Minggu Pagi untuk TKW Indonesia

“Semua orang ingin berbuat sesuatu untuk orang lain.”

Kalimat itu sepertinya akan menghentak banyak dari kita saat menonton “Minggu Pagi di Victoria Park” (MPVP). Sebuah curahan hati muncul dari obrolan dua orang tenaga kerja wanita (TKW) di awal film. Menjawab kita yang bingung terhadap pilihan mereka yang kerja sebagai buruh migran. Petuah klasik “hujan batu di negeri sendiri lebih baik dari pada hujan uang di negeri orang,” tak berlaku bagi kita yang ingin memberikan manfaat terhadap sesama semasa hayat. MPVP tak sekedar menawarkan hal baru bagi nomenklatur perfilman Indonesia. Yang baru ditawarkannya pun merupakan hal penting. Ini terkait hak hidup manusia. Bertumpuk identitas menyerta di dalamnya. Dari identitas diri, seks/gender, keluarga, masyarakat, etnisitas, budaya, hingga negara.

Tapi peliknya permasalahan TKW dalam MPVP, renyah dinikmati. Terasa asyik di perlintasan budaya pop, MPVP berjalan lincah tak mengerutkan kening. Penonton akan sangat mungkin memahami permasalahan TKW, tapi mengetahuinya tak membuat pusing. Berbeda dengan derita pahlawan devisa yang kita ketahui lewat berita layar kaca.

MPVP berpusat pada kisah Mayang (diperankan oleh Lola Amaria), seorang TKW yang bekerja di Hongkong. Tujuan utamanya ke Hongkong, bukan untuk mencari uang. Melainkan, mencari adik kandungnya, Sekar (Titi Tjuman). Sekar, yang lebih dulu bekerja di Hongkong, tak lagi mengirim kabar dan (tentu saja) uang.

Ada rivalitas antara Mayang dan Sekar. Dari kecil, Mayang selalu di bawah bayang-bayang Sekar. Tapi keduanya sama, tak bisa lepas dari stigma dominasi laki-laki. Pilihan Mayang bekerja di ladang tebu, tak pernah dihargai kepala keluarga, si bapak. Sebaliknya, Sekar yang mengikuti permintaan bapaknya untuk menjadi TKW, dibanggakan karena menghasilkan banyak uang. Selain itu, karena dinilai cantik oleh banyak laki-laki, Sekar ada sebagai perempuan; sedangkan Mayang hanyalah bayang.

TKW di Hongkong
Masalah TKW di Hongkong, berbeda dengan TKW yang ada di Malaysia atau negara Timur Tengah. Ini bukan tragedi kekerasan rumah tangga oleh majikan. Bukan pula tragedi pemerkosaan seksual. Secara umum, masalah yang dihadapi oleh TKW Hongkong adalah kompleksitas makna uang. Sebagai materi yang dicari, uang di sini terkait dengan keluarga. Masyarakat umum menganggap, TKW banyak mendapat uang di negeri orang. Anggapan ini menimbulkan tekanan bagi TKW. Terus bekerja dan mengirimkan uang kepada orangtua, suami atau anak, di tanah air, adalah pilihan yang tak bisa ditawar.
Selain terkait dengan keluarga, uang yang dicari dan dimiliki TKW pun terkait dengan pergaulannya di negeri orang. Kebutuhan dalam hal cinta dan mode, juga dialami para TKW. Keduanya menuntut uang yang tak sedikit.

Masalah keluarga dan pergaulan tersebut, membuat banyak TKW dihimpit hutang. Permasalahan tambah sulit, karena banyak TKW yang melakukan transaksi kredit untuk membeli barang-barang yang dibutuhkan. Kredit barang yang dibeli tak sanggup dilunasi. Hutang serta denda pun semakin terakumulasi.

Sekar adalah satu dari TKW yang terbelit hutang. Ia tak bisa lagi mengirimkan uang pada orangtuanya ke Indonesia. Uang yang didapatnya dari kerja serabutan cuma cukup untuk biaya makan sehari-hari. Perempuan yang selalu menjadi juara kelas saat di bangku sekolah ini, tak bisa mencari uang banyak karena tak punya passport. Orang Hongkong tak mau memperkerjakan TKW tak legal, karena akan dihukum oleh pemerintah. Passport Sekar tak ada karena disita pihak kreditor sebagai jaminan pelunasan. Dalam himpitan keadaan itu, citra perempuan “baik-baik” Sekar, terpaksa dilacurkan.

Mengharap pagi
Minggu pagi di Victoria Park merupakan ruang waktu yang khusus bagi para TKW di Hongkong. Memanfaatkan Minggu sebagai hari bebas tugas, para TKW bertemu saudara setanah air. Mereka berbincang pada masing-masing komunitasnya. TKW Indonesia yang sejak awal tahun 2000 mendominasi pengunjung Victoria Park, memiliki ragam komunitas sosial. Komunitas daerah, keluarga, hobi, gaya hidup, ideologi (Islam misalnya), hingga lesbian.

Sekar yang terbelit hutang, hanyalah salah satu masalah yang diutarakan di tengah hiruk pikuk Victoria Park. Sari yang rela diploroti lelaki Pakistan hanya untuk mendapatkan cinta, dominasi Agus untuk meminta banyak uang dalam hubungan lesbiannya bersama Yati, atau Mayang yang belum lancar bahasa Canton, merupakan beberapa masalah yang meletup di MPVP. Tentu saja itu di luar keluh kesah mereka terhadap pemerintah Indonesia yang tak memperhatikan TKW, meski telah menyumbang pendapatan negara, yang nilainya kedua terbesar, setelah migas.

Terlepas derita Yati yang hilang seiring kematiannya, untunglah kisah MPVP tak berakhir dengan akhir yang buruk. Air mata, jika pun hadir, lahir dari kebahagiaan. Mayang menemukan Sekar. Keduanya berbaikan dan saling menyayangi. Ini semacam optimisme kita yang coba memahami (dan semoga berusaha menyelesaikan) permasalahan TKW. Senja kelam mungkin muram dan panjang. Tapi pagi, ada pasti. Meski hanya di hari Minggu. Tentu kita tak lupa, bahwa Minggu adalah akhir dari pekan. Hangat, ceria, ramai dan bahagia, layaknya di Taman Victoria, semoga merupakan akhir dari kehidupan para TKW. []


Usep Hasan S.

Comments