Defenisi Film Perempuan di V Film Festival 2010

Jurnalperempuan.com-Jakarta. Bagian lain yang coba disuguhkan V Film Festival (VFF) 2010 yang berlangsung sejak tanggal 22-27 April 2010 adalah diskusi “Film, Tubuh Perempuan, dan Sensor,” yang digelar Kamis (22/4) sore di serambi salihara. Diskusi yang membicarakan sebuah penjelasan verbal film perempuan yang menyertai penyensoran.

Sensor di dunia film banyak “menggunting” tubuh perempuan. Film dokumenter karya Ucu Agustin, “Perempuan: Kisah di Balik Guntingan” (Kalyana Shira, 2008) menampilkan adegan-adegan penyensoran dalam “Perempuan Punya Cerita (Kalyana Shira, 2008). Dalih moralitas adat, karakter bangsa, dan agama masih digunakan sebagai alasan dilakukannya sensor terhadap sebuah film. Mengapa tubuh perempuan sering menjadi sasaran sensor dalam film?
Diskusi menghadirkan dua pembicara; Novi Kurnia, dosen Jurusan Komunikasi Fisipol UGM dan Intan Paramadhita, mahasiswa doktoral di Departement Cinema Studies, New York University, Amerika Serikat. Jalannya diskusi dua pembicara yang mumpuni tersebut dipandu oleh Veronika Kusumaryati, pengkaji dan kurator film yang juga bertindak sebagai progamer VFF’10.

Intan memulai pemaparan dari sejarah penyensoran dan lembaga sensor. Dahulu, di era Orde Baru (Orba), sensor bertujuan lebih kepada stabilitas negara. Sehingga, jika film mengandung adegan bermuatan politik yang berbeda dengan Orba, atau menyinggung SARA, atau yang menggambarkan seksualitas berbeda, akan disensor; karena mengancam stabilitas negara. Orba melalui UU no. 8/1992 menetapkan bahwa film sebagai media komunikasi massa (pandang dengar) mempunyai peranan penting dalam pengembangan budaya bangsa untuk peningkatan ketahanan dan pembangunan nasional.

Intan meneruskan paparannya, sensor dan seksualitas Pasca Orba berubah seiring demokratisasi. Tapi, institusi sensor masih bertahan. Kali ini menyertai konservatisme agama. Padahal bagi Majelis Film Indonesia, film merupakan karya seni dan medium menyampaikan informasi. Sehingga sensor dinilai membatasi hak warga negara untuk berkomunkiasi dan mendapatkan informasi. Logika sensor menyatakan bahwa representasi seksualitas sama dengan pornografi. Karena logika sensor seperti inilah film “Perempuan Punya Cerita” dianggap sama dengan Pornografi oleh lembaga sensor. Padahal seksualitas merupakan realitas nasional yang diperkaya dengan perspektif perempuan. Seksualitas bukan hanya pornografi dan moralitas, tapi wacana kompleks yang mempertaruhkan hak seksual dan reproduksi, khususnya perempuan.

Novi lebih banyak menjelaskan defenisi film perempuan. Ada beberapa defenisi film perempuan, yaitu woman’s film, women’s film, women’s cinema dan feminist film. Isitlah woman’s film ini sering dikaitkan dengan film Hollywood klasik tahun 1930-an hingga 1940-an. Dalam woman’s film selalu terdapat ciri di mana (karakter) perempuan dalam film selalu diposisikan sebagai pusat perhatian film atau bahkan menjadi pusat perhatian dunia.

Bertolak belakang dengan woman’s film sebagai sebuah genre film yang dominan, terdapat istilah women’s film sebagai sebuah genre film avant-garde atau eksperimental yang dipakai pada tahun 1980-an. Sinema tandingan ini memberi ruang lebih luas terhadap perempuan, terutama ketika para pekerja film perempuan merasa perlu untuk memberikan wacana tandingan melalui karya mereka sebagai upaya mengurangi dominasi naratif seniman Hollywood yang cenderung memberikan representasi yang stereotip terhadap perempuan. Dalam konteks ini women’s film disebut juga women’s cinema. Women film adalah teknologi gender yang dibuat oleh perempuan dan ditujukan untuk perempuan.

Sedangkan feminist film adalah film yang merepresentasikan perbedaan seksual dari sudut pandang perempuan yang menunjukkan kesadaran kritis dari relasi kekuasaan yang tak simetris antar jenis kelamin. Sudut pandang ini menilai tak semua perempuan membuat film feminis, sebaliknya lelaki bisa membuat film feminis.

Usep Hasan Sadikin

Comments