Roehana Koedoes

Jurnalperempuan.com-Jakarta. Mariana Amiruddin, Direktur Ekskutif Yayasan Jurnal Perempuan, kepanasan -dalam arti sebenarnya dan tak sebenarnya. Sebenarnya, karena mulai di pertengahan diskusi, hampir tak pernah ia berhenti mengipasi diri dengan buku kecil di tangannya. Sedangkan arti tak sebenarnya, karena ia merasa terganggu oleh pernyataan Fitriyanti, penulis biografi Siti Roehana Koedoes, yang diterbitkan oleh Yayasan Jurnal Perempuan. Keduanya saling mengemukakan pendapatnya dalam diskusi bertema “Roehana Koedoes: Ibu Pers dan Pendidikan Indonesia” di CafĂ© Newseum Jakarta, Minggu (20/12) malam.

Fitri mengemukakan masalah perempuan itu tak terlalu rumit; cuma kesempatan. Ia menyayangkan perempuan sekarang banyak yang tak memasak, menjahit, tak mau mengurus-menyusui anak dan yang lainnya, karena terlalu sibuk bekerja. Ia menyerukan kepada perempuan agar jangan melupakan area domestik yang menurutnya tempat utama bagi perempuan. Bagi Fitri kemandirian -dengan tak melupakan area domestik- adalah semangat yang diperjuangkan Roehana.

Mariana menanggapi dengan mengutip penggalan nyanyian perempuan di tahun 1928 yang juga pernah dikutip Roehana dalam tulisannya. "Perempuan dipandang seperti perhiasan rumah tangga dan menjadi kepalanya koki../ memilih duduk diam sambil makan angin…" Lagu itu merupakan sindiran terhadap para feodal priyayi. Artinya domestifikasi perempuan -sebetulnya- tercipta dari feodalisme. Bagi Mariana, ini kritik Roehana terhadap sikap patriarki yang menjadikan perempuan ibarat “ayam boiler;” tak banyak bergerak, mempercantik diri untuk dinikmati di area domestik. Padahal istri dan suami punya hak dan tanggung jawab setara, baik di area publik maupun domestik.

Banyak yang belum mengetahui Siti Roehana Koedoes. Itu pun dialami sebagian peserta yang hadir. “Merek keripik sanjai, kali ya?!” celetuk seorang peserta diskusi, yang baru mendengar nama Roehana Koedoes.

Hadir pula pembicara lain dalam diskusi memperingati kelahiran Siti Roehana Koedoes pada 20 Desember 1884, di Kotogadang, Sumatera Barat. Imelda Sari memaparkan, salah satu hal penting dari semangat perjuangan Roehana adalah kecintaannya kepada bangsa di atas daerahnya, Kotogadang. “Cintailah Negerimu,” Imelda mengutip perkataan Reohana di awal pemaparannya. Bagi ketua National Perss Club ini, meskipun nilai etnisitas begitu mengakar pada masyarakat Minang, namun dialektika kebangsaan tumbuh kuat. Tak heran jka Minang melahirkan tokoh nasionalis seperti, Agus Salim, Emil Salim, Sutan Syahrir dan tentu saja Roehana Koedoes.

Pemaparan Imelda selaras dengan semangat dari diskusi ini. Aroma nasionalisme sudah tercium kuat saat Sigrid Minerva Boni Avibus berpuisi tentang Indonesia. Seluruh peserta larut menyanyikan lagu “Indonesia Raya.” Pemilik dan pengelola Newseum, Taufik Rahzen berpendapat, Roehana Koedoes penting untuk dijadikan model perjuangan perempuan Indonesia. Bukan hanya karena Roehana telah banyak berkontribusi, tapi juga telah mempraktekkan perjuangan yang konsisten dan berkelanjutan.
“Tak mudah mengelola perjuangan selama 88 tahun. Ini yang tak dimiliki Kartini,” lengkap Taufik.

Hadir beberapa penulis kondang seperti Remy Silado, Ayu Utami, dan Taufik Rahzen. Acara ditutup dengan pemberian buku “7 Ibu Bangsa”, dan “7 Bapak Bangsa” yang diberikan oleh Juneydi Juni, cucu Roehana Koedoes, kepada ketiga pembicara. []

USEP HASAN S.
http://www.jurnalperempuan.com/index.php/jpo/comments/ibu_bangsa_reohana_koedoes/

Comments