Menilai Islam dalam film Ayat-Ayat Cinta

Belakangan ini, film Ayat-Ayat Cinta yang diadaptasi dari novel Ayat-Ayat Cinta karya Habiburrahman El Shirazy (Kang Abik) mengisi bioskop-bioskop Tanah Air. Mengisahkan Fahri bin Abdillah (diperankan Fedi Nuril), seorang mahasiswa Universitas Al-Azhar (Mesir) berkewarganegaraan Indonesia yang mengalami rumitnya perasaaan cinta. Perilaku, kecerdasan, wawasan yang baik serta keluwesan bergaul, membuat Fahri disukai, termasuk para perempuan.

Pilihannya menikahi Aisha (Rianti Cartwright), hadirkan dilema dan konflik. Berkat pemahamannya terhadap ajaran Islam beserta orang-orang yang mendukungannya, semua bisa dilalui dan menghadirkan banyak hikmah.

Dibandingkan film pada umumnya, film yang mengadaptasi novel memiliki tantangan tersendiri. Tantangan itu berupa kecenderungan sikap penonton yang membandingkan isi film dengan apa yang ada di novel. Sehingga bagus/buruknya, memuaskan/mengecewakan-nya film, umumnya lebih ditekankan pada sama/tidak-nya dengan apa yang ada di novel.

Sehingga penyampaian cerita secara audio-visual dalam film kerap dianggap sebagai ‘perusak’ imajinasi yang dihasilkan dari bacaan. Misalnya, sosok karakter tokoh dan gambaran setting tak sesuai dengan apa yang dibayangkan.

Tapi bagi film Ayat-Ayat Cinta (A2C) tak sebatas itu. Hal-hal yang bersifat ideal (menyangkut ideologi) dalam novel menjadi variabel tambahan untuk membandingkan film dengan novel. Di antaranya adalah perbandingan corak Islam yang ada di novel dengan yang ditampilkan di film.

Dalam novel, Kang Abik memunculkan Islam dalam diri Fahri (sebagai tokoh utama) dengan corak fundamentalis yang toleran. Fundamentalis saya artikan sebagai sifat-sikap seseorang yang menjadikan konsepsi nilai-ajaran (Islam) sebagai sesuatu yang harus dan selalu dijadikan acuan diri dalam ber-pikir, rasa dan sikap.

Ada pun toleran adalah sikap penghormatan sekaligus pemisahan jelas antara doktrin suatu agama dengan doktrin agama yang lainnya. Dengan kata lain, seorang toleran dalam pergaulannya bersikap sama terhadap orang yang seagama maupun yang berbeda agama, selama tidak menyangkut doktrin (keyakinan) agama.

Fahri di dalam novel menolak untuk menikahi Maria (yang beragama Kristen Koptik) dengan alasan perbedaan keyakinan. Pernyataanya yang berbunyi: “Aku mencintai kalian semua, tapi aku lebih mencintai Allah dan Rasul-Nya. Budak hitam yang muslimah lebih baik dari pada yang bukan muslimah,” merupakan penegasan bahwa perbedaan keyakinan merupakan hal yang tidak bisa ditolerir. Batas toleransi yang cukup halus diperlihatkan Fahri ketika dirinya memohon pertolongan kepada Maria dengan pernyataan, “Kumohon, demi cintamu pada Al-Masih, kumohon!”

Selain itu, corak “fundamentalisme Islam yang toleran” dengan penekanan pesan “Islam sebagai jalan keselamatan dunia-akhirat (selain Islam tidak selamat)”, sepertinya merupakan pesan utama yang ingin disampaikan Kang Abik. Ini bisa dilihat dari bagian penutup novel yang menceritakan Maria yang tak bisa masuk ke “surga” karena belum mengucapkan “dua kalimat syahadat”.

Di dalam film, hal tersebut tak tampak. Islam dalam film tampil dengan corak yang cenderung liberal. Liberal saya artikan sebagai sifat-sikap yang menekankan penilaian baik-buruknya seseorang dari perilaku dan tindakannya. Semua bebas menjadikan konsepsi nilai ajaran suatu agama sebagai acuan, tetapi penekanannya bukan pada apa yang dijadikan acuan itu.

