3 Doa 3 Cinta, Banyak Islam

*Tulisan ini telah dimuat di Harian Nasional Media Indonesia, Sabtu, 10 Januari 2009, dengan judul, "3 Doa 3 Cinta, Potret Pluralitas Islam".

Sebagai pemerhati wacana Islam, bagi saya, film “3 Doa 3 Cinta” (3D3C), merupakan film penting. Secara ideologi, film “3 Doa 3 Cinta” menyentuh pembahasan wacana Islam yang sedang dibutuhkan. Di saat dunia masih disemarakan oleh konflik agama dan aksi-terror bom yang mengatasnamakan agama, kita membutuhkan kembali penjelasan mengenai makna agama. Berada pada media film populer, 3D3C cukup berperan memenuhi kebutuhan itu.

Berlatarbelakang lingkungan pesantren tradisional, 3D3C menyajikan potret bagian masyarakat pesantren dengan corak Islam warna-warni. Film yang disutradarai oleh Nurman Hakim, yang katanya jebolan pesantren, coba menjelaskan, sekaligus membela bahwa, tak semua Islam identik dengan kekerasan. Ini merupakan pesan ideologi utama 3D3C. Tentunya di samping pesan moral doa dan cinta dari tiga orang santri.

3 doa 3 cinta
Terkait dengan judul, 3D3C menceritakan tiga orang pemuda santri: Huda (Nicolas Saputra), Rian (Yoga Pratama), dan Syahid (Yoga Bagus). Tiga doa, adalah cita dan harap mereka bertiga. Tiga cinta, adalah pelabuhan cita dan harap mereka, entah itu berupa keluarga/anggota keluarga, profesi, “kekasih”, agama, atau yang lainnya. Cita dan harap mereka, ditulis di dinding “markas”, tempat mereka biasa kumpul bertiga. Setiap kali mereka menulis apa yang dijadikan cita dan harap untuk suatu kurun waktu, mereka lalu berdoa, agar apa yang mereka cita/harap-kan dapat tercapai, di-ijabah oleh Allah Swt.

Doa dan cinta ketiga santri tersebut, hadir di tengah-tengah kehidupan pesantren tradisional, dalam artian masih menjaga jarak dengan budaya dan produk modernitas. Namun, kesan suci dan sakral lembaga kultural pesantren coba dijauhkan dalam film ini. Kesan kesucian dan kesakralan lingkungan pesantren, sedikit banyak diganggu melalui kejadian dan dialognya. Ini terlihat dari penceritaan prilaku santri yang kadang “ngawur” dalam melaksanakan ritual ibadah: ketiduran dalam sholat, sulit dibangunkan untuk sholat subuh, tak ikut sholat berjamaah dan pengajian.

Belum lagi prilaku yang identik dengan gairah dan kenakalan anak muda. Sebutlah itu membolos, melanggar jam malam, merokok dan mengintip. Lebih “parah” lagi Huda. Ia ber-khalwat dengan Dona “Satelit” (Dian Sastro), bintang dangdut kampung. Huda pun menonton (dengan “serius”) goyangan seronok Dona, dan menerima ciuman bibir Dona, meski ditutup dengan ucapan, “astagfirullah”.

Praktek poligami pun coba dikritik 3D3C. Praktek ini cenderung dipelihara oleh para pimpinan pesantren. Ada semacam pandangan bahwa, terasa kurang jika seorang pimpinan pesantren belum mempunyai anak laki-laki, yang nantinya akan dijadikan penerus kepemimpinan pesantren. Ini menjadi (salah satu) alasan seorang kyai untuk menikah lagi. Kritik hadir dengan penceritaan adanya protes yang dilakukan oleh istri Kyai Wahab. Si kyai pun urung menikah lagi, dan mengangkat Huda, yang dianggapnya sebagai santri terbaik. Di lain pihak, ada pimpinan pesantren lain yang menikah untuk keempat kalinya.

Selain itu, 3D3C coba mengkritik pandangan dan sikap pesantren terhadap homoseksual. Orientasi yang tidak umum ini, dipandang oleh pesantren sebagai bentuk penyimpangan. Ketika ada santrinya yang diketahui gay (dan melakukan pelecehan seksual), pesantren seperti lepas tangan terhadap permasalahan. Santri gay diusir dari pesantren, setelah dikeroyok oleh para santri— entah perlakuan seperti apa yang akan didapatnya oleh masyarakat di luar pesantren.

