Nelofer Pazira: Perempuan Afganistan Korban Kebijakan

Jurnalperempuan.com-Jakarta. Aktifis perempuan Afghanistan Nelofer Pazira bertamu ke kantor Yayasan Jurnal Perempuan. Sineas sekaligus jurnalis yang kini tinggal di Kanada ini, ingin berdiskusi dan bertukar pengalaman seputar isu perempuan dan Islam. Banyak peserta datang untuk mengetahui dunia perempuan Afganistan, Taliban dan Mujahidin.

Nelofer memulai pembahasan dengan memberikan gambaran keadaan Afganistan. Secara umum, Afganistan merupakan wilayah pedesaan yang terisolir. Banyak desa tak memiliki sekolah. Masyarakat bisa hidup, tapi sekolah bukanlah prioritas. Pendidikan tak hanya sulit diakses oleh perempuan, tapi juga laki-laki. Hanya saja, laki-laki bisa pergi ke kota, dan mencoba bersekolah. Sedangkan perempuan karena terisolir oleh komunitasnya, sulit untuk bisa pergi ke kota.

Sebelum perang terjadi, perempuan yang tinggal di kota bisa mengajar di sekolah. Selain itu, beberapa ada yang bisa masuk partai politik. Bahkan 2 menteri perempuan mengisi pemerintahan Afganistan.

Setelah perang tahun 1980-an, ketika Uni Soviet menginvasi Afganistan, ada perbaikan pada undang-undang. Afganistan menerapkan kebijakan pendidikan untuk semua, laki-laki dan perempuan.

“Sayangnya kebijakan bagus itu, salah dalam pelaksanaannya,” ujar Nelofer, Senin (16/8). Perempuan peraih gelar akademis di bidang Jurnalisme dan Sastra Inggris (Universitas Carleton, Ottawa) ini, menjelaskan bahwa, kebijakan pendidikan untuk semua, mengharuskan semua perempuan sekolah. Jika orang tua atau suami melarang perempuan sekolah, maka akan dipenjara.

Bagi masyarakat Afganistan, perempuan mempunyai peran penting di rumah tangga. Hal ini membuat para orang tua dan suami, mencegah perempuan bersekolah. Sehingga banyak orang tua dan suami yang dipenjara. Keadaan ini membuat perempuan tak mau dan tak berani ke sekolah. Para perempuan tak mau dinilai buruk oleh keluarga dan masyarakat.

Maka, akhirnya terjadi penolakan dari masyarakat. Banyak buku dibakar. Dan sebagian guru ada yang terbunuh. Kebijakan yang tak mengakomodasi keragaman budaya ini malah menimbulkan dampak negatif. Segala hal mengenai isu perempuan, termasuk pendidikan untuk perempuan, dipandang negatif. “Masyarakat tak percaya lagi terhadap kebijakan untuk perempuan,” tutur Nelofer.

Masyarakat Afganistan, menurut Nelofer, sangat beragam. Baginya, tidaklah tepat jika semua perempuan dipaksa ke ruang publik untuk sekolah. “Di kota yang metropolis, seperti Kabul, perempuannya bisa mengenakan baju seperti perempuan barat. Para orang tuanya pun, memiliki pemikiran terbuka. Yang strata kaya, bisa ke luar negeri untuk sekolah atau wisata. Tapi, bila ke luar dari Kabul, pada sekitar 2 jam perjalanan kita tidak akan menemukan perempuan. Perempuan di desa-desa memang diposisikan perannya di ranah domestik,“ jelas peraih Master of Arts (MA) dalam Antropologi, Sosiologi dan Agama (Concordia University, Montreal) ini.

Kesalahan pelaksanaan kebijakan itu dimanfaatkan Mujahidin. Kelompok anti pemerintah yang juga memerangi Uni Soviet ini meyakinkan kepada masyarakat, bahwa pemerintah telah salah karena menyuruh perempuan bersekolah. Bagi Mujahidin, pendidikan terhadap perempuan telah mencuci otak. Para perempuan jadi suka melawan pada orang tua dan telah menodai agama.

Mujahidin kemudian mendapat dukungan dari banyak pihak. Sebagian berpandangan moderat, sebagian yang lainnya fanatik. Yang fanatik, menempatkan perempuan sebagai pihak yang tak punya peran. Sedangkan yang moderat, memberi peran pada perempuan, meski tidak sejajar dengan laki-laki.
Setelah Uni Soviet pergi, Mujahidin menjadi pemerintah di dalam Afganistan. Tapi frasksinya yang terdiri dari ragam suku dan pemahaman agama, mengalami pertikaian. Keadaan ini malah menjadikan perempuan sebagai korban. Untuk menciptakan konflik antar suku, perempuan diperkosa. Selain itu, sebagian Mujahidin, yang berasal dari Pakistan, secara sitematik menjadikan perempuan sebagai alat perang.

Ini menjadi dasar kelompok bernama Taliban, untuk mengusir Mujahidin. Hal utama yang dilakukan adalah, dengan menghalangi perempuan untuk mengakses ruang publik. Banyak sekolah dibubarkan. Perempuan lalu dilarang sekolah dan bekerja.

Keadaan tersebut menurut Nelofer, telah menimbulkan pandangan masyarakat dunia, bahwa di Afganistan, perempuan mengalami diskriminasi berdasarkan gender. Karena perempuan, individu di Afganistan tak boleh kerja. Karena perempuan, individu di Afganistan harus memakai burqa, yang sebelumnya hanya pakaian pilihan.

Sebenarnya, standardisasi pun diberlakukan terhadap laki-laki. Para laki-laki harus berjenggot panjang dan mengukurnya. “Teman saya yang di Kabul sering dipukuli, jika rambutnya panjang, atau jika jenggotnya tidak cukup panjang,” cerita penerima gelar Doktor Kehormatan dari Universitas Carleton ini.

Kebijakan perempuan yang melarang bekerja, menciptakan cukup banyak penderitaan dalam keluarga. Sebelumnya, ketika laki-laki berperang, perempuan menjadi sumber ekonomi keluarga. Karena Taliban melarang perempuan bekerja, banyak anak laki-laki usia dini, yang memang belum boleh berperang, dipaksa untuk bekerja.

Nelofer meyakinkan bahwa permasalahan perempuan di Afganistan, merupakan permasalahan yang kompleks. Perkembangan budaya perempuan Afganistan tak bisa lepas dari keragaman budaya suku, politik dan budaya patriarki. “Afganistan amat tradisional, belum berkembang, budaya patriarki masih kuat, dan sistem