Perempuan dalam Relasi Masjid-Ruang Publik

Raheel Reza, penulis buku “Theire Jihad, Not My Jihad”, menjadi imam dan khatib shalat Jumat di Oxford (BBCIndonesia.com – detikNews, Jumat, 11/06/2010). Kejadian ini mengulang kontroversi di kalangan umat Islam. Lima tahun yang lalu, tepatnya tanggal 18 Maret 2005, Amina Wadud melakukan hal yang sama. Amina mengadakan ibadah sholat Jumat di di gereja Anglikan, The Synod house of The Cathedral of St. John The Divine, Manhattan, New York, Amerika Serikat (AS). Amina bertindak sebagai khatib dan imam shalat yang dihadiri oleh jamaat laki-laki dan perempuan.

Tindakan Amina pada waktu itu disambut oleh reaksi keras umat Islam. Raheel pun, kini, mengalami hal serupa. Aksi Raheel dan Amina oleh mayoritas muslim dianggap sebagai hal menyimpang. Tradisi Islam (dalam konsensus umum) yang sudah berlangsung belasan abad, hingga sekarang, dikhawatirkan akan rusak.

Sikap keras menolak imam perempuan seolah menggambarkan adanya tembok baja dalam usaha mewujudkan kesetaraan gender dalam Islam. Sikap penolakan terhadap imam perempuan tersebut muncul dari baik umat Islam yang menolak maupun menerima kepimpinan perempuan di ranah publik.

Yang membolehkan

Taruhlah memang tradisi Islam tak pernah mempraktekkan perempuan menjadi imam dan khatib bagi jamaah laki-laki (dan perempuan), tetapi apakah itu berarti ada larangan terhadap perempuan untuk menjadi imam dan khatib bagi jamaah laki-laki? Atau, apakah Muhammad pernah secara langsung dan tegas menyatakan bahwa perempuan tidak boleh menjadi imam dan khatib bagi jamaah laki-laki?

Tampaknya, penyelenggaraan sholat Jumat Raheel merupakan jawaban terhadap pertanyaan semacam itu. Dalam ajaran Islam, posisi laki-laki dan perempuan adalah setara. Tak ada yang lebih tinggi, dan tak ada yang lebih rendah. Yang melebihkan antara keduanya adalah tingkat kualitas, wawasan, keilmuan, amal perbuatan, atau dalam bahasa agamanya adalah taqwa (QS. 49: 13). Demonstrasi “radikal” Raheel merupakan refleksi dari makna ajaran tersebut.

Sholat Jumat ibadah merupakan bentuk ritus Islam yang kaya akan nilai-nilai sosial yang pada umumnya dilakukan di masjid. Sholat tak hanya mengandung dimensi spiritual, tetapi juga terdapat dimensi sosial yang kuat. Nilai-nilai dari dimensi sosial ini yang dianjurkan diterapkan di dalam ruang publik. Di antaranya adalah kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki dan perempuan mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk beraktualisasi dan berkontribusi di ruang publik. Menjadi imam atau pemimpin merupakan salah satu bentuknya.

Di sinilah kompleksitas demonstrasi Raheel dan Amina. Kepemimpinan perempuan ia tempatkan tak hanya pada ranah ibadah mahdhah (ritual). Kedua intelektual muslimah ini juga memposisikan perempuan pada relasi antara masjid dan ruang publik. Perlu ada penjelasan dalam bingkai istilah privat dan publik terhadap masjid. Sehingga akan muncul pertanyaan, yaitu apakah masjid termasuk ruang publik? Jika perempuan boleh menjadi pemimpin di ruang publik, kenapa perempuan tak boleh menjadi imam di masjid?

Masjid-ruang publik

Dalam relasi masjid-ruang publik, tampaknya perempuan menjadi imam dan khatib belum diterima dan populer. Bisa jadi karena pada umumnya umat Islam masih membedakan antara masjid-ruang publik dan memisahkan antara ruang dalam-luar masjid. Masjid masih dipandang sebagai “rumah Tuhan” yang suci dan terikat oleh aturan tradisi keyakinan agama, sedangkan luar masjid adalah ruang yang penuh dengan kepentingan dunia yang fana.

Masjid dan lingkungan di luar masjid merupakan dua bagian yang bersatu dalam sistem kehidupan sosial masyarakat. Keduanya merupakan relasi yang saling terkait, yang tidak bisa dipisahkan. Keduanya satu kesatuan ruang publik. Bentuk aturan/perlakuan umum yang berlaku di masjid adalah representasi dari budaya yang berlaku di lingkungan masyarakat luar masjid, begitu juga sebaliknya. Aturan/perlakuan umum yang berlaku di masjid (sebagai ruang publik) bersifat terbuka, tidak tetap, dan diusahakan bebas dari paksaan serta dominasi.

Pada masa kehidupan Nabi Muhammad, masjid menjadi pusat kegiatan sosial-politik dan keagamaan. Suara dan aspirasi kaum perempuan juga terakomodir di dalamnya dan merupakan perwujudan dari opini publik. Keadaan pada masa itu tak memungkinkan perempuan menjadi pemimpin, imam shalat atau khatib karena telah lama dibentuk oleh tradisi patriarki yang misoginis. Perempuan tak mengenyam pendidikan. Perempuan tak diberi kesempatan dan kebebasan untuk tampil di ruang publik. Pada saat itu, perempuan adalah kaum kelas dua dari laki-laki.

