Julia Kristeva: Mengembalikan Tubuh Maternal, Membela “yang Lian”

Jurnalperempuan.com-Jakarta. Seri Kuliah Umum Salihara terakhir pada Sabtu (26/06), dihadiri dosen fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Christina Siwi Handayani untuk membahas “Julia Kristeva tentang Seksualitas.”

Julia Kristeva adalah seorang peneliti, akademisi, filosof, kritikus sastra, ahli psikoanalis, dan novelis. “Kristeva dinilai (juga) sebagai feminis karena pemikirannya telah ‘mengembalikan’ tubuh maternal kepada perempuan,” ujar Christina. Sebelumnya, oleh Freud, tubuh maternal telah mengalami reduksi makna sebagai objek hasrat laki-laki.

Selain itu, tubuh maternal telah mengalami
abjection (abjeksi) yang menghasilkan makna kotor, jijik, kurang dan hina (misalnya dengan stigma menstruasi dan tak memiliki penis). Mengembalikan tubuh maternal oleh Kristeva diartikan sebagai wacana “baru” yang mengakui kepentingan (strategis) fungsi ibu dalam pengembangan subjektivitas individu dan budaya masyarakat. Masyarakat, yang (dalam ruang waktu Kristeva) didominasi wacana agama (Katolik), memegang keyakinan terhadap (perempuan) Maria sebagai ibu (suci) pengasuh, dan pemberi ilmu pengetahuan.

Penjelasan pemikiran Kristeva tersebut, menjawab pertanyaan bagi sebagian kita yang perhatian terhadap ketertindasan perempuan dan “yang Lian” lainnya. Christina menambahkan penjelasannya dengan istilah “fase chora” dan “fase abjeksi”.

Fase Chora, pada usia bayi 0 s/d 6 bulan, adalah fase manusia yang melekat pada tubuh maternal. Ia diberi nutrisi (air susu ibu dll.), yang diperluas Kristeva sebagai optimalisasi cinta mengasuh dan memberikan ilmu pengetahuan. Di sinilah semiotik (bukan simbolik) berperan dalam pembentukan subjek (bayi) manusia. Rentang waktu 0 s/d 6 bulan itu merupakan fase prasimbolik kehidupan lisan, di mana bayi mengalami (fungsi) ibu melalui gerakan tangan, vokal beserta iramanya. Dengan pemaknaan strategis fase chora (tubuh maternal) ini, kita akan menghargai (tubuh) perempuan, sehingga akan menghilangkan diskriminasi terhadap perempuan.

“Tubuh maternal (dengan fase choranya) di sini, bukanlah dalam arti fisik biologi (perempuan), melainkan fungsi asuh yang strategis. Karena strategis, ini bisa dilakukan juga oleh laki-laki (tak hanya/harus perempuan),” lengkap Christina.

Fase abjeksi adalah ide yang berkaitan dengan kekuatan psikologis utama berupa penolakan, yang diarahkan terhadap figur ibu. Ide ini fokus pada penolakan sebagai sebuah penjelasan untuk penindasan dan diskriminasi. Masyarakat umum memahami bahwa, anak (bayi) tak selamanya melekat pada tubuh maternal. Pada usia 4 s/d 8 bulan, anak mengalami masa penolakan, dipisahkan dari tubuh ibu.

Sebagian dari anak-anak itu, mengalami pemaksaan dalam proses pemisahan dari tubuh maternal. Sebagian besarnya, dihadapkan pada stigmaisasi tubuh maternal yang kotor, jijik, kurang dan hina. Pengalaman pemaksaan dan stigmatisasi ini, menjadi endapan bawah sadar, yang dewasa nanti, akan dipraktekan untuk melakukan pemaksaan, penyiksaan, dan diskriminasi terhadap perempuan dan yang berbeda dengannya; “yang Lian”.

Fase chora dan abjeksi ini menandakan bahwa yang awal adalah hukum maternal, bukan paternal. Karena awalnya manusia mengalami fungsi ibu. Fungsi ibu (chora dan abjeksi) yang menghadirkan pengalaman bagi manusia, yang ditekankan oleh Kristeva, dinamakan fase semiotik. Keseluruhan fase ini merupakan pengalaman dari pengasuhan (fungsi ibu) melalui pemberian nutrisi (asi, dan sebagainya), gerakan tangan, vokal beserta iramanya.

“Ini yang membuat pemikiran Kristeva berbeda dengan Lacan,” ujar Christina. Di Seri Kuliah Salihara sebelumnya (“Lacan tentang Seksualitas”), Lacan menjelaskan, awalnya manusia mengalami fase simbolik. Bagi Lacan, manusia telah dilekatkan oleh masyarakat dengan simbol-simbol. Sedangkan bagi Kristeva, fase simbolik hadir setelah fase semiotik (pengalaman pembentukan diri).

Dan, pada fase simbolik, yang lebih berperan adalah (fungsi) tubuh paternal (ayah), karena terkait dengan bahasa. “Jadi (menurut Kristeva), yang ada 'hukum mama' dahulu, baru 'hukum papa'. Pengalaman dulu, baru bahasa,” tegas Christina.

Usep Hasan Sadikin


Comments

Unknown said…
URL nya kuq tidak bisa dibuka ya.. Page not Found..
@usephasans said…
Pratiwi, maaf. Link jurnalperempuan.com sudah tak ada. Situs itu diganti menjadi www.jurnalperempuan.org dan tak menyertakan tulisan2 lama. Terima kasih sudi menghampiri penuturan ini. :)