Pantau SBY dengan CEDAW

Oleh USEP HASAN S.

Menyambut hari anti korupsi sedunia yang diperingati setiap tanggal 9 Desember 2009, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berpidato di Istana, Selasa (8/12). Isinya, SBY menyatakan berjihad melawan korupsi. Pernyataannya menyertai hasil yang telah dicapai pemerintahannya dalam memberantas korupsi, serta mengungkapkan akan terus melakukannya ke depan. Pidato ditutup dengan pesan, jangan ada aksi kekerasan pada demonstrasi tanggal 9.

Dua hari sebelumnya, SBY membuka curahan hatinya dalam Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) III Partai Demokrat. Presiden, yang dua kali terpilih berdasarkan pemilihan langsung ini, menyesalkan adanya aksi demonstrasi tanggal 9 Desember 2009. “Ada motif politik yang tidak punya semangat pemberantasan korupsi,” ujarnya dalam -Koran Tempo, 07/12/2009. Curhat SBY pun ditayangkan hampir di semua stasiun televisi. “Cobaan ini ibarat petir di siang hari yang cerah,” ujarnya (yang mungkin) sebagai kekesalan dari apa yang terjadi belakangan ini. SBY mensinyalir, ada pihak yang ingin menggantikan kepemimpinannya.

Effendi Gazali, salah seorang penggagas aksi membenarkan, aksi 9 Desember 2009 bermotif politik. “Motif politik kami, Indonesia harus bersih dari korupsi,” kata anggota Koalisi Masyarakat Anti Korupsi (Kompak). Bisa disimpulkan sama, Fajroel Rahman, koordinator Kompak mengatakan, aksi itu merupakan upaya menyatukan mimpi Indonesia yang bebas dari korupsi, khususnya pemerintah Negara ini harus bebas dari korupsi.

SBY boleh mengatakan dirinya bersih dan difitnah. Pihak oposisi atau masyarakat yang mengkritisi pilihan sikap SBY pun bisa menduga adanya korupsi di pemerintahan. Keduanya harus bisa memberikan penjelasan dengan baik kepada masyarakat, menyertai pembuktian yuridis.

Yang pasti, keadaan sekarang cenderung menyudutkan SBY. Narasi besar publik menuntut SBY untuk bisa menjelaskan secara terbuka dan lengkap atas sikapnya beserta dampak yang terjadi.

Dimulai dari kasus Cicak VS Buaya. Tak ada langkah radikal SBY dalam menyelesaikannya. Tim 8 yang banyak merekomendasikan SBY untuk bersikap dibentuk SBY akibat desakan masyarakat. Belum ada langkah nyata rekomendasi Tim 8 kepada SBY untuk mereformasi lembaga hukum. Anggodo dibebaskan dan mungkin akan buron seperti adiknya, Anggoro.

Pada kasus Bank Century yang dikaitkan dengan dugaan keterlibatan partai Demokrat, SBY (sebagai bagian dari dewan penasehat partai Demokrat) malah “membiarkan” Idrus Marham menjadi ketua Pansus Century. Terpilihnya Idrus -yang dekat dengan Cikeas- akan melunakkan usaha Pansus membongkar skandal Century.

Selain itu, Tiffatul Sembiring, Menteri Komunikasi dan Informatika di Kabinet Indonesia Bersatu jilid II dinilai tengah melakukan pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas usahanya menghilangkan hak KPK untuk bisa melakukan penyadapan. Padahal, Erry Riyana Hardjapamekas, mantan pimpinan KPK mengatakan, “lebih dari 50 persen keberhasilan penanganan kasus korupsi berasal dari proses penyadapan” -Koran Tempo, 07/12/2009.

Akumulasi kejadian itu, membuat masyarakat mempertanyakan citra SBY sebagai “kaum demokrat” yang prodemokrasi. Pilihan sikapnya, dinilai bertentangan dengan cita dan harapan rakyat yang memilihnya secara langsung.

CEDAW
10 Desember merupakan hari hak asasi manusia (HAM) sedunia. HAM adalah entitas penting demokrasi. Bisa dibilang, HAM dan demokrasi, adalah setali tiga uang.

Apa yang terjadi pada hak asasi perempuan? Gender yang dikhususkan dalam wacana umum -berdasar ketimpangan relasinya dengan laki-laki- perempuan sudah terlalu lama mengalami diskriminasi. Sebagian dari rentang waktu lama itu, adalah masa pemerintah SBY.
Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, CEDAW (The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women), yang telah diratifikasi melalui UU No. 7 Tahun 1984, bisa digunakan sebagai standar penilaian terhadap pemerintahan SBY. Secara substansi CEDAW didasarkan pada tiga prinsip yang saling berhubungan; kesetaraan, nondiskriminatif dan kewajiban negara. Terkait dengan prinsip adanya kewajiban negara, seberapa jauh implementasi CEDAW dalam pemerintahan SBY?