Mengubah paradigma masyarakat dan meningkatkan kualitas kaum perempuan membutuhkan perjuangan keras dan proses yang lama. Posisi dan peran perempuan pada saat itu merupakan hasil proses pemikiran dan negosiasi Muhammad dengan pandangan (budaya) masyarakat Arab pada zamannya. Negosiasi yang dimaksud adalah antara nilai-nilai universal Islam dengan situasi sosial dengan seluruh kendala yang ada. Bentuk “kesetaraan” laki-laki dan perempuan pada saat itu adalah hasil suatu pertemuan dialektik antara “yang universal” dengan “yang partikular”.

Dari apa yang telah Muhammad putuskan saat itu, yang perlu diambil untuk masa sekarang adalah “yang universal"-nya, bukan “yang partikular"-nya. Yang diterapkan sekarang ini adalah nilai, semangat dan tujuan utamanya, bukan bentuk (teknis) pelaksanaannya.

Dalam pembahasan lain, benar memang, Muhammad telah “memberikan penghargaan” berupa mahar, hak waris (1/2 dari laki-laki), hak/kewajiban menjadi saksi (1/2 dari laki-laki), atau yang lainnya, tetapi bukan (bentuk) itu yang diambil untuk masa dan konteks sekarang. Yang perlu diambil adalah pesan dan semangat kesetaraan (gender) di balik bentuk-bentuk penghargaan itu. Artinya, bukan berarti yang diterapkan Muhammad di masanya akan/selalu cocok untuk masa dan konteks sekarang. Sekarang sudah terjadi banyak perubahan pandangan dan keadaan terhadap perempuan.

Kesetaraan gender di dalam masjid

Fungsi masjid sebagai ruang publik perlu dioptimalkan dengan menyertakan semangat kesetaraan gender yang diambil dari (bentuk) penghargaan yang Muhammad berikan kepada perempuan. Hendaknya masjid dijadikan ruang terbuka yang memberikan hak (dan kewajiban) dan kesempatan yang sama antara laki-laki dan perempuan dalam beraktivitas di dalamnya.

Permasalahan yang melanda kaum perempuan sekarang cukup mendesak untuk diselesaikan dan diperjuangkan. Kekerasan, pelecehan, trafficking, prostitusi, kesehatan, kesenjangan atas hak publik/berpolitik adalah beberapa contohnya. Masjid seharusnya menjadi semacam “laboratorium” civil society. Di dalamnya segala permasalahan publik/masyarakat diperbincangkan, didialogkan, kemudian dirumuskan penyelesaiannya. Dalam konteks permasalahan kaum perempuan, pihak yang paling tepat berbicara adalah pihak perempuan. Di sini seharusnya perempuan diberikan hak dan kesempatan yang lebih banyak, itu berarti salah satunya adalah untuk tampil berbicara.

Kondisi atau aturan masjid yang sarat dengan hijab/pembatas, melarang perempuan menjadi imam, khatib atau turut serta dalam shalat Jumat, perlu dipertanyakan, dipertimbangkan dan dirumuskan kembali untuk menghasilkan perubahan yang bersifat membebaskan dan partisipatoris. Kondisi dan aturan masjid yang demikian akan membentuk pandangan diskriminatif terhadap perempuan. Pandangan yang hanya membolehkan perempuan menjadi pemimpin, asal tak ada laki-laki yang mampu menjadi pemimpin; atau hanya membolehkan perempuan memimpin/berbicara di forum perempuan merupakan pandangan yang sangat bias gender. Pandangan yang melahirkan penilaian dan keputusan berdasarkan jenis kelamin/gender-nya. Apakah seseorang itu laki-laki atau perempuan, jika dia perempuan, ya, tidak.

Masjid sebaiknya menjadi ruang publik yang memberikan keterbukaan dan kesempatan berarti kepada perempuan. Di ruang ini perempuan bisa berbicara, didengar, menguji dan membuktikan gagasan atau kualitas pribadinya. Di ruang ini kaum laki-laki, bisa belajar terbuka, menerima, dan membiasakan untuk mendengarkan dan memahami gagasan dan permasalahan perempuan serta (bersedia) dipimpin oleh seorang perempuan, sebagaimana perempuan yang telah terbuka untuk menerima dan terbiasa dipimpin oleh laki-laki.

Jika masjid yang memiliki fungsi sebagai ruang publik masih memilihara kondisi yang bias gender, selamanya kondisi masyarakat sebagai bentuk ruang publik yang lebih luas dan nyata akan cenderung memiliki pandangan dan memelihara kondisi yang bias gender pula. Selamanya, ranah pijak masyarakat, muslim khususnya tak akan mencapai kesetaraan gender.

USEP HASAN S.
http://www.jurnalperempuan.com/index.php/jpo/comments/perempuan_dalam_relasi_masjid_ruang_publik/


Comments