INDONESIA(-ku)

Selasa, 20 Mei 08 - oleh : Usep Hasan Sadikin
Menjalani hari demi hari, beraktivitas, sesekali menonton televisi, aku memandang realitas masyarakat negara ini, Indonesia.

Berbagai macam permasalahan bidang sosial, ekonomi, budaya, hukum dan lainnya, yang banyak terjadi di masyarakat beserta ketimpangannya, membuat rasa ke-Indonesiaanku surut. Tapi, di saat aku menonton pertandingan Tim Indonesia di Thomas-Uber Cup 2008 melalui layar kaca, aku merasakan ada semangat ke-Indonesiaan yang menyeruak menembus layarkaca. Kata “Indonesia” yang berkali-kali diteriakan, lengkap dengan sorak, tepuk tangan serta kibaran bendera merah putih, hadirkan rasa ke-Indonesiaan dalam diri. Ke-Indonesiaan hadir bagai gelombang pasang, membawa harapan (kemenangan) dan kebanggaan. Tim Thomas-Uber Cup Indonesia tak juara. Harapan tak sampai, dan kebanggaan pun tak terpenuhi. Ke-Indonesiaanku yang tadinya hadir dalam gelombang pasang, malah (kembali) surut.

Ke-Indonesiaanku memang surut. Tapi, kenapa ke-Indonesiaanku tak pernah dirasakan hilang? Malah, surutnya ke-Indonesiaanku membentuk keinginan untuk membuat dorongan terhadap ke-Indonesiaanku agar kembali pasang.

Kenapa aku masih mencintai ke-Indonesiaanku? Kenapa aku masih mau tinggal di negara Indonesia? Kenapa aku masih mau berada di antara masyarakat yang dinilai suka korup, suka ngaret, suka buang sampah sembarangan, suka melanggar lalulintas, tak sadar hukum, tak peduli lingkungan, dan tindakan negatif lainnya? Kenapa? Perlu renungan untuk menjawabnya, meski sejenak. Sepertinya, tidak hilangnya ke-Indonesiaanku, karena aku lahir dan dibesarkan di Indonesia. Ya, sepertinya karena itulah aku mencintai Indonesia. Bagiku itu alamiah.

Tapi, apa iya karena itu. Atau, apa iya cuma itu. Apa tak ada yang lain? Yang pasti, ke-Indonesiaanku bukan dibentuk oleh rasa senasib sepenanggungan atas jajahan bangsa asing yang ingin menguasai Indonesia. Proses pembentukan ke-Indoneisaanku bukan seperti yang dikatakan buku sejarah. Indonesia (mungkin) dibentuk dengan proses itu, tapi maaf, ke-Indonesiaanku tidak.

Kini beberapa orang mengatakan, penjajahan masih berlangsung (sampai sekarang) di Indonesia, sehingga ke-Indonesiaan dibangun dan dijaga untuk melawan ”penjajah” yang mau menguasai Indonesia. Tapi sekali lagi maaf, ke-Indonesiaanku juga bukan didasari itu. Bolehkan kalau dasar ke-Indonesiaanku berbeda, karena di negara ini aku bebas berpendapat.

Mmm, iya. Sepertinya itu yang membuatku tetap memegang ke-Indonesiaanku. Ke-Indonesiaanku bisa hadir dan tumbuh dalam diri, karena aku sebagai diri bisa bebas, merdeka. Aku bisa bebas berpikir. Aku bebas memilih. Aku bebas berkeyakinan. Aku bisa berkata bebas. Aku bisa bebas berpendapat. Aku bisa bebas menulis. Aku bisa bebas bertindak. Aku bisa bebas berserikat.

Mungkin keadaan negara lain damai dan sejahtera. Tapi, apakah warga negaranya bisa menjadi diri yang bebas? Aku membaca bahwa, warga di negara raksasa ekonomi seperti Cina dan Singapura, tak bebas berbicara; tak bebas menulis; tak bebas berpendapat, apa lagi bebas berserikat. Ku dengar, warga perempuan di negara-negara timur tengah, tak mempunyai pilihan sebebas laki-laki. Mereka semua ”sejahtera”; mereka hidup dalam ”damai”, tapi otak mereka terkubur; mereka membisu; diri mereka terbelenggu. Indonesia sebagai negara, memang carut-marut. Tapi aku, sebagai warga negara Indonesia, adalah diri yang bebas. Negara menjamin kebebasanku, aku merdeka. Itulah mengapa ke-Indonesiaanku hadir, tumbuh dan tetap kujaga.

Tapi belakangan ini aku gelisah. Kebebasan yang aku rasa, tak dirasakan oleh warga Indonesia yang lain. Mereka tak bisa bebas memilih; tak bebas berkeyakinan; tak bisa berkata bebas; tak bisa bebas berpendapat; tak bisa bebas menulis; tak bisa bebas bertindak; tak bisa bebas berserikat.

Maka, menjadi kewajibanku yang ”bebas” ini untuk membebaskan warga Indonesia yang belum ”bebas”. Sebelum mereka kehilangan ke-Indonesiaannya, atau sebelum mereka menanggalkan ke-Indonesiaannya. []

Usep Hasan Sadikin
Warga ”INDONESIA”

http://sumaui.or.id/?pilih=lihat&id=298

Comments