Bertukar Tubuh, Merevolusi Bahasa

Forum Filsafat Salihara (FFS) bulan Juli, mengangkat judul “Revolusi Bahasa Perempuan”. Acara tepatnya diselenggarakan pada Selasa, 13 Juli 2010, di Serambi Salihara. Ikhaputri Widiantini (Upi), hadir sebagai pembicara. Pembahasan diskusi FFS ini merupakan tesis (pasca sarjana) Upi di Pusat Kajian Wanita Universitas Indonesia yang telah diuji tahun lalu.

Di awal pemaparan materi, Upi menjelaskan bahwa, mekanisme pembentukan bahasa diatur dari kesepakatan dalam masyarakat. Pengetahuan yang beragam, dimungkinkan hadir lewat pemahaman dan kepercayaan individu. Masalahnya, sistem patriarkal melakukan diskriminasi pada bahasa melalui penekanan dan batasan pembentukan bahasa. Keadaan ini membuat perempuan tak memiliki kesempatan membagi pengetahuan pengalamannya. Perempuan menjadi kesulitan memahami kesepakatan bahasa publik yang patriarkal.

Bagi dosen Program Studi Filsafat UI ini, permasalahan bahasa yang dikemukannya sejalan dengan gerakan feminis gelombang ketiga. Feminisme gelombang ketiga menyatakan bahwa permasalahan ketidakadilan terhadap perempuan berada pada tataran bahasa. “Untuk (merubah keadaan tak adil) itu, bahasa harus didekonstruksi,” ujar Upi. Dekonstruksi bahasa adalah menunda makna awal yang dikesankan (suatu tafsir) bahasa, lalu pemaknaannya menekankan pada pengalaman masing-masing individu.

Usaha dekonstruksi dalam tesis Upi adalah revolusi bahasa. Pengajar mata kuliah “Filsafat Bahasa” ini menggunakan pemikiran Julia Kristeva sebagai metode revolusi. Revolusi yang dimaksud adalah, berbagi pengalaman antara laki-laki dan perempuan. Keduanya telah dipisahkan oleh dunia simbolik dan semiotik. Dunia simbolik adalah ruang publik yang menuntut kesepakatan tunggal, yang selama ini mendominasi. Sedangkan dunia semiotik adalah ruang privat yang multi makna, yang selama ini terdominasi.

Upi mengerucutkan bahasan pertukaran pengalaman dunia itu, pada hal seksualitas. Tubuh perempuan yang lama berada di ruang privat, harus dipahami oleh laki-laki di ruang publik. Agar tak mengalami stigma abjeksi tubuh yang tabu, kotor, sakit, kurang dan nilai perendahan lainnya, perempuan harus membagi pengetahuan tubuhnya terhadap laki-laki, dan terbuka terhadap pengetahuan tubuh laki-laki. Begitu pun sebaliknya, laki-laki harus terbuka untuk mengetahui pengalaman tubuh perempuan, dan mau berbagi pengetahuan tubuh laki-laki. “Agar kesetaraan tercapai, dalam pertukaran pengetahuan tubuh ini, perempuan dan laki-laki harus memahami betul tubuhnya masing-masing. Tak mudah melakukan ini, karena masing-masing kita cenderung mengingkari pengalaman diri,” jelas Upi.

Pemaran Upi disambut tanggapan dari banyak peserta. Salah satunya Toyo, yang mengkhawatirkan usaha pertukaran pengalaman tubuh akan menghilangkan kekhasan identitas perempuan dan laki-laki.

Upi menjawab bahwa kekhasan tak akan hilang. “Pertukaran pengalaman tubuh ini ibarat pintu dua sisi yang jika satu dibuka, maka ruang diseberangnya pun membuka,” ujar Upi. Pendiri Komunitas Ungu di UI ini pun menjelaskan bahwa selama ini justru dunia simbolik telah menghilangkan banyak kekhasan. Dengan membuka ruang privat semiotik dan menghadirkannya ke ruang publik, akan menghadirkan banyak kekhasan dari pengalaman individu. “Perempuan dapat membawa identitas maternal mereka dalam ruang publik, dan tetap dalam ruang semiotik maternal (begitu pun sebaliknya bagi laki-laki),” Upi menutup. []


Usep Hasan S.

Comments