Tak Ada Anak Perempuan yang Ingin Jadi Pelacur

Jurnalperempuan.com-Jakarta. Perdagangan manusia (human trafficking) merupakan permasalahan kompleks yang masih menjadi PeeR besar Negeri ini. Dalam diksi (diskusi edisi), diskusi yang mengawali penerbitan edisi baru majalah Change, tim redaksi mengundang 2 narasumber yang sudah banyak terlibat dalam penelitian dan pendidikan anak perempuan korban pelacuran.

Alumnus Pusat Kajian Wanita Universitas Indonesia Ruth Eveline menjelaskan tentang isi Konvensi Internasional tentang Hak Anak, bahwa anak-anak tak boleh dipekerjakan. Anak-anak adalah swtiap manusia berumur di bawah 18 tahun. Selain itu, konvensi internasional melarang anak untuk terlibat di ruang pelacuran.

“Usia anak bukanlah tahap kedewasaan. Pemikirannya sebagai dasar menentukan pilihan belum matang. Selain itu, karena keadaan ini, anak sangat mungkin didominasi,” ujar Ruth yang menjadi salah satu narasumber dalam diskusi yang diselenggarakan Kamis (24/6) lalu di kantor Yayasan Jurnal Perempuan, Jakarta.

Yani Mulyani dari Yayasan Kusuma Bongas mengatakan, adanya pandangan terhadap budaya sangat kuat menciptakan dan mempertahankan praktek pelacuran anak. “Di masyarakat kita, anak masih dipandang sebagai aset orang tua. Anak harus membalas budi, di antaranya, dengan cara mematuhi keinginan orangtua,” kata perempuan yang aktif dalam memberikan pendidikan anak di salah satu area pelacuran.

Dikatakan Yani, keterdesakan ekonomi dan budaya komsumtif menjadi keadaan utama yang mendorong terjadinya praktek pelacuran anak. “Mereka mudah diimingi uang, hp, dan pakaian, untuk mau dijadikan pelacur,” tambah Yani.

Banyak pertanyaan muncul dari peserta diskusi. Di antaranya, apakah anak-anak perempuan yang disimpulkan sebagai korban, memang merasa sebagai korban. Lalu ada yang menanyakan, apakah agama membantu menyelesaikan permasalahan pelacuran anak. Sampai pertanyaan yang berbunyi, bagaimana sejarahnya suatu daerah bisa menjadi daerah yang “memproduksi” pelacur anak.

“Tak ada perempuan yang mau jadi pelacur,” Ruth memulai jawabannya. Dari penelitian (S2) tesisnya tentang perdagangan anak, semua korban yang diwawancarai, pada dasarnya tak mau menjadi pelacur. Lingkungan mendesak mereka tak bisa memilih yang lain. “Mungkin pelacur kelas atas, ada yang memilih pelacur sebagai bidang profesi. Tapi, kalau untuk pelacuran anak, tak ada yang menjadikannya pilihan.”

Yani pun membenarkan Ruth. “Mereka menyadari bahwa keuntungan yang didapat dari pelacuran, hanyalah kenikmatan semu,” tambahnya. Selamanya mereka tak mandiri, karena terkurung oleh masyarakat yang menempatkannya sebagai pelacur.

Menjawab pertanyaan terkait dengan sejarah suatu daerah menjadi kantong pelacur anak, Yani menceritakan, dari dulu perempuan yang berasal dari daerah pelacuran dikenal cantik. Ini sudah dimulai dari era kerajaan. Selir-selir kerajaan banyak yang berasal dari daerah ini. Sehingga, melahirkan budaya yang menilai bahwa anak perempuan lebih berharga, dibanding anak lelaki.

Mengenai agama sebagai solusi, kedua pembicara memberikan jawaban. Menurut Ruth, pendekatan agama yang berdasar pada moral, kerapkali menghakimi tindakan mereka. “Banyak dari mereka yang malah ketakutan,” terang Ruth.

Agak berbeda dengan Yani yang mengatakan, agama bisa menjadi solusi tergantung bagaimana cara pendekatannya. “Pengajar Yayasan Kusuma Buana, semua perempuannya berjilbab, dan mereka nyaman mengikuti pendidikan bersama kami,” pungkas Yani.


Usep Hasan Sadikin

Comments