Jacques Lacan tentang Seksualitas

Jurnalperempuan.com-Jakarta. Seri Kuliah Umum Salihara di bulan Juni mengangkat tema seksualitas. Setelah dua minggu sebelumnya membahas filsafat Simone De Beauvoir dan Michel Foucault tentang seksualitas, di minggu ketiga, Sabtu (19/6), filsuf yang dipilih untuk membahas seksualitas adalah Jacques Lacan, seorang psikoanalis Perancis. Kali ini, doktor bidang filsafat STF Driyakara Robertus Robert, dipilih untuk membahas “Jacques Lacan tentang Seksualitas”.

Robert memulai pembahasannya dengan mengklarifikasi pemikiran Lacan yang selama ini disalahpahami oleh banyak pihak. Lacan yang menggunakan psikoanalisa telah dinilai anti feminis bahkan misoginis, sebagaimana psikoanalisasi Freud. Padahal, bagi alumnus (S1) Sosiologi UI ini, Lacan justru berupaya mengukuhkan suatu pendasaran baru bagi posisi perempuan. Bagi Lacan, perempuan merupakan subyek par excellent.


Lacan merupakan satu-satunya yang menafsirkan kisah “Tragedi Medea” secara positif. Sebagai seorang perempuan, istri, dan ibu, Medea telah berperan sesuai keinginan suaminya, Jason. Tapi, peran tersebut malah dibalas Jason dengan poligini (suami yang beristrikan lebih dari satu). Medea kemudian membalas sakit hatinya dengan cara memilukan bagi Jason, yaitu membunuh anak-anaknya dan istri kedua Jason.

Pada titik pembalasan itulah, menurut Lacan, perempuan telah melampaui dirinya dari sistem simbol. Melalui tindakan itu, Medea menjejakkan sebuah contoh diri perempuan yang menanggalkan semua sistem simbol; perempuan, istri, dan ibu. Sehingga, kedirian (subjek) -yang berusaha utuh- adalah tindakan; bukan yang esensi dari “perempuan” atau simbol lainnya.

Selain itu, Robert pun menjelaskan, Lacan, dengan istilah seksuasi -bukan seksualitas- telah menggugat pertautan langsung antara laki-laki dan perempuan dengan anatomi kelamin. Laki-laki tidak serta merujuk pada seseorang dengan penis, sebagaimana perempuan merujuk pada seseorang dengan vagina.

Psikoanalisa Lacan ini menarik jika diletakkan pada konteks relasi individu dengan pemerintah di suatu negara. Bagi Robert, Lacan menjadi penting bagi yang tertindas atau peduli pada nasib ketertindasan yang lain dari simbol-simbol dalam kehidupan bernegara. Identitas laki-laki dan perempuan yang dibakukan pada kartu tanda penduduk (KTP) adalah bukti kegagalan menangkap realitas seks. Yang mengalami diskriminasi dari keadaan tersebut adalah mereka yang waria, gay, lesbian, biseksual atau lainnya.

Pada konteks yang lebih luas, Robert menambahkan bahwa kejenuhan seseorang dalam proses demokrasi adalah karena tidak menyertakan psikoanalisa Lacan. Bagi Master Political Thought dari University of Birmingham ini, masyarakat masih terjebak oleh simbol 'umat' atau 'warga', sehingga gagal memenuhi hak-hak para individu unik yang terhampar, yang menyertai etika tindakannya masing-masing.


Usep Hasan Sadikin

Comments