Valentine’s Day

Seorang teman perempuan pernah memberikan sebuah tulisan kepada saya. Judulnya “Jangan Tertipu Gemerlap Valentine’s Day”. Dalam tulisan itu, dia memberikan pendapat dan penjelasan bahwa dia tidak setuju terhadap (perayaan) hari Valentine.

Saya memandang positif hal tersebut. Karena yang dia lakukan merupakan bentuk sikap progresif dalam memperingati atau memanfaatkan suatu moment (hari Valentine). Kita ketahui, di mana dalam waktu yang sama sebagian dari kita ada yang asyik terhanyut dalam budaya konsumtif atau hedonis dengan pernak-pernik jambon.

Dijelaskan dalam tulisan itu mengenai beberapa versi sejarah dan asal-muasal hari Valentine. Pertama, hari Valentine berawal dari kisah St. Valentine yang dihukum pancung oleh penguasa Roma karena memasukan sebuah keluarga Romawi ke dalam agama Kristen.

Selain itu, hari Valentine juga berawal dari kisah seorang pendeta Katolik yang bernama Santo Valentino. Dia menikahkan seorang prajurit. Ternyata tindakan Santo Valentino itu merupakan bentuk pelanggaran, karena pemerintah Kaisar Claudius II melarang prajuritnya menikah. Pernikahan dilarang terhadap prajurit dengan tujuan menciptakan prajurit yang tangguh. Santo Valentino pun dihukum mati.

Bila memang benar asal muasal hari Valentine seperti itu, tampaknya kita perlu mengadopsi semangat pembebasan dan perlawanan yang dimiliki oleh St. Valentine dan Santo Valentino. Keduanya telah melakukan pembebasan terhadap hak (asasi) manusia dengan melakukan perlawanan dalam bentuk aksi nyata terhadap penguasa yang sewenang-wenang. Yang dilakukan St. Valentine, merupakan perjuangan pemenuhan hak manusia untuk memeluk suatu agama yang diyakini. Sedangkan yang dilakukan Santo Valentino, merupakan perwujudan pembelaan terhadap fitrah yang dimiliki seorang pria (prajurit). Fitrah mencintai dengan menikahi lawan jenis.

Mungkin teman perempuan saya tidak setuju dengan hari Valentine, karena hari Valentine merupakan bentuk peringatan kematian St. Valentine yang memasukan keluarga Romawi ke dalam agama Kristen; dan karena Santo Valentino merupakan seorang pendeta dari agama Katolik. Sedangkan teman perempuan saya bukan beragama Kristen atau pun Katolik.

Sepertinya, kita perlu belajar untuk bisa menerima dan mengakui nilai-nilai kebaikan (dan kebenaran) dari siapapun. Kadang kita hanya mau mendengarkan, menerima dan mengakui suatu hal atas dasar siapa yang berkata atau siapa yang menyampaikan, bukan dari apa yang dikatakan atau apa yang disampaikan. Jika suatu kebaikan/ kebenaran berasal dari orang atau kelompok yang kita benci, kita langsung menolaknya. Kebaikan dan kebenaran yang kita terima, akui atau yakini terkadang terlalu bersifat subjektif, simbolik, bahkan formalistik.

Untuk mengikis dan menghilangkan sifat tersebut, saya menganggap hari Valentine merupakan waktu yang tepat untuk digunakan sebagai moment pembelajaran. Saya yakin kita semua sepakat bahwa cinta dan kasih sayang harus ter/di-curahkan setiap hari atau setiap waktu. Tetapi saya juga yakin bahwa kita semua perlu hari atau waktu khusus untuk dijadikan moment perbaikan, peningkatan dan penjagaan cinta dan kasih sayang kita. Sebagaimana kita menjadikan hari kelahiran atau pergantian tahun sebagai moment perbaikan, peningkatan dan penjagaan kualitas diri kita.

Jadi, atas nama cinta dan kasih sayang (berdasarkan semangat pembebasan dan perlawanan), saya ucapkan: ”selamat hari Valentine!”. []

USEP HASAN SADIKIN

http://suma.ui.edu/?pilih=lihat&id=154

Comments