Gadis Arivia, dalam tulisannya berjudul “Jangan Lupa Ada CEDAW” (Feminisme: Sebuah Kata Hati; Penerbit Kompas 2006), menjelaskan bahwa CEDAW telah membawa perempuan dalam arena “perbincangan hak”. Ketika pemerintah telah meratifikasi CEDAW, maka artinya pemerintah telah melakukan kontrak sosial dengan perempuan. CEDAW menjadi alat untuk selalu menagih pemerintah untuk tetap berada di jalur HAM.

Beberapa hal yang menjadi perhatian CEDAW dan perlu ditagih serta dipermasalahkan di Indonesia, di antaranya adalah status kewarganegaraan. Pasal 9 ayat 2 CEDAW menyebutkan, Negara-negara peserta wajib memberi kepada wanita hak yang sama dengan pria berkenaan kewarganegaraan anak-anak mereka.

Dalam Finalisasi Indikator Implementasi CEDAW di Sajian Sunda Sambara, Rabu (25/11), Undang-Undang Perkawinan justru mengatakan, 'Jika terjadi perkawinan campuran, anak memperoleh kewarganegaraan Indonesia secara otomotis jika ayahnya adalah warga negara Indonesia.' Berbeda halnya, jika sang ibu yang berkewarganegaraan Indonesia, maka perlu ada pengajuan permohonan kewarganegaraan untuk anak tersebut (jurnalperempuan.com).

Pasal 3 tentang keharusan negara untuk membuat aturan yang tepat sebagai jaminan HAM dan kebebasan, pun belum diimplementasi. UU Pornografi yang disahkan diakhir pengurusan 2004-2009, masih menempatkan tubuh perempuan, sebagai masalah moral.

Di level daerah, masih marak Peraturan Daerah (Perda) yang diskriminatif terhadap perempuan. Pemerintah daerah Nangroe Aceh Darussalam (NAD) melalui Perda syariatnya masih ngotot dengan pengharusan jilbab di ruang publik bagi perempuan. Disusul Qanun Jinayat yang masih menuai kontroversi. Pandeglang -di era Dimyati sebagai bupati yang juga diadili karena korupsi- mewajibkan jilbab pada perempuan di sekolah negeri. Pemerintah pusat seharusnya bisa mengingatkan, ada konstitusi negara yang harus dihormati Perda.

Terkait dengan cara berpakaian, Negara belum mampu mengintervensi lembaga-lembaga publik (organisasi atau perusahaan) dalam menetapkan aturan berpakaian. Atas dasar profesionalisme dan penyeragaman, masih banyak perusahaan yang melarang staf perempuannya berjilbab. Senin, 7/12/2009, detik.com, Tanty Wijiastuti (36), karyawati BPR Bank Angga Kota Probolinggo dipecat perusahaannya karena mengenakan busana muslimah atau jilbab. Dan banyak pula perusahaan -khususnya bank syariah- yang mengharuskan (baca: wajib) staf perempuannya berjilbab. CEDAW menentang praktek ini melalui pasal 2e.

Melalui pasal 6, CEDAW mewajibkan negara memberantas perdagangan wanita dan eksploitasi pelacuran. Tuntutan ini masih terlalu jauh dengan keadaan. KUHP masih mengkriminalkan para pekerja seks di jalan sebagai pelaku pidana. Ini jelas merupakan tindakan hukum yang bias kelas dan bias gender. Penangkapan dilakukan bagi PSK beretalase di pinggir jalan, yang notabene berstrata ekonomi bawah. Sedangkan penikmat jasanya, tidak pernah diperkarakan hingga ditangkap.

Revisi UU Kesehatan pun, masih belum bisa memastikan hak-haknya untuk bisa hidup sehat dan bebas dari ketakutan berbuat sesuatu. Penggunaan alat kontrasepsi hanya diperuntukan bagi perempuan yang menikah. Bersama KUHP, UU Kesehatan pun mengkriminalkan aborsi. Meski aborsi sudah dibolehkan bagi korban perkosaan seksual, aturan ini dinilai belum bisa mengurangi kematian ibu yang tinggi secara signifikan. Dr dr Budi Santoso dari Divisi Fertilitas Endrokinologi Reproduksi Obstetri dan Ginekolog Fakultas Kediokteran Unair-RSUD Dr Soetomo dalam Seminar Nasional “Pengaturan Kesehatan Reproduksi: Lagalisasi dan atau Liberalisasi Abortus?” di Fakultas Hukum Unair, Surabaya, Selasa (24/11/2009), dari persentase 11-13 persen angka kematian ibu (AKI) diakibatkan adanya kematian aborsi tidak aman (unsafe abortion). “Di Indonesia ada 1,5 juta ibu yang menjalani aborsi yang tidak aman. Di Seluruh dunia tercatat kurang lebih ada 50 juta ibu menjalani unsafe abortion,” kata Budi dilansir dari detik.com 24/11/2009.

CEDAW menjamin agar perempuan diberikan akses pelayanan kesehatan serta keluarga berencana, termasuk di dalamnya aborsi. Pun bentuk sunat perempuan merupakan kekerasan terhadap perempuan. Dasarnya, yang memiliki alat reproduksi adalah individu perempuan, jadi yang menentukan perlakukan alat reproduksinya adalah individu yang bersangkutan, bukan orang lain apalagi para elemen Negara. Kita bisa melihat beratnya hambatan ini dalam film dokumenter "Pertaruhan", (Kalyana Shira Foundation) yang menggambarkan betapa kelamin kaum hawa masih "dimiliki" masyarakat.

CEDAW menjamin hak sosio-ekonomi perempuan (tanah, kredit usaha, dan sebagainya) dan juga memastikan peranan perempuan secara aktif menentukan pembangunan negaranya. Dalam Kenduri Perempuan, acara pelatihan yang diselenggarakan Yayasan Jurnal Perempuan (8/12/2009, di Kemang, Jakarta), Direktur Perhimpunan Peningkatan Keberdayaan Masyarakat, Dra. Titik Hartini, M.Si., mengatakan, dalam masyarakat masih banyak perempuan yang belum sadar pentingnya memiliki aset tanah, usaha atau yang lainnya. Jika perempuan mempunyai tanah atau usaha, kepemilikannya atas nama suami, meski uang untuk membelinya adalah hasil jerih payahnya.

Yang paling pelik, trafiking masih menjadi masalah yang besar di Indonesia. Koran Tempo memberitakan (7/12/2009), Polisi dari Direktorat Reserse Kriminal Kepolisian Daerah Kalimantan Barat menggagalkan perdagangan manusia (trafficking), lima perempuan asal Jawa Barat dan Jawa Timur di jalur Trans Kalimantan menuju perbatasan Indonesia-Malaysia. Ini hanya fenomena permukaan. Banyak kasus yang lebih kompleks. Trafiking telah menjadi persoalan multi-dimensional, sehingga diperlukan kerja sama berbagai pihak agar praktik ini tidak berkesinambungan. Kendati kita memiliki UU No 21/2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU PTPPO), namun implementasinya masih diragukan.

Menurut Direktur Urusan Pengawasan dan Pencegahan Perdagangan Manusia Departemen Luar negeri AS, Luis CdeBaca, di Jakarta (29/7/2009, kompas.com), eksploitasi pekerja yang diduga dilakukan Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) masih menjadi masalah serius walaupun aparat kepolisian dan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi telah berkali-kali melakukan operasi penutupan PJTKI yang terbukti berbuat curang kepada pekerja Indonesia di luar negeri.

Prinsip terakhir dari CEDAW adalah kewajiban Negara. Artinya Negara harus memastikan realisasi hak-hak perempuan sehingga perempuan mempunyai akses/kesempatan. Negara tidak saja menjamin apa yang tertera dalam pasal-pasal CEDAW, tetapi juga mengimplementasikannya. Tidak saja secara de jure (berdasarkan hukum), namun juga secara de facto (berdasarkan fakta yang terjadi di masyarakat).

Jika kita membandingkan antara prinsip CEDAW termasuk hal-hal didalamnya yang menjadi perhatiannya dengan kenyataan di lapangan, maka kinerja pemerintah jelas masih menjadi PR besar bagi masyarakat umumnya, dan pemerintah khususnya. Dalam demokrasi, relasi antara rakyat dan pemerintah dalam bentuk dukungan, oposisi, saran, kritik dan skeptis merupakan detak nafas realisasi cita dan harapan rakyat.

Demokrasi yang menyertai HAM, sejatinya adalah rakyat itu sendiri. Demokrasi bukanlah pemerintah dalam arti: presiden, dewan legislatif atau yudikatif -yang disebut sebagai triaspolitika pilar demokrasi. Jika triaspolitika tak sejalan dengan cita dan harapan rakyat, maka layak untuk direformasi bahkan digulingkan. Penggulingan pemerintahan tanpa kekerasan dalam demokrasi sama sahnya dengan pemilihan umum menyusun pemerintahan. Sebaliknya, kekerasan dalam demokrasi meski pun atas nama pemerintah, adalah kriminal.

Jika SBY masih tidak menggubris permasalahan perempuan, bukan tidak mungkin, seluruh elemen masyarakat bersatu, berdemonstrasi menggulingkan SBY untuk mimpi bersama: tegaknya HAM di Indonesia. Sama halnya aksi demonstrasi hari anti korupsi sedunia tanggal 9 Desember 2009 yang sebagian pihak menginginkan SBY untuk mundur dari kursi kepemimpinan. []

dimuat di situs jurnalperempuan.com
http://www.jurnalperempuan.com/index.php/jpo/comments/pantau_sby_dengan_cedaw/

Comments