Fahri dalam film adalah orang yang tak mempermasalahkan keyakinan Maria (Carissa Putri). Ketika diminta tolong Aisha untuk menikahi Maria, yang dipermasalahkan Fahri hanyalah kesetiaannya terhadap Aisha. Di sini, pesan “cinta” sebagai subtema A2C bukanlah cinta yang sifatnya (teo /ideo) logis, melainkan “cinta” yang melintasi batas-batas perbedaan, dan mendorong kita untuk bersikap tidak membedakan terhadap perbedaan itu.

Sisi liberal

Sisi liberal Fahri dalam film pun bisa dilihat pada adegan yang menceritakan bentuk pergaulannya dengan perempuan. Di film Fahri tampak lebih “cair” dengan mempersilahkan Maria masuk ke kamarnya dan mengobrol bersama teman-temannya Fahri.

Bandingkan dengan Fahri dalam novel yang selalu berusaha menjaga jarak dan menundukan pandangan saat bertemu/berbincang dengan perempuan. Di sini, liberal saya artikan sebagai sifat-sikap yang mengadopsi nilai kebebasan modernitas, yang tentunya berbeda dengan nilai (Islam) tradisional.

Selain itu, corak Islam liberal dalam film pun terlihat dengan adanya penyertaan pesan kritik terhadap praktek ta’aruf dan poligami.

Kurang lebih seperti itulah perbedaan corak Islam A2C antara novel dan film. Umumnya pembaca novel A2C merasa kecewa terhadap film A2C, karena mereka merasa corak Islam yang dianggapnya ideal di dalam novel, malah berbeda (bahkan berseberangan) dengan yang ada di film. Sepertinya mereka berharap bahwa, apa yang selama ini mereka anggap ideal bisa disebarkan dan dipopulerkan melalui film; namun apa mau dikata.

Kecewa atas ketidaksesuaian harapan ideal dalam novel dengan yang ada di film, bukan merupakan sikap yang salah. Tetapi yang perlu dicatat adalah, ketika cerita film mengadaptasi cerita novel, bukan berarti film hanya harus meng-audiovisual-kan sama persis dengan semua yang ada di novel. Film adaptasi novel, bukan berarti identik sama dengan novel. Bisa saja, mengadaptasi cerita sebuah novel berarti menempatkan cerita novel tersebut sebagai referensi utama cerita film, yang disertai penambahan kreasi dan sebagainya.

Memang, novel A2C mungkin merupakan usaha penggambaran suatu realita atas suatu yang ideal, di mana ketika banyak orang yang hanyut dan terombang-ambing dalam sisi buruk modernitas, masih ada orang-orang yang tetap menjaga tradisi-nilai keyakinan agama. Tetapi apa yang ada dalam film (terlepas dari kemungkinan adanya kepentingan bisnis hiburan), juga merupakan usaha untuk menyeritakan realita lain. Novel mungkin ingin memperlihatkan sebuah corak Islam, tetapi yang digambarkan dalam film pun merupakan salah satu dari banyaknya corak Islam yang ada.

Yang perlu kita sadari adalah, realita dibangun atas ragam corak yang ideal. Sehingga, janganlah memandang ragam corak yang ideal itu seperti membandingkan novel dan film, dengan menempatkan film sebagai cerminan novel. Jika begitu, kita akan membandingkan novel dengan gambarannya yang muncul di dalam cermin; memeriksa setiap sisinya; bahkan halaman demi halaman pun kita hadapkan pada cermin. Tentu saja kita akan kaget jika gambaran yang muncul dalam cermin berbeda dengan benda aslinya.

Maka, ketika kita yang mengidealkan suatu corak Islam, menemukan corak Islam lain, janganlah kaget; apa lagi sampai tidak menerimanya sebagai bagian dari Islam karena corak Islam-nya lain dengan yang kita yakini. Membaca dan menonton A2C, kemudian membandingkan keduanya, semoga bisa membuat kita sadar bahwa sesungguhnya Islam itu tidak tunggal, melainkan plural. Di antaranya yang bercorak toleran ala novel ‘Ayat-Ayat Cinta’, dan yang cenderung liberal ala film ‘Ayat-Ayat Cinta’. []


MONITOR DEPOK: 25-Mar-2008 13:32:46

Penulis adalah koordinator Forum Lintas Batas, mahasiswa UI
online berita: Menilai Islam dalam film Ayat-Ayat Cinta

Comments