Membaca Surat-Surat Kartini: “Dari Kegelapan Menuju Pencerahan!”

Oleh USEP HASAN SADIKIN

Kenapa Kartini? Kenapa harus Kartini yang hari kelahirannya (21 April) diperingati bangsa Indonesia di setiap tahunnya? Kenapa bukan Cut Nyak Dien atau Kristina Marta Tiahahu yang berjuang langsung ke medan perang untuk melawan dan gugur di tangan penjajah? Kenapa harus Kartini yang hidupnya hanya 25 tahun, gugur di saat melahirkan anak pertamanya? Mungkin dari kita ada juga yang bertanya seperti itu.

Ada beberapa jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan tersebut. Tetapi saya tak ingin terjebak dalam pola pikir yang konspiratif dan terjerembab pada pandangan politik sejarah yang lekat dengan banyak kepentingan “pihak-pihak”. Bagi saya Kartini tetap bisa kita jadikan sebagai (salah satu) model sosok perempuan pejuang bangsa. Memperingati hari kelahirannya penting untuk dijadikan pemicu semangat perubahan terhadap kondisi masyarakat kita yang masih dilanda “kegelapan”.

Kenapa Kartini? Karena Kartini telah meninggalkan banyak tulisan kepada kita. Tulisan-tulisan itu bisa kita jadikan acuan (langsung) ketika kita bertanya, “siapa Kartini?” –ini yang tidak dimiliki oleh pahlawan perempuan lain. Terutama tulisannya yang berbentuk surat. Dalam suratnya Kartini tak hanya berbicara mengenai hak dan peran perempuan, tetapi juga mengenai adat, keningratan, eksistensi diri, agama dan juga hal penting lainnya. Jika kita tarik semangat serta ide dari surat-surat itu ke dalam konteks sekarang, sebagian besar masih relevan, dan menarik untuk diperbincangkan.

Mari kita mencoba membaca beberapa suratnya. Mencoba (kembali) untuk mengetahui dan memahami, siapa itu Kartini? Apa yang mendorong dirinya berjuang? Seperti apa pemikirannya dan apa cita-citanya? Semoga hal ini bisa menjadi bagian dari pemicu semangat perubahan bagi kita. Perubahan ke arah lebih baik: ”habis gelap terbitlah terang!”; yang dalam tulisan ini saya rubah redaksinya (semoga tidak merubah maknanya) menjadi, “dari kegelapan menuju pencerahan!”.

Surat Kartini mengenai adat dan (gelar) keningratan
Seorang gadis harus perlahan-lahan jalannya, langkahnya pendek-pendek, gerakannya lambat seperti siput. Bila berjalan agak cepat, dicaci orang, disebut kuda liar.
…Peduli apa aku dengan segala tata cara itu, segala peraturan, semua itu bikinan manusia, dan menyiksa diriku saja. Kau tidak dapat membayangkan bagaimana rumitnya etiket di dunia keningratan Jawa itu.
Tapi sekarang mulai dengan aku, antara kami (Kartini, Roekmini dan Kardinah) tidak ada cara lagi. Perasaan kami sendiri yang akan menentukan sampai batas-batas mana cara liberal boleh dijalankan.

(Surat kepada Stella, 18 Agustus 1899)

Bagi Kartini, adalah sebuah hal yang prinsipil bahwa setiap manusia sederajat. Manusia berhak untuk mendapatkan perlakuan yang sama. Sepertinya Kartini memandang bahwa prinsip itu merupakan nilai (keluhuran) universal. Ketika prinsip itu didialogkan dengan adat, ternyata adat Jawa banyak yang tidak memenuhi prinsip itu.

Adat di sini, adalah kumpulan (bentuk) kegiatan kolektif yang dipertahankan karena nilainya. Bentuk kegiatan suatu adat adalah perwujudan suatu nilai, tetapi bentuk kegiatan itu tak bisa dikatakan sebagai nilai itu sendiri. Karena bentuk kegiatan itu terkait dengan kondisi dan cara pandang suatu masyarakat, sehingga seiring dengan waktu bentuk kegiatan tersebut dapat dirubah ketika kondisi dan cara pandang masyarakat berubah.

Salah satu bentuk adat di masa Kartini adalah perlakuan istimewa terhadap keningratan seseorang. Keningratan seseorang diukur dengan darah. Semakin biru darah seseorang maka akan semakin ningrat dan terpandang kedudukannya.

