersenyum.

Di lain waktu, ketika hujan turun deras, umumnya dari kita berkeluh kesah, cemberut, karena tidak bisa melakukan aktivitas dengan lancar. Kehujanan, basah, becek dan kotor adalah hal yang kita “takuti” serta begitu menghambat.

Tapi di pihak lain, ada beberapa anak kecil yang berlarian dalam guyuran “air langit” itu. Mereka membawa payung besar yang ditawarkan kepada kita yang berkeluh kesah dan cemberut. Dalam hujan, basah, becek dan kotor, mereka tidak berkeluh kesah, apalagi cemberut. Mereka tersenyum, bahkan gembira, ceria dan senang.

Dari kejadian tersebut, saya melihat ada semacam hakikat hidup. Hakikat bahwa, tersenyum atau tidak, bukan terletak pada seperti apa kondisinya, seberapa besar atau berat permasalahannya. Tetapi sikap apa yang kita pilih ketika kita dihadapkan oleh permasalahan. Apakah kita akan tersenyum atau kita berkeluh kesah dan cemberut.

Kita kadang atau sering kali dihadapkan oleh berbagai macam masalah. Baik itu masalah yang disebabkan langsung dari kita, maupun yang disebabkan oleh sesuatu di luar kita. Sebutlah kemacetan, mobil yang kita tumpangi atau yang kita kendarai mogok, terlambat, kecopetan, diputusin pacar, dapat nilai jelek dan yang lainnya. Atau masalah yang (mungkin) lebih besar seperti perceraian orangtua, ditinggal pergi orangtua, musibah atau bencana. Pertanyaannya, bisakah kita tersenyum dalam keadaan itu?

Kecendrungan dari kita ingin selalu berada dalam keadaan atau mendapatkan sesuatu yang sempurna, tepat, lengkap, tidak kurang, “ideal” dan sebagainya. Kita terbiasa melihat ke atas, kepada keadaan yang nyaman, tetapi kita tidak terbiasa melihat ke bawah, kepada keadaan yang tidak nyaman.

Akibatnya, segala sikap kita lebih didasari oleh dorongan terhadap suatu keadaan. Jika keadannya baik, kita tersenyum dan jika keadaannya buruk, kita marah, sedih, mengeluh atau cemberut.

Maka rubahlah. Rubahlah sikap kita menjadi sikap yang didasari oleh “keinginan” dari kita. Sebuah sikap atas pilihan “sadar”, yang ketika dihadapkan pada keadaan yang baik, kita (memilih untuk) tersenyum. Dan ketika dihadapkan pada keadaan yang buruk kita (bisa tetap memilih untuk) tersenyum.

Kita mungkin tidak dibayar untuk tersenyum sebagaimana pria berseragam yang saya ceritakan di awal. Teriknya matahari mungkin bukan masalah yang lebih besar dari pada masalah yang kita alami. Kepungan debu dan polusi asap kendaraan mungkin tidak dapat memaksa air mata kita untuk keluar dibandingkan kesedihan saat (atau bila) kita ditinggal orangtua. Derasnya hujan mungkin tidak sederas dengan aliran air mata kita karena ditinggal kekasih.

Tetapi yakinlah, setidaknya dengan tersenyum kita bisa meringankan keadaan buruk yang kita hadapi. Tersenyum dalam suatu keadaan yang buruk, merupakan bentuk sikap kedewasaan. Sikap yang menunjukan pribadi yang kuat. Bukan sikap “cengeng” mengumbar permasalahan di mana kita ingin diperhatikan (permasalahannya) dan ingin “dikasihani”.

Dan, setidaknya dengan tersenyum bisa mendorong orang-orang di sekitar kita merasa lebih baik, dan berbalik tersenyum kepada kita.

Maka, berusahalah untuk selalu dan tetap tersenyum. []

USEP HASAN SADIKIN

http://terrantbooks.wordpress.com/2007/03/26/pemenang-kuis-terrant-writing-competition-w-prambors/

Comments

Djohan said…
Sep, ternyata prakteknya tidak segampang itu...
@usephasans said…
Djohan, hampir semua hal juga seperti itu. Dalam tataran konsepsi mudah, ketika diterapkan ternyata sulit.
Tetapi yang harus menjadi catatan: kita jangan (terlalu) cepat menilai sesuatu itu sulit, sebelum berusaha (dengan kuat) melakukannya.