Pluralisme Kartini

“Kita dapat menjadi manusia sepenuhnya, tanpa berhenti menjadi wanita sepenuhnya.”

(Kartini—suratnya pada Ny. Abendanon 8/1900)

Suatu hari di dalam bus kota perjalanan dari Kalibata ke Blok M, seorang remaja perempuan mempersilahkan seorang laki-laki berusia sekitar 45 tahun dengan tas gendong dan plastik hitam yang dibawanya untuk menempati bangkunya. “Makasih mbak,” ungkap laki-laki itu disertai seringai senyumnya. Remaja perempuan itu menikmati perjalanan kembali, berdiri di antara laki-laki.

Kejadian itu merupakan gambaran jelas, bagaimana kesetaraan gender berlangsung dalam ruang publik. Di tengah himpitan penumpang bis kota itu, telah terjadi demonstrasi nyata tentang penempatan kedudukan manusia dalam bingkai egalitarian. Perempuan ditempatkan bukan karena lemah, melainkan karena dia mampu. Berdasarkan kemampuan, dia setara dengan rekan hidupnya, laki-laki. Kemandirian dan sikap berbagi layak dilakukan siapa saja, baik laki-laki maupun perempuan, yang dinilai membutuhkan. Atau -jika saya boleh membuat aksioma- perempuan boleh mempersilahkan laki-laki duduk sebagaimana laki-laki mempersilahkan perempuan duduk -tanpa perlu alasan.

Kejadian tersebut jusru bertentangan dengan yang terjadi dalam suatu perayaan hari Kartini tahun 2008. PT Kereta Api Indonesia (KAI) mengistimewakan penumpang wilayah operasi Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi (Jabodetabek). Sehingga di hari yang memperingati sosok pahlawan perempuan, Kartini -meski tak lagi dijadikan sebagai hari nasional, penumpang laki-laki harus memprioritaskan perempuan untuk duduk di tempat duduk yang tersedia dalam gerbong kereta. Tak jarang muncul kesimpulan jika pada hari itu, laki-laki tak mempersilahkan perempuan duduk berarti ia tak menghormati perempuan.

Kartini VS “Kartini”

Seorang gadis harus perlahan-lahan jalannya, langkahnya pendek-pendek, gerakannya lambat seperti siput. Bila berjalan agak cepat, dicaci orang, disebut kuda liar.

…Peduli apa aku dengan segala tata cara itu, segala peraturan, semua itu bikinan manusia, dan menyiksa diriku saja. Kau tidak dapat membayangkan bagaimana rumitnya etiket di dunia keningratan Jawa itu.

Tapi sekarang mulai dengan aku, antara kami (Kartini, Roekmini dan Kardinah) tidak ada cara lagi. Perasaan kami sendiri yang akan menentukan sampai batas-batas mana cara liberal itu boleh dijalankan.


(Surat Kartini pada Stella, 18 Agustus 1899)

Bagi sebagian kita yang menaruh perhatian terhadap isu perempuan menyadari bahwa laki-laki telah memegang kendali ranah domestik dan publik perempuan. Inilah yang kemudian disebut sebagai budaya patriarki. Budaya patriarki yang membelenggu perempuan untuk menjadi bebas. Bagi mereka kendali itulah yang harus dilawan.

Ini bukan pekerjaan yang mudah dan sebentar. Melawan kendali tersebut bukan saja menghadapi sosok laki-laki. Melainkan para perempuan berpandangan laki-laki yang tak sedikit pula yang turut melanggengkan patriarki. Ini bisa dicek melalui pengamatan dan obrolan singkat di masyarakat.

Contoh pertama. Dalam sebuah bis kota ada perempuan muda yang dipersilahkan menduduki bangku yang sebelumnya diduduki laki-laki, sehingga dalam perjalanan selanjutnya laki-laki rela terus berdiri. Kita bisa bertanya kepada perempuan itu, apakah dia mampu berdiri selama perjalanan? Jika dia mampu, apakah dia nyaman dinilai oleh laki-laki sebagai makhluk yang lemah, sehingga perempuan lebih layak duduk dibandingkan laki-laki?

Contoh kedua. Sepasang suami-istri (pasutri) yang baru saja mempunyai anak. Siapa yang harus mengurus anak di dalam rumah? Memang, peran menyusui tak bisa digantikan suami -meski sekarang teknologi telah berkembang, sehingga si bayi tetap bisa mendapat ASI meski ditinggal oleh sang ibu. Tapi, apakah dalam perjalanan rumah tangga ke depan, istri mau bernegosiasi dengan suaminya agar ada pembagian hari, misalnya pada hari-hari tertentu ia bisa bekerja di luar rumah dan suami lebih banyak di rumah mengurus anak?

Kartini boleh saja tak setuju terhadap adat (feodal) Jawa. Perempuan yang dijuluki “Trinil” -karena karakter kecilnya yang sangat aktif- ini bisa menolak etiket masyarakat elite yang (menurutnya) sangat membatasi. Faktanya, ada, dan tak sedikit, perempuan yang nyaman dan terus melestarikan budaya ningrat patriarki.

Pada tradisi peringatan Hari Kartini, ragam beda pandangan terhadap Kartini sebagai prototipe perempuan, atau lebih khususnya perempuan Indonesia, bisa menyeruak. Layaknya teks suci agama, surat-surat Kartini dikutip untuk menjadi dasar pendapat atau menguatkan pembenaran pandangan.

Kartini meyakini semua manusia berhak mendapat perlakuan yang sama, karena semua manusia sederajat. Sebuah prinsip yang dikenalnya dari semboyan Revolusi Perancis: liberte, egalite, fraternite. Tapi Kartini pun menuliskan bahwa:

“...bukan sekali-sekali karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya. Kewajiban yang diserahkan alam (sunatulloh) sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama.

(Surat Kartini pada Prof. Anton dan Nyonya, 4/10/1902).

Ketika dewasa, Kartini pun harus mau menikah dengan pilihan orangtuanya seorang Bupati Rembang yang sudah beristri tiga.

“Bagaimana sepatutnya membuat kebajikan yang sebesar-besarnya bagi manusia? Apakah dengan mengabaikan diri sendiri ataukah dengan mewujudkan kehendak diri sendiri? Apakah harus mengundurkan diri demi dua orang yang sangat dicintai, ataukah mewujudkan kehendak diri sendiri berbakti kepada keluarga besar masyarakat?”

(Surat Kartini pada Prof. Dr. Anton dan Nyonya, 4 Oktober, 1902)

Kartini “takluk” dengan tradisi patriarki, mencari argumen positif -atau malah pembenaran?- bahwa “kerelaan” pahlawan yang mati muda itu adalah bentuk sikap berbakti terhadap orangtua.

Fakta pluralisme Kartini perlu ditarik benang merahnya. Sehingga fakta universalnya -jika yang universal itu ada- adalah: peran perempuan dan laki-laki dalam ranah domestik dan publik dijalankan atas dasar negosiasi dialog yang disepakati bersama. Sehingga, istilah “feminisme” sebagai kata ganti “keadilan,” memang merupakan sebuah paham ber-sifat/sikap yang beradab. Sebagaimana anda boleh menawarkan perempuan duduk, tapi anda jangan memaksanya dan menilai semua perempuan harus duduk (karena dia lemah), sementara laki-laki harus mengalah dengan kekuatannya untuk berdiri. Anda boleh berpandangan perempuan lebih baik di rumah, tapi sebelum menerapkannya tanya dulu: apakah dia mau, atau tidak? ***

Usep Hasan S

Comments