Puasa

Setiap memulai bulan Ramadan dengan melakukan ibadah puasa, saya selalu merasakan bahwa ibadah puasa (sepertinya) merupakan ibadah wajib yang paling ”digemari” oleh umat Muslim -pada umumnya. Jika saya merujuk pada rukun Islam, terbukti bahwa tampaknya ibadah puasa adalah ibadah yang relatif ”tidak berat” dalam pelaksanaannya. Ini bisa terlihat di sekitar kita bahwa, banyak orang ”senang” berpuasa, namun dalam menjalankan puasanya tidak disertai dengan pelaksanaan ibadah sholat wajib. Banyak orang berpuasa, tetapi malas untuk membayar zakat. Dan banyak orang berpuasa Ramadan setiap tahun, tapi dalam kurun waktu usianya belum juga melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, Makkah.

Sepertinya ini disebabkan karena puasa merupakan ibadah yang relatif ”sederhana”. Sederhana karena diri kita secara sadar akan mudah memahami, apa keuntungan puasa bagi kita. Misalnya, ibadah puasa bisa menyehatkan tubuh. Puasa yang menggeser waktu makan-minum, di mana jarak antar waktu makan-minum menjadi relatif lebih lama, sangat memungkinkan kita untuk mengendalikan (tahapan) asupan nutrisi ke tubuh. Sehingga, tubuh ibarat diberikan fase selama satu bulan dalam tahunnya berupa relaksasi dalam mengolah nutrisi.

Digesernya waktu makan-minum, di mana jarak antar waktu makan-minum menjadi relatif lebih lama, juga bisa menyadarkan kepada kita, bahwa berada dalam keadaan lapar itu tidak enak. Keadaan lapar ini akan mendorong lahirnya sifat empatik kepada saudara-saudara kita yang senantiasa berada dalam kondisi lapar; saudara-saudara kita yang kelaparan. Sehingga kita dianjurkan untuk memberi bukaan kepada orang yang berpuasa, yang nilainya sama dengan nilai ibadah puasa orang yang diberikan bukaan; sehingga menyadarkan kita akan pentingnya berbagi terhadap sesama.

Memang ada semacam kecendrungan dari manusia, ketika dia mau melakukan suatu tindakan, kerap kali menggunakan dasar keuntungan. Apa keuntungan yang didapat jika si manusia melakukan suatu tindakan. Jika suatu tindakan ada atau terdapat banyak keuntungannya, maka tindakan itu dilakukan. Jika tidak ada atau hanya sedikit keuntungannya, ya buat apa.

Hal ini tak terkecuali dalam konteks beragama. Manusia beragama pun karena ingin ”untung”. Dan puasa memang menguntungkan bagi kita. Keuntungan tersebut bisa dengan mudah kita hitung-hitung.

Bandingkan dengan sholat yang sangat sulit bagi kita (umumnya) untuk memahami apa makna gerakan dan bacaan sholat di dalamnya--dan mengapa gerakan dan bacaannya harus seperti itu?

Bandingkan dengan ibadah haji ke Baitullah, Makkah. Berhaji membutuhkan pengorbanan yang sangat besar berupa harta, raga dan jiwa. Dan ”konyol”-nya itu dilakukan hanya untuk sesuatu yang dinamakan kewajiban -kenapa harus ke Baitullah Makkah, dan kenapa harus berdesak-desakkan mengadu nyawa?

Dan bandingkan dengan membayar zakat yang syarat kekakuan dalam perhitungannya; dan hanya men-”sugestikan” bahwa, berzakat tidak akan merugikan orang yang berzakat. Padahal umumnya orang berhitung bahwa dengan berzakat berarti orang tersebut menyisihkan uang bukan untuk kepentingan dirinya.

Tapi bagi saya pribadi. Dalam menilai dan memaknai puasa, saya lebih suka untuk merujuk kepada pengalaman hidup. Puasa Ramadan adalah ”nostalgia”. Bisa kembali lagi mereguk kebahagiaan bersama saat berbuka; baik itu bersama keluarga, saudara atau pun sahabat. Kembali merasakan semangat dan kegembiraan ketika melaksanakan sholat tarawih berjamaah di masjid. Kembali berada di bulan yang malam-malamnya tidak pernah tidur. Serta bisa menemukan kembali kehangatan suasana makan sahur yang mengalahkan dinginnya subuh.

Ramadan merupakan nostalgis; nostalgis yang penuh akan warna. Sehingga senantiasa memberikan kenangan berarti di setiap tahunnya, dari saya kecil sampai tahun terakhir kemarin.

Saya selalu menantikan dan mempersiapkan nostalgia tersebut. Mungkin ini juga sebuah hitung-hitungan keuntungan dari saya. Jika iya, setidaknya, bagi saya, bernostalgia lebih menenangkan batin, dibandingkan menghitung-hitung puasa itu bisa menyehatkan, atau sekedar menghadirkan rasa lapar dan empatik. []

USEP HASAN S.

Comments