PEMILU hanyalah Pesta

Pak To, tokoh rekaan Ayu Utami dalam “Negeri Taman Mini”, senang menyebut Pemilu sebagai pesta. Bagi Pak To, setiap partisipasi massa sama artinya dengan pesta. Pemilu tak terkecuali. Meski, gerak berbondong itu didasari oleh perintah dan ancaman, bukan pemahaman dan kesadaran. Meski kemeriahannya, yang kata Ahmad Dhani dalam Ode Ekstrimis, berupa arak-arakan/pawai idiot dengan baju warna-warna; tak mengerti yang dilakukan dan diteriakan.

Ya, Pemilu melibatkan banyak orang. Bukanlah pesta jika dihadiri oleh segelintir orang. Pesta pasti ramai. Pemilu ramai selalu, saat menjelang dan datang. Karena itu, kesuksesan Pemilu dinilai dari seberapa banyak orang menghadiri kampanye dan memilih di bilik suara. Hal itu cenderung menekankan pada pentingnya kuantitas, bukan kualitas; partisipasi bukan substansi.
Mungkin tepat jika Pemilu disebut sebagai pesta demokrasi. Tapi, tak tepat jika Pemilu adalah demokrasi itu sendiri. Demokrasi adalah entitas hidup. Hidup bukanlah pesta, sehingga demokrasi bukanlah Pemilu.

Tapi, tak dapat dipungkiri jika, dalam tataran (politik) formal, Pemilu merupakan barometer demokrasi. Tinggi/rendah-nya partisipasi rakyat dalam memilih, merupakan representasi tingkat tekanan udara di iklim “dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat”.

Mungkin juga Pemilu disebut sebagai pesta karena, di saatnya, partai menjadi objek sorotan. Menjelang Pemilu, eksistensi partai diperhatikan. Di hari “H” partai menjadi pilihan. Partai, sebagai pusat perhatian, adalah pesta itu sendiri. Tak heran jika kita (sedikit) dibingungkan pada kata asing “party” yang memiliki dua arti: pesta dan partai.

Sejatinya, Partai tak hanya sebagai bintang dalam formalitas demokrasi di Pemilu. Partai harus juga berperan dalam alur budaya demokrasi yang mencitakan masyarakat demokratis. Apalagi pada fase transisi kehidupan berbangsa dan bernegara ini. Kita masih berada pada fase peralihan, dari pemerintahan otoritarian menuju pemerintahan demokratis. Partai menjadi (salah satu) harapan untuk melakukan percepatannya.

Sayangnya peran itu tak dijalankan partai dengan baik—jika tak bisa dinilai “tak dijalankan”. Bagi partai, demokrasi adalah Pemilu itu sendiri. Pendidikan demokrasi minim dilakukan partai. Partai berbaur dengan masyarakat hanya saat menjelang Pemilu. Partai hanya berseru: pilih nomer “sekian”.

Pemilu oleh partai dianggap sebagai rutinitas demokrasi. Dan partai lebih mementingkan rutinitas itu. Sehingga kehidupan partai adalah laku dari Pemilu yang lalu ke Pemilu saat ini, kemudian ke Pemilu yang nanti. Pesta demokrasi yang diadakan lima tahun sekali, secara umum disikapi partai sebagai waktu persiapan Pemilu. Setelah itu, perayaan hasil Pemilu. Berulang, selalu begitu. From party, with party, for party.

Praktek politik itu telah mengaburkan makna demokrasi. Keadaan ini cenderung dipelihara. Mereka yang sudah (dan ingin) berkuasa meyakini bahwa, legitimasi kekuasaan hanya didapatkan melalui suara publik di dalam bilik. Tak pernah dilakukan konsultasi terhadap publik dalam kerangka pertanggung jawaban jangka panjang.

Tampaknya, semua partai cuma ngotot di Pemilu. Padahal demokrasi ibarat alur hidup. Dalam alur itu ada, sewaktu-waktu, sikap merayakan hidup. Itulah Pemilu, acara satu hari yang (saat ini) dilakukan setiap lima tahun sekali. Yang lebih penting bukanlah yang satu hari itu, melainkan yang lima tahun (minus satu hari). Yang terpenting dalam alur hidup adalah proses dan capaian (yang menyertakan proses).

Demokrasi adalah bagaimana berusaha dan menjadi demokratis. Jadi, janganlah mengatakan tidak bijak kepada pihak yang tak berpartisipasi dan tak menggunakan hak suaranya untuk memilih partai/caleg di bilik suara. Sungguh disayangkan bagi mereka yang telah menetapkan hukum Golput adalah haram. Karena tak memilih pun merupakan bagian dari sikap dalam proses dan capaian menjadi demokratis.

Kita tak perlu kaget atau kalap, jika nanti pemilih dalam Pemilu kurang dari 50%, atau hanya 10%. Hasil itu merupakan kritik terhadap proses demokrasi yang telah dijalankan. Kegagalan apapun, termasuk gagal menyukseskan pesta, adalah pelajaran dalam hidup. Meski gagal atau tak terlibat dalam Pemilu, kita bisa tetap berada dalam demokrasi. Demokratisasi menuju demokratis, harus tetap dijalankan, pra maupun pasca Pemilu; ada atau tanpa Pemilu.

Kini pesta di depan mata. Kita boleh senang atau jengah mengikuti pesta itu. Tapi kita jangan hanya senang mengikuti pesta, atau jengah menjalani waktu di luar pesta. Karena waktu kita hidup (memungkinkan) panjang. Dan demokrasi sebagai yang hidup pun panjang, bukan satu hari. []

USEP HASAN S.

Comments