Sipadan, 7 Keajaiban Alam dan Kesadaran Geografi

Bila kita kunjungi situs dunia maya beralamat www.new7wonders.com, kita melihat sebuah rubrik polling untuk memilih “7 Keajaiban Alam” (7 Wonders of Nature). Kita boleh bangga, karena tiga kontestan di antara nominasinya merupakan fenomena alam di Indonesia: Pulau Komodo di Kepulauan Nusa Tenggara Timur; Gunung Krakatau di Selat Sunda; dan Danau Toba di Sumatera Utara. Tapi, tampaknya kita semua akan menyayangkan, karena satu kontestan lain, yang merupakan fenomena alam di Malaysia, adalah Pulau Sipadan.

Dahulu, Sipadan—beserta Ligitan—merupakan pulau yang diperjuangkan untuk dimiliki Indonesia. Di tahun 1969, disadari oleh Indonesia dan Malaysia bahwa, Pulau Sipadan dan Ligitan tertera di Peta Malaysia sebagai bagian dari wilayah negara RI. Namun, sejak 17/12/2002, Sipadan telah disahkan oleh Mahkamah Internasional sebagai pulau milik Malaysia. Dari 17 orang juri yang bersidang, cuma satu orang yang berpihak kepada Indonesia. Karena, dibandingkan ke Indonesia, letak Sipadan lebih dekat ke Malaysia, dan fakta aktual saat itu, Malaysia telah membangun prasarana pariwisata (Tarmansyah: 2003).

Secara mendasar, penyebab tragedi itu adalah, kurangnya kesadaran geografi di masyarakat dan pemerintah Indonesia. Geografi di sini saya artikan sesuai dengan pengertian yang ditetapkan oleh Ikatan Geograf Indonesia (IGI), hasil lokakarya di Semarang tahun 1988. Geografi adalah ilmu yang mempelajari perbedaan dan persamaan geosfer (unsur penyusun bumi) dan interaksi antar manusia dan lingkungannya dari sudut pandang kelingkungannya dalam konteks keruangan dan kewilayahan. Dari pengertian itu, saya mengartikan kesadaran geografi adalah kesadaran manusia (antroposfer), sebagai bagian dari unsur penyusun bumi, yang berirnteraksi dengan lingkungannya dalam konteks keruangan dan kewilayahan.

Setidaknya ada tiga masalah utama yang menggambarkan kurangnya kesadaran geografi bagi Indonesia, baik masyarakat maupun pemerintah. Tiga masalah itu adalah: tak tepatnya pendidikan geografi; pemerintahan yang sentralistik; dan pembangunan wilayah yang berbasis kontinental.

Pendidikan geografi
Umumnya kita, masyarakat Indonesia, menjalani pendidikan geografi yang tak tepat bagi konteks ke-Indonesiaan. Dampaknya, kita tak acuh terhadap daerah kita dan pulau-pulau di wilayah Indonesia. Masa bodoh adalah sikap kita jika di antaranya hilang atau diklaim oleh negara lain, karena tak memahami dampak kerugiannya. Nama dan letak daerah, persebaran, perbedaan dan persamaan sumber daya alam dan manusia di tiap-tiap daerah, tak diketahui oleh kita.

Selama ini, pelajaran geografi di sekolah lebih berorientasi pada teks. Belajar geografi hanya sebatas menghafal istilah-istilah yang tak tahu gambar dan tak tahu di mana letaknya, atau seperti apa bentuknya di lapangan. Ditambah lagi, kurangnya penekanan pada wawasan lokal dan nasional.

Bila bercermin pada negara maju seperti Inggris, Jerman, dan Belanda, pendidikan geografi yang menekankan pada pengetahuan geografi negara, merupakan dasar masyarakat untuk mencintai tanah air dan menjadi warga negara yang baik. Dari cerminan itu, tampaknya pepatah “tak kenal maka tak sayang”, berlaku bagi bangsa Indonesia. Kita ibarat bangsa yang terasing di tanah airnya sendiri. Kita perlu sadar bahwa, ikatan bangsa yang terbentuk dari persamaan nasib atas penjajahan, merupakan ikatan bangsa yang telah usang. Ikatan bangsa Indonesia perlu diperbaharui menjadi ikatan bangsa yang didasari oleh kesadaran geografi. Tentulah kesadaran itu perlu dibangun melalui pendidikan geografi kontekstual yang berwawasan lokal dan nasional.

Pemerintahan sentralistik
Dari pihak pemerintah, kurangnya kesadaran geografi bisa kita lihat dari kinerjanya dalam membangun Indonesia. Dengan 18.108 pulau, luas daratan 1,937 juta km2, luas laut kedaulatan 3,1 juta km2, luas laut ZEE 2,7 juta km2, panjang pantai 81,000 km (inovasi: 2006), wilayah kepulauan Indonesia dikelola dengan pemerintahan sentralistik. Pemerintahan hanya berpusat di Jakarta. Dampaknya, daerah-daerah lain lambat berkembang. Bila kita ke daerah-daerah di luar Jawa, kita akan tahu dengan jelas bahwa, umumnya daerah tersebut begitu senjang dan tertinggal dengan Jakarta. Bagi mereka yang tinggal di dekat perbatasan Malaysia, sesekali berceloteh, “jika saya bisa memilih menjadi warga Indonesia atau Malaysia, saya pilih Malaysia”.

Saat ini, kebijakan berubah menjadi desentralisasi dengan format otonomi daerah. Suatu pilihan yang tepat. Meski tak semua daerah berhasil menjalankannya, mengingat otonomi daerah belum sempurna dalam regulasi dan penerapan, ini jauh lebih baik bila dibandingkan sentralistik. Beberapa provinsi baru seperti Riau dengan optimalisasi minyak dan gasnya; Bengkulu dengan pembangunan jaringan jalan yang membelah bukit barisan; Gorontalo dengan terobosan ekspor jagungnya ke Filipina; serta daerah Kabupaten Donggala dengan hasil panen Kakao, adalah beberapa daerah yang bisa dinilai berhasil.

Untuk daerah lain yang belum berhasil, diharapkan bisa belajar dari provinsi tersebut dan berusaha untuk tak bergantung pada pemerintah pusat. Desentralisasi pemerintahan dengan format otonomi daerah sangat memungkin pemerintah beserta masyarakat daerah untuk mengoptimalkan perhatian, pemanfaatan, pemberdayaan dan penjagaan daerahnya.

Pembangunan berbasis kontinental
Selain pemerintahan sentralistik, pembangunan hasil pemerintah pun selama ini keliru karena mengadopsi pembangunan ala Amerika yang berbasis kontinental (daratan benua). Padahal Indonesia adalah negara kepulauan, yang lebih dari 2/3 luas wilayahnya adalah laut. Dari konteks itu, tepatnya pembangunan Indonesia adalah berbasis maritim (perairan samudera).

Pembangunan berbasis maritim menempatkan pantai dan pesisir sebagai beranda wilayah negara dan daerah. Panjangnya garis pantai merupakan ladang optimalisasi kegiatan ekspor/impor, industri pariwisata, perikanan laut dan petani garam. Sebaran pelabuhan di tiap-tiap pulau merupakan titik-titik koneksi transportasi yang utama, khususnya bagi pulau-pulau besar serta pulau-pulau yang berbatasan langsung dengan negara lain.

Setiap pulau, yang memungkinkan, harus diproyeksikan untuk permukiman dan kegiatan ekonomi sosial budaya. Kepadatan penduduk yang terpusat di Jawa, khususnya Jakarta, perlu didistribusikan kembali melalui program transmigrasi ke pulau-pulau yang jarang penduduknya. Sebagai percepatan pemerataan daerah, pelabuhan, sebagai titik utama koneksi transportasi berbasis maritim, harus bersinergi dengan terminal (untuk moda transpotasi darat) dan bandara (untuk moda transportasi udara).

Zona Ekonomi Eksklusif
Tak dimilikinya Sipadan oleh Indonesia, berarti tak memilikinya sumber daya alam lebih bagi Indonesia. Terutama sumber alam lautnya, yang batas luasannya berdasarkan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE).

ZEE sebagai dasar yuridis batas luas wilayah negara, yang panjangnya 200 mil dari sisi luar pulau terluar, memberikan keistimewaan luas wilayah dan sumber daya alam bagi Indonesia. Dimilikinya Sipadan oleh Malaysia, berarti dimilikinya sebagian luas dan kekayaan sumber daya alam oleh Malaysia yang bisa dimiliki oleh Indonesia.

Sipadan merupakan pulau dengan ekosistem alami yang bernilai tinggi. Bagian ekosistemnya menampung habitat dan populasi penyu dengan aktivitas bertelurnya. Dan, di bagian lainnya terdapat keragaman hayati trumbu karang.

Kurangnya kesadaran geografi membuat kita tak sadar dan tak acuh akan keberadaan Sipadan. Sebuah keadaan yang membuat pihak Malaysia tak malu-malu membangun prasarana pariwisata. Ketika lama diklaim sebagai milik Malaysia, kita malah marah dan mengaku-aku bahwa Sipadan adalah milik Indonesia. Seharusnya, kita yang sadar akan kurangnya kesadaran geografi, menjadi malu, karena dulu telah menelantarkan Sipadan.

Karena itu, penting bagi masyarakat dan pemerintah Indonesia untuk membangun kesadaran geografi. Menerapkan pendidikan geografi kontekstual yang berwawasan lokal dan nasional; menetapkan rumusan dan pelaksanaan desentralisasi otonomi daerah; mengadopsi pembangunan wilayah berbasis maritim, merupakan tiga hal yang memang tidak mudah, tapi mutlak harus dilaksanakan dengan kesungguhan. Jangan sampai pulau di Kepulauan Talaud—sebelah utara Pulau Maluku—di perbatasan Filipina, atau pulau lain yang dekat dengan perbatasan negara lain, juga tak dimiliki oleh Indonesia. Cukuplah tragedi Sipadan menjadi contoh bagi kita untuk menjadi masyarakat yang sadar geografi.

Kesadaran geografi penting sebagai ikatan lain kebangsaan kita. Merasa memiliki dan perlu merawat serta menjaga Indonesia yang didasari oleh pengetahuan potensi kekayaan alam wilayah kita, merupakan hal yang lebih fungsional untuk mengikat kita, yang terpencar di ribuan pulau, dengan pernyataan: “bangsa Indonesia”. Sebagai cicilan kecil menumbuhkan kesadaran geografi, mari kita pilih Pulau Komodo—karena Gunung Krakatau, dan Danau Toba sudah tak memungkinkan untuk menang—di www.new7wonders.com, untuk menjadi satu dari 7 Keajaiban Alam. []

USEP HASAN S.
Alumnus Geografi UI
www.forlib.blogspot.com

Comments