Gus Dur, Seorang Feminis?

Oleh USEP HASAN SADIKIN

“Islam Indonesia adalah Islam yang kiyai/ulama-nya boleh salaman dengan perempuan.”

Pernyataan itu pernah dikemukakan KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam salah satu pidatonya—penulis mengetahuinya dalam acara Barometer di SCTV, Rabu malam (6/1/2010). Kita mengetahui bahwa salah satu pemikiran Gus Dur yang sering digulirkan adalah pribumisasi Islam. Gus Dur selalu membedakan antara, Islam secara nilai/semangat, dengan konteks Arab dan Indonesia. Ketika Gus Dur ditanya, “apa itu Islam Indonesia?” Dengan celotehnya yang khas, Gus Dur menjawab melalui pernyataan di atas.

Pernyataan itu bisa disimpulkan sebagai ekstrak dari proyek pribumisasi Islam Gus Dur. Bagi Gus Dur, Islam harus bisa dibedakan, mana yang memang Islam (dalam arti nilai/semangat); dan mana yang budaya Arab, sebagai konteks. Melalui banyak tulisannya, Gus Dur menjelaskan bagaimana nilai/semangat Islam bisa sesuai dengan kemajemukan budaya Indonesia. Salah satunya cara Islam bersikap terhadap perempuan.

Saat Gus Dur menjadi presiden, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Tingkat I Sumatra Barat, mengeluarkan peraturan daerah yang melarang perempuan untuk keluar rumah tanpa mahram (suami atau sanak keluarga yang tidak boleh dikawininya), setelah pukul 09.00 malam. Gus Dur lalu bersikap dalam sidang kabinet dengan melahirkan keputusan: Tidak diperkenankan adanya peraturan daerah atau produk-produk lain hasil DPRD I atau DPRD II yang berlawanan dengan Undang-Undang Dasar.

Bagi Gus Dur, Islam tak membedakan peran publik perempuan dan laki-laki. Perbedaan laki-laki dan perempuan hanyalah bersifat biologis, tidak bersifat institusional/kelembagaan sebagaimana disangkakan banyak orang dalam literatur Islam klasik. Jika ada ayat atau pun hadis yang diskriminatif terhadap perempuan, harus dipahami secara cermat, dalam kapasitas; apakah Muhammad sebagai salah satu orang Arab dengan segala setting kulturalnya, atau apakah Muhammad sebagai Rasul yang membawa pesan-pesan Ketuhanan.

Secara substansi apa yang disampaikan Gus Dur juga disampaikan oleh beberapa tokoh atau intelektual Islam lain. Tapi, sikap pun penjelasan seorang Gus Dur ini amat penting. Karena, Gus Dur tak hanya lahir dan besar di tengah lingkungan Nahdathul Ulama (NU) -sebagai Ormas terbesar di Indonesia. Melainkan Gus Dur juga mencapai pengakaran pikir/rasa terhadap tradisi Islam dari segi intelektual dan emosional. Artinya, kredibilitas dan kualitas Gus Dur diakui mewakili pemahaman (masyarakat) tradisional religius (Islam).

Di samping kredibilitas dan kualitasnya, Gus Dur merupakan tokoh yang bersikap atas dasar pemikirannya secara tajam, tegas, dan “apa adanya”. Tak seperti tokoh lainnya, Gus Dur tak mau terjebak dalam bahasa yang normatif dan diplomatis. Gus Dur tak takut namanya rusak dan dibenci oleh sebagian masyarakat, bila bersikap atas dasar kebenaran(nya).

Yang masih hangat, Gus Dur pernah bergabung bersama kelompok perempuan, untuk aktif menolak rancangan UU Pornografi (UUP). Menurut Nursyahbani Karjasungkana, “Beliau menolak seksualitas perempuan dijadikan sebagai alat politik.” Setidaknya sampai akhir hayat Gus Dur, UUP masih menuai kontroversi dan masih dalam proses Judicial Review di Mahkamah Konstitusi— Dewi Setyarini, jurnal perempuan online, Kamis (7/1/2010).

Bagi penulis, meninggalnya Gus Dur merupakan kehilangan satu lokomotif HAM dan kebebasan. Bagi kita yang menumpang dalam gerbong-gerbong menuju peradaban demokratis, terpaksa harus pindah untuk mencari lokomotif lain. Sungguh disayangkan, karena yang hilang adalah lokomotif yang selalu konsisten melaju dengan daya tampung sangat banyak.

Tak banyak tokoh seperti Gus Dur. Ia tak hanya kuat dan diterima dalam tradisi(onal) Islam. Pemikirannya pun berpetualang dengan dahaga luar biasa kepada wawasan “sekuler”. Gus Dur tak hanya bisa berdiri di antara ruang tradisional dan modern, ia juga bisa masuk ke dalam dua ruangan yang mengapitnya, dan bebas bergerak di dalamnya. Mungkin, ini yang dinamakan sebagai insan kamil. Meminjam penjelasan Nurcholis Madjid, insan kamil adalah manusia yang memiliki ide yang baik, pikiran yang otentik, bagaikan “pohon yang baik”, “akarnya menghujam di dalam bumi”, merupakan kesinambungan dengan masa lalu, absah dan valid (pemikiran yang memiliki akar pada tradisi). Selain itu, “dahan-dahannya yang menjulang tinggi kelangit”, mampu memahami zaman saat ini.

Dari karakter tersebut, Gus Dur yakin berkata dan bersikap untuk tidak hanya menerima Pancasila dan Demokrasi, tapi juga bisa mengintimkan keduanya bersama Islam. Kata dan sikapnya selalu memungkinkan pertemuan antara kalangan Islam dan di luar Islam.

Dalam “Islamku, Islam Anda, Islam Kita”, Gus Dur menceritakan tentang pengalaman dirinya mengikuti jalan pikiran kaum ekstrimis yang menganggap Islam sebagai alternatif terhadap pola pemikiran “Barat.” Hal ini seiring dengan kesediaan Gus Dur turut serta dalam gerakan lkhwanul Muslimin di Jombang -dalam tahun 50-an. Kemudian Gus Dur juga mempelajari secara mendalam Nasionalisme Arab di Mesir pada medio 60-an, dan Sosialisme Arab (al-isytirâkiyyah al-’arâbiyyah) di Baghdad. Sekembali di tanah air -di tahun 70-an- Gus Dur melihat Islam sebagai jalan hidup (syarî’ah) yang saling belajar dan saling mengambil berbagai ideologi non-agama, serta berbagai pandangan dari agama-agama lain.

Tampaknya, sifat Gus Dur yang selalu terbuka dan ingin memahami banyak yang hal membuat Gus Dur memiliki perhatian terhadap isu perempuan. Masih menurut Nursyahbani, saat Gus Dur menjadi presiden, pemerintahannya mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 mengenai Pengarusutamaan Gender (PUG), sebuah strategi yang dilakukan secara rasional dan sistematis untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender dalam sejumlah aspek kehidupan manusia melalui kebijakan dan program pembangunan—Dewi Setyarini, jurnal perempuan online.

Kini, jasad Gus Dur telah tiada. Dari kontribusi pikir/sikap-nya yang masih ada, apakah Gus Dur bisa dinilai sebagai feminis? Yang pasti, Gus Dur tak pernah mengaku sebagai feminis. Di akhir hayatnya ia berpesan pada keluarganya, agar batu nisannya dituliskan dengan kalimat: “di sinilah dikubur seorang pluralis”. Ya, Gus Dur lebih “suka” dirinya disebut sebagai pluralis. Tapi, karena seorang pluralislah, Gus Dur bisa menerima dan mendukung perjuangan feminis(me). []

http://www.jurnalperempuan.com/index.php/jpo/comments/gus_dur_seorang_feminis/

Comments