Semua hal tersebut menyadarkan kita bahwa, kyai dan para santri adalah manusia, yang juga mempunyai sisi kurang seperti manusia pada umumnya. Mereka berada dalam lembaga kultural pendidikan, di mana “kesalahan” merupakan hal penting dalam proses belajar. Dan, sebagai otoritas kebenaran, pesantren, dengan kyai sebagai porosnya, bukan berarti tak luput dari kekeliruan pandangan dan sikap.

Banyak Islam
Sebagai pesan ideologi, aspek pluralitas Islam coba disampaikan 3D3C. Ketika kita dihadapkan oleh fenomena kekerasan atau aksi/teror bom yang mengatasnamakan Islam, 3D3C hendak menyikapi fenomena itu dengan menjawab: tak semua Islam seperti itu. Pesan “selamat” yang dibawa oleh Nabi Muhammad dahulu, kini telah terikat oleh ruang (beserta isinya) dan waktu. Perbedaan kondisi sosial, budaya, politik, ekonomi dan alam telah melahirkan Islam dengan banyak wajah. Ada wajah yang ramah, marah, dan banyak varian di antaranya. Di Indonesia, dengan perbedaan ruang dan waktu tersebut, coba digambarkan 3D3C dengan adanya Islam ramah yang terdapat di dalam pesantren, serta Islam marah yang diajarkan oleh suatu kelompok pengajian di luar pesantren.

Hal tersebut merupakan jawaban “lain” yang penting atas “tanda tanya besar” dari masyarakat terhadap fenomena aksi/teror bom, yang mengatasnamakan Islam. Kita tahu, umumnya tokoh dan intelektual muslim sibuk mengklarifikasi aksi/teror bom, yang mengatasnamakan Islam, sebagai hal/pihak yang bukan bagian dari Islam. Klarifikasi tersebut tak memperbaiki pemahaman atau ketenangan, bagi umat Islam maupun umat lainnya. Kenyataannya, yang marah dan yang ramah, sama-sama mengatasnamakan Islam berdasarkan Al Quran dan Hadist.

Selain itu, pluralitas Islam dalam 3D3C juga dinilai penting, mengingat, dalam tataran masyarakat alit pengetahuan dan pemahaman pluralitas Islam masih kurang. Film popoler, sebagai produk budaya Pop, berperan mengisi transmisi wacana itu. Mimbar bioskop tentu saja lebih disukai oleh banyak masyarakat alit, dibandingkan mimbar khotbah, orasi atau forum diskusi yang hanya dihadiri kalangan elite.

Sebagai satu pembahasan yang komperhensif, tentu, 3D3C masih kurang. Tapi setidaknya ini bisa menjadi cicilan pemahaman kita mengenai pluralitas Islam. Perlu ada film atau media lain yang menggenapinya.

Dengan upaya itu, diharapkan, di masa depan, masyarakat tak dibingungkan ketika ada pihak yang mengatasnamakan Islam, melakukan kekerasan. Kita tak perlu khawatir citra Islam akan terkotori oleh pihak dan aksi kekerasan itu. Islam dalam keyakinan kita tetap mulia dan luhur. Begitu juga di mata orang di luar Islam yang mengetahui dan memahami fakta pluralitas Islam. Dengan memegang keyakinan bahwa Islam ramah merupakan Islam yang bisa mewujudkan dan menjamin keberlangsungan kehidupan bersama dari kebhinekaan umat manusia, tentunya seiring dengan itu, kita pun harus mengikis kesenjangan dan diskriminasi antar sesama. Kita bangun kehidupan yang adil, damai dan sejahtera, di segala bidang untuk masa depan yang lebih baik.

Semoga tak ada lagi orang seperti tokoh Syahid dalam 3D3C, yang tertarik dengan ajaran Islam berwajah marah. Beruntung Syahid tak jadi melakukan aksi bom bunuh diri. Ia sadar bahwa tak semua orang Amerika Serikat, Israel, Yahudi dan Kristen itu jahat—dan tak semua orang Islam itu baik. Doanya untuk mati syahid (sebagai martir), urung dilakukan. Cinta tertingginya pada Allah tak jadi dilabuhkannya sebagai “syuhada”. Syahid sadar bahwa, orang-orang di sekitarnya, terutama bapaknya, lebih membutuhkan cintanya.

Memang, cinta pada Allah merupakan cinta yang paling tinggi. Tapi, yakinlah bahwa, cinta kepada Allah sejatinya diwujudkan dengan doa akan cita dan harap yang dilabuhkan kepada sesama dengan cara menebar cinta, bukan tindak kekerasan. []

USEP HASAN SADIKIN
Pemerhati wacana Islam;
Penikmat film & Fans Dian Sastro

Comments