Mungkin dulu keningratan (atas dasar pola pikir dan kondisi masyarakat), dibuat dan dijalankan sebagai bentuk perwujudan (nilai) penghormatan dan penghargaan. Tetapi Kartini menghendaki penghapusan keningratan. Karena keningratan bukan merupakan pengejawantahan nilai penghormatan dan penghargaan seseorang, tetapi merupakan wujud sikap merendahkan manusia.

Sekarang, keningratan darah sudah menjadi barang antik yang dimuseumkan. Sebagai gantinya muncul keningratan-keningratan baru. Keningratan titel atau gelar, keningratan pangkat, keningratan jabatan, dan puncak dari keningratan itu adalah keningratan finansial. Siapa yang paling banyak mengantongi uang, dialah yang paling ningrat. Dan semua pun dapat diatur olehnya. Keputusan dan kebijaksanaan semua orang akan berjalan merunduk-runduk di hadapan keputusan dan kebijakan orang tersebut.

Tapi anehnya, banyak dari mereka yang mengaku sebagai “Kartini Muda” masa kini, tidak menentang keningratan-keningratan tersebut. Bahkan mereka menjadi pemujanya yang mungkin akan menjadi abdi setia dan siap berkorban. Banyak yang mengaku “Kartini Muda”. Ya, “Kartini Muda” yang belum membaca surat R. A. Kartini ini:
“Bagi saya hanya ada dua macam keningratan: Keningratan Pikiran dan Keningratan Budi. Tidak ada yang lebih gila dan bodoh menurut saya daripada melihat orang yang membanggakan asal keturunannya (keningratannya). Apakah berarti sudah beramal sholeh, orang-orang yang bergelar Graaf atau Baron?
(Surat Kartini kepada Stella, 18 Agustus 1899)

Surat Kartini mengenai (pilihan) diri dan (tradisi) keluarga
Membaca riwayat hidup Kartini bagi saya menambah kayanya pesan modernis(me) dalam tradisi bangsa Indonesia. Pesan-pesan akan pentingnya pengakuan atas hak-hak individu. Perlunya pemberian kebebasan terhadap individu untuk menentukan pilihan hidup, dan keluarga (juga masyarakat/ kelompok) harus menghormati pilihan tersebut.

Dalam kisah fiksi kita mengenal tokoh Siti Nurbaya. Kisah ini setting-nya tradisional, tetapi pesan yang disampaikannya modern. Kita memahami bagaimana menderitanya seorang Siti yang tak bisa memilih.

Begitu juga dengan Kartini. Semasa kecil dia harus merasakan kesedihan ibunya yang dimadu. Karena keterbatasan perempuan, ibunya hanya bisa merelakan Bapak Kartini yang harus menikah lagi dengan seorang ningrat sebagai syarat menjadi Gubernur Jepara. Ketika dewasa, Kartini pun harus mau menikah dengan pilihan orangtuanya untuk dinikahkan dengan Bupati Rembang yang sudah beristri tiga.
Bagaimana sepatutnya membuat kebajikan yang sebesar-besarnya bagi manusia? Apakah dengan mengabaikan diri sendiri ataukah dengan mewujudukan kehendak diri sendiri? Apakah harus mengundurkan diri demi dua orang yang sangat dicintai, ataukah mewujudkan kehendak diri sendiri berbakti kepada keluarga besar masyarakat?
(Surat kepada Prof. Dr. Anton dan Nyonya, 4 Oktober, 1902)

Kartini (dan juga Siti Nurbaya), “takluk” dengan tradisi patriarki. Ia mencari argumen positif (atau pembenaran?) bahwa, “kerelaannya” adalah bentuk sikap berbakti terhadap orangtua.

Surat Kartini mengenai perempuan (dan laki-laki)
Kalau memang benar pada diri kami ada sifat yang dapat membentuk anak laki-laki yang cakap dan tangkas, mengapa kami tidak dapat menggunakannya untuk meningkatkan diri menjadi perempuan yang demikian pula? … dan tidak bergunakah perempuan Jawa terutama sekali wajib bersifat menurut dan menyerah. Kami harus seperti tanah liat yang dapat dibentuk sekendak hati.
(Surat kepada Nyonya M.C.E Ovink-Soe; Agustus 1900)

Alangkah bahagianya laki-laki, bila istrinya bukan hanya menjadi pengurus rumah tangganya dan ibu anak-anaknya saja, melainkan juga menjadi sahabatnya, yang menaruh minat akan pekerjaannya, menghayatinya bersama suaminya. Ini bila dia tidak angkuh dan picik pandangannya. Sedikit demi sedikit, saya memasuki bidang emansipasi perempuan. Mohon dengan sangat supaya diusahakan pengajaran dan pendidikan bagi anak-anak perempuan, bukanlah karena kami hendak menjadikan perempuan menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidup ini. Kami hendak menjadikan perempuan menjadi lebih cakap dalam melakukan tugas besar yang diletakan oleh Ibu Alam sendiri ke dalam tangannya agar menjadi ibu –pendidik umat manusia yang utama!
….mereka mendapat anak bukan untuk dirinya sendiri. Mereka harus mendidiknya untuk keluarga besar, keluarga raksasa yang bernama Masyarakat, karena anak itu kelak akan menjadi anggotannya!
…ciptakanlah ibu-ibu yang cakap serta berpikiran, maka tanah Jawa pasti akan mendapat pekerja yang cakap. Peradaban dan kepandaiannya akan diturunkannya kepada anak-anaknya. Anak-anak perempuannya akan menjadi ibu pula, sedangkan anak-anak yang laki-laki kelak pasti akan menjadi kepentingan bangsanya…

(Surat kepada Prof. G.K. Anton dan Nyonya, 4 Oktober, 1902)

Sekarang ini, kita mengenal banyak model “ibu”. Sebagiannya berpandangan bahwa perempuan tak perlu menjadi istri. Dengan segala ”kemapanannya” mereka menganggap kehadiran suami malah menjadikannya penghalang dalam menjalankan hidup. Mereka pun berpandangan untuk menjadi ibu, mereka tak perlu hamil- mengandung-melahirkan-menyusui, karena bagi mereka semua fase itu akan menghambat karir atau membuang waktu dalam hidupnya untuk beraktualisasi. Untuk menjadi ibu dengan mempunyai anak, cukup dengan mengadopsi anak, dan mereka tinggal membesarkannya saja tanpa harus merasakan mualnya kehamilan, capeknya mengandung anak, dan sakitnya melahirkan serta repotnya menyusui.

Kartini menolak pandangan itu. Bagi Kartini (menjadi) ibu merupakan peran dan posisi yang strategis bagi perempuan. Dan peran dan posisi sebagai ibu bagi perempuan adalah anugrah dari Tuhan. Potensi yang dimiliki perempuan untuk bisa mengandung anak, melahirkannya, menyusuinya dan membesarkannya haruslah dioptimalkan.

Dan Kartini memandang laki-laki bukanlah saingan perempuan. Tetapi merupakan mitra sejajar yang mempunyai peran, fungsi dan posisi yang berbeda. Mitra harus saling mendukung dan melengkapi kekosongan satu sama lain, bukan melawan, apalagi menguasai.

Surat Kartini mengenai agama dan al-Qur’an
“Ya Tuhan, kadang-kadang saya berharap, alangkah baiknya, jika tidak pernah ada agama. Sebab, agama yang seharusnya justru mempersatukan semua manusia, sejak berabad-abad menjadi pangkal perselisihan dan perpecahan, pangkal pertumpahan darah yang sangat ngeri. Orang-orang seibu-sebapa ancam-mengancam berhadap-hadapan, karena berlainan cara mengabdi kepada Tuhan yang Esa dan Yang Sama. Orang-orang yang berkasih-kasihan dengan cinta yang amat mesra, dengan sedihnya bercerai-berai. Perbedaan gereja, tempat menyeru kepada Tuhan Yang Sama, juga membuat dinding pembatas bagi dua hati yang berkasih-kasihan. Betulkah agama itu berkah bagi umat manusia? Agama yang harus menjauhkan kita dari berbuat dosa, justru berapa banyaknya dosa yang diperbuat atas nama agama itu!
(Surat Kartini kepada Ny. Van Kol, 21 Juli 1902)

Bagi kita yang beragama, mungkin merasakan juga ”kegelisahan” yang dialami Kartini. Agama (Tuhan) yang ”mengajarkan” kepada kita untuk saling menyayangi dengan cara menebar kasih sayang kepada alam dan makhluk lainnya, ternyata (juga) ”memiliki wajah kekerasan”.

Agama pun mempunyai sifat eksklusif serta diskriminatif. Agama telah menjadi pembatas bagi kita. Dinding-dinding ”rumah suci-Nya” membatasi kita untuk berdoa dan berserah diri. Status identitas agama menghalangi kita untuk menebar dan memadu kasih (menikah) dengan pemeluk agama lain.

Selain itu, Kartini pun mempunyai pengalaman yang tidak menyenangkan ketika belajar mengaji (membaca al-Qur’an). Ibu guru mengajinya memarahi dia dan menyuruh Kartini keluar ruangan ketika Kartini menanyakan makna dari kata-kata dalam al-Qur’an yang diajarkan kepadanya untuk membacanya. Sejak saat itu timbullah beberapa penolakan pada diri Kartini:
“mengenai agamaku Islam, Stella, aku harus menceritakan apa? Agama Islam melarang umatnya mendiskusikannya dengan umat agama lain. Lagi pula agamaku Islam karena nenek moyangku Islam. Bagaimana aku dapat mencintai agamaku, kalau aku tidak mengerti, tidak boleh memahaminya? Al-Qur’an terlalu suci, tidak boleh diterjemahkan ke dalam bahasa apa pun. Di sini tidak ada orang yang mengerti bahasa Arab. Di sini orang diajar membaca al-Qur’an tetapi tidak mengerti apa yang dibacanya. Kupikir pekerjaan orang gilakah, orang diajar membaca tetapi tidak diajar makna yang dibacanya itu. Sama saja halnya seperti engkau mengajar aku membaca buku bahasa Inggris, aku harus hafal kata demi kata, tetapi tidak satu kata pun yang kau jelaskan kepadaku apa artinya. Tidak jadi orang sholeh pun tidak apa-apa, asalkan jadi orang yang yang baik hati, bukan begitu Stella?”
(Surat Kartini kepada Stella, 6 November 1890)

“dan waktu itu aku tidak mau lagi melakukan hal-hal yang aku tidak tau manfaatnya. Aku tidak mau lagi membaca al-Qur’an, belajar menghafal perumpamaan-perumpamaan dengan bahasa asing yang tidak aku mengerti artinya. Dan jangan-jangan ustadz dan ustadzahku pun tidak mengerti artinya. Katakanlah kepadaku apa artinya, nanti aku akan mempelajari apa saja. Aku berdosa, kitab yang mulia itu terlalu suci sehingga kami tidak boleh mengerti apa artinya.”

(Surat Kartini kepada E. E. Abendanon, 15 Agustus 1902)

Dalam surat itu Kartini memiliki pandangan yang tidak menerima pemahaman dan prilaku beragama yang dogmatis. Kita beragama adalah untuk mengetahui, mendapatkan, dan memahami nilai dan makna yang terkandung di dalam ajaran-ajarannya. Dari itu semua, harus ada pengupayaan untuk bisa diterapkan dalam kehidupan dengan bentuk tindakan yang bermanfaat. Beragama bukanlah hanya membaca teks-teks agama yang tidak dimengerti dan dipahami pesan/ maknanya. Untuk itu, teks-teks agama harus diartikan atau dipelajari bahasanya untuk dipahami pesan/ maknanya, bukan sekedar dibaca!

Penutup
Sebetulnya masih banyak hal-hal lain mengenai Kartini yang menarik untuk dituliskan (kembali). Tetapi media tulis ini tak cukup untuk menampungnya. Sama halnya dengan usia Kartini yang singkat, tak bisa menampung realisasi ide, pemikiran dan cita-citanya. Tetapi yang pasti, kehidupan Kartini adalah proses (menjadi) seorang Kartini, bukan akhir. Proses menuju pencerahan. Dan kita hendaklah belajar dari proses itu. Sebagai pemicu perubahan kita dan masyarakat; dari kegelapan menuju pencerahan. []

USEP HASAN SADIKIN
koordinator Forum Lintas Batas

http://sumaui.or.id/?pilih=lihat&id=242

http://forlib.blogspot.com/

Comments

alfi oblenk' said…
Ka usep : bagus banget karya yg satu ini.teruslah berkarya hingga akhir anda berkarya
@usephasans said…
wah, setelah dua tahun diupload, ada juga yang komen.
trims fi. permainan kata komennya bagus.
ditunggu ya, tulisan alfi, di mading PERCIK Speak Up!