Dogma

“Kok bisa yah, mahasiswa sampai ikutan?”

KURANG LEBIH seperti itu, komentar seorang teman diskusi saya, ketika dia mengetahui bahwa banyak di antara pengikut aliran Al Qiyadah Al Islamiyah berstatus mahasiswa. Karena, sebagaimana yang kita tahu, mahasiswa merupakan kalangan intelektual; bagian masyarakat yang senantiasa berpikir dalam setiap tindakannya. Kaum rasional lah singkatnya.

Tapi apakah benar, menjadi pengikut aliran Al Qiyadah Al Islamiyah adalah tindakan yang irasional? Apakah benar meyakini Ahmad Mushaddeq sebagai nabi adalah sikap yang tidak rasional? Bagi saya, agama merupakan ajaran yang dibentengi dengan dogma. Konsepsi dogma suatu agama (atau keyakinan), tentulah berbeda dengan konsepsi dogma agama yang lain. Jika konsepsi dogma suatu agama dilihat dari sudut pandang konsepsi dogma agama yang lain, pasti penilaiannya berbunyi: irasional!

Misalnya, si Kristen—saya menggunakan kata ”si” sebagai makna tidak semuanya seperti itu—menilai bahwa cara sholatnya umat Islam merupakan praktek beribadah yang tidak rasional. Dan si Islam pun menilai konsep Trinitas atau meyakini bahwa Yesus adalah Putra Allah adalah konsepsi iman yang irasional. Jadi jelas, suatu agama (dari semua agama), jika dilihat dari sudut pandang di luar agama tersebut, sering kali penilaiannya adalah tidak rasional.

Saya pun tidak yakin, jika di antara kita (yang meyakini Ibrahim sebagai Bapak Para Nabi) hidup di masa Ibrahim, akan menjadi pengikut Ibrahim yang hampir menyembelih putranya; ”apakah rasional mengimani Ibrahim sebagai Nabi, padahal dia hampir menyembelih putranya?” Lalu pertanyaannya, mengapa pemeluk Islam tetap menjalankan ibadah shalatnya padahal si Kristen jelas menyebut ibadah shalat merupakan tindak irasional, misalnya?

Bagi saya, jawabannya adalah karena setiap agama mempunyai konsepsi dogma yang dibangun dari sebuah (makna) pemahaman. Dan dalam penyebarannya, dogma diajarkan dengan disertai proses rasionalisasi untuk mencapai sebuah pemahaman yang sama. Dogma diperlukan sebagai bahan rujukan yang sifatnya ”kasat mata”, agar pemahaman yang sama bisa dicapai dengan ”mudah” dan senantiasa terpelihara.

Itulah mengapa koordinator Al Qiyadah Al Islamiah wilayah Jakarta, ketika dia diamankan oleh pihak kepolisiaan, (masih) dengan lantang mengucapkan dua kalimat syahadat versi Al Qiyadah Al Islamiah. Karena, menurut saya, dia telah mencapai suatu pemahaman dari proses rasionalisasi terhadap suatu konsepsi dogma. Sehingga, apa pun yang orang katakan, apa pun fatwa yang MUI labelkan kepada keyakinannya, ”sesat dan menyesatkan” atau apa lah, dia akan tetap memegang teguh keyakinannya.

Ini pula, yang dialami oleh Komunitas Eden. Meskipun telah dinilai ”sesat dan menyesatkan”; meskipun telah mengalami kekerasan fisik; meskipun Lia Eden (sebagai pimpinan) telah mengalami hukuman penjara, Lia beserta pengikutnya (yang tersisa) masih tetap menjalankan ajaran Salamullah.

Bagi saya, tantangan keragaman dalam berkeyakinan –saya cenderung menyebutnya sebagai tantangan (bukan masalah), bukan dihadapi dengan cara menggulirkan fatwa ”sesat” dan sebagainya. Melainkan dengan cara membangun iklim kebersamaan. Memelihara tradisi lintas-batas dalam bergaul dan berdialog antara kita yang sama dan berbeda.

Sikap yang kita ambil dalam menghadapi maraknya keragaman dalam berkeyakinan, seharusnya mengacu pada tindakan amal kebaikan dan manfaat. Apakah benar pihak yang selama ini telah menyebut suatu aliran atau agama adalah ”sesat”, telah melakukan amal kebaikan dan manfaat bagi kehidupan bersama? Dan, apakah benar pihak yang selama ini dituduh ”sesat” telah melakukan amal yang buruk dan tidak bermanfaat, sehingga mengganggu harmoni kehidupan bersama?

Menggulirkan fatwa ”sesat”, bagi saya adalah tindakan dari sebuah pandangan yang mengacu pada landasan suatu dogma semata. Dan masyarakat kita banyak yang selalu menggunakan suatu dogma sebagai penilaian terhadap keragaman yang terhampar di depannya. Celakanya, jika bagian dari masyarakat ini bisa memegang otoritas penilai dogma. Maka, semua dogma yang berbeda dengan yang diyakininya akan dilebeli fatwa ”sesat”, ”menyimpang” dan harus ”diluruskan”.

Padahal, penilaian kita terhadap seseorang atau suatu kelompok hendaknya menggunakan tolak ukur yang didasari oleh amal baik dan manfaat bagi kehidupan bersama. Bukan dogma. []

USEP HASAN SADIKIN

*Tulisan ini telah dimuat sebelumnya di majalah Majemuk:

http://www.icrp-online.org/wmview.php?ArtID=627

Comments