Anak Perempuan (Masih) Banyak yang Dipaksa Kawin

Jurnalperempuan.com-Jakarta. Perkawinan anak usia dini merupakan permasalahan yang penting untuk diselesaikan. Demikian pendapat Dian Kartika Sari selaku Ketua Pelaksana diskusi publik bertajuk “Perkawinan Anak, Kepentingan Siapa?” pada Jumat (23/7) di Jakarta.

“Anak perempuan di banyak daerah di Indonesia, masih banyak yang dikawinkan. Hak mereka hilang oleh perkawinan berbasis budaya,” jelas Dian dalam sambutan pembukaan.

Diskusi yang didukung Hivos dan diselenggarakan Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) bersama Yayasan Pemantau Hak Anak (YPHA) ini menghadirkan beberapa pembicara yang mempresentasikan penelitiannya. Dari penelitian yang dilakukan oleh Iin Arinta Fahadiana, Sekretaris Cabang KPI Rembang, didapat fakta praktek perkawinan anak cenderung naik. Di desa Tegaldowo dan desa Ngiri, kabupten Rembang, terdapat 12 kasus di tahun 2006, 6 (2007), 21 (2008), 31 (2008). Hingga Juli 2010 terdapat 28 kasus serupa.

Menurut Iin faktor ekonomi memang menjadi penyebab praktek perkawinan anak. Namun, faktor budaya menjadi penyebab utamanya. “Budaya perjodohan anak perempuan di usia SD sampai SMP, masih kuat ternanam di masyarakat. Di antara mereka, sebetulnya ada yang mampu sekolah hingga perguruan tinggi,” jelas Iin. Bagi masyarakat di sana, seorang perempuan lebih baik menjadi janda dari pada perawan kasep (perawan tua). Perempuan dinilai sebagai perawan tua, ketika anak perempuan masuk di usia 16 tahun.

Fakta yang tak kalah menarik disampaikan oleh Suharti. Berprofesi sebagai tukang rias pengantin di Tegaldowo, Suharti mengatakan, anak perempuan yang dinikahkan di bawah umur 18 tahun mengalami tekanan mental. “Karena mereka tak mau dinikahkan, tapi merasa bersalah kepada orang tua jika menolak,” jelas Suharti.

Hal tersebut dibenarkan oleh Iin. “Memang, anak perempuan yang dinikahkan di usia dini, ada yang keluarganya bisa dinilai harmonis. Tapi, mereka pada dasarnya tak mau kawin di usia anak.” kata Iin.

Antarini Arna, Ketua Yayasan Pemantau Hak Anak mengungkapkan, bahwa terputusnya anak perempuan dari pendidikan di antaranya karena dikawinkan. Dari penelitiannya di beberapa daerah Jawa Timur, masyarakat meyakini jika anak perempuan menolak lamaran, ia tak akan mendapat lamaran lagi seumur hidupnya. “Sedihnya, lamaran pertama umumnya datang pada saat anak perempuan itu berumur 12-13 tahun,” ujarnya.

Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia menegaskan, perkawinan setiap orang harus didasarkan atas kehendak bebas dan persetujuan yang bersangkutan. Kehendak bebas dan persetujaan tersebut tidak bisa diberikan oleh orang yang belum dewasa. Konvensi Hak Anak menentukan batas akhir masa kanak-kanak yang berarti batas awal kedewasaan, yaitu usia 18 tahun. Dalam kerangka hak anak, perkawinan anak merupakan pelanggaran hak anak. Otomatis anak-anak kehilangan hak pendidikan, kesehatan, bermain, dan hak lainnya.

Antarini menjelaskan bahwa, negara merupakan pemegang kewajiban utama atas terpenuhinya hak-hak anak. Sedangkan orang tua merupakan pemegang hak dan tanggung jawab utama dalam pengasuhan anak. Negara dapat menggugurkan hak dan tanggung jawab orang tua serta mengambil tindakan hukum, administratif, sosial dan pendidikan apabila pengasuhan orang tua justru merusak kehidupan anak dan bertentangan dengan prinsip universal perlindungan hak anak.

Dalam sesi panelis, Siti Musdah Mulia, Sekretaris Jendral Indonesian Conference on Religion and Peace/ICRP berpendapat, pemahaman Islam suatu masyarakat turut andil dalam praktek perkawinan anak perempuan. Padahal, salah satu prinsip dalam perkawinan Islam adalah kesetaraan (al musawah). Masyarakat kita yang patriarkhi mendorong perkawinan yang menempatkan usia perempuan lebih muda dibandingkan laki-laki. “Pilih istri itu yang usianya jauh lebih muda, biar bisa dibodohi, disuruh, dan diam di rumah. Gitukan masyarakat kita?” ujar penulis buku “Islam Menggugat Poligami” ini.

Bagi Musdah, agama merupakan ajaran yang memanusiakan manusia. Menikah (yang bahasa hukumnya adalah “perkawinan”), sebagai bagian dari ajaran agama pun bertujuan memanusiakan manusia. “Tujuan perkawinan itu tak bisa terpenuhi jika dilakukan oleh manusia yang belum dewasa,” tegas Musdah.


Usep Hasan Sadikin

http://www.jurnalperempuan.com/index.php/jpo/comments/anak_perempuan_masih_banyak_yang_dipaksa_kawin/

Comments