Musdah Mulia Berbicara Soal Nikah Siri

Jurnalperempuan.com - Jakarta. Kebetulan dua buah acara talkshow di televisi menampilkan Prof. Dr. Siti Musdah Mulia dalam topik yang sama, yaitu soal nikah siri. Acara yang pertama bertajuk ‘Jurnal Perempuan’ merupakan kerjasama antara Yayasan Jurnal Perempuan dan Qtv (sebuah stasiun TV kabel). Talkshow kedua merupakan, program televisi baru ‘Indahnya Islam’ (II) yang ditayangkan di Trans 7.

Kedua acara talkshow ini mengangkat berbagai persoalan perempuan. ‘Jurnal Perempuan’ mengangkat berbagai macam topik perempuan berdasarkan pengalamannya bergulat dengan isu perempuan selama ini dari perspektif kesetaraan gender, sementara acara ‘Indahnya Islam’ mengangkat berbagai materi keislaman berdasarkan permasalahan yang sedang hangat di masyarakat. Acara ‘Indahnya Islam’ dibawakan oleh host kondang Tukul Arwana pembahasan dijalankan secara santai, tapi diharapkan penuh muatan.

Musdah Mulia adalah peraih penghargaan "Women of the Year 2009" dari Il Premio Internazionale La Donna Dell ‘Anno (International Prize for the Woman of the Year) 2009. Dalam membahas nikah siri, menurut Musdah, hanya di Indonesia saja, sebagai negara hukum, pelaku nikah siri dibiarkan atau tidak dipidanakan. Di dalam negara hukum, pernikahan harus diketahui (pemerintah) negara.

Musdah menambahkan, dahulu, nabi menghimbau pada masyarakat Arab agar pernikahan itu harus diumumkan. Maksud dari ajakan nabi itu adalah ikatan pernikahan harus diakui oleh masyarakat. Di masa modern, kala masyarakat semakin individual, aspek legalitas sebagai dasar ikatan pernikahan, menjadi ditekankan. Sehingga, pencatatan merupakan salah satu rukun nikah.

Kartu Keluarga (KK) beserta surat nikah harus dimiliki pasangan rumah tangga. Dalam pernikahan siri, absennya KK dan surat nikah akan memberatkan perempuan dalam menjalankan kehidupan rumah tangga, terutama saat ditinggal oleh suami. Banyak hak-hak yang hilang dari perempuan yang menikah siri, anak-anak merekapun tidak memiliki kedudukan hukum yang kuat sehingga nantinya turut menjadi korban, misalnya tidak mendapat bagian nafkah dari ayahnya atau kehilangan hak waris. Banyak sudah kasus-kasus nyata perempuan yang dirugikan karena nikah siri ini sehingga patut kiranya ada semacam sanksi bagi mereka yang tidak mencatatkan pernikahan ke Negara. Namun saksi tersebut hendaknya adalah sanksi administratif, yang didahului dengan perbaikan mekanisme dan fasilitas Negara agar masyarakat semakin mudah mencatatkan pernikahan mereka. Karena ada banyak kasus dimana masyarakat sulit untuk mencatatkan pernikahan mereka misalnya karena kantor atau pejabat pencatat letaknya jauh dari tempat mereka tinggal. Ada juga kasus-kasus pada masyarakat adat dimana agama mereka tidak sesuai dengan enam agama yang diakui oleh pemerintah sehingga menyulitkan pencatatan pernikahan mereka. Inilah situasi mendesak bagi Negara agar memperbaiki terlebih dahulu mekanisme birokrasinya.***

Kontributor Usep Hasan Sadikin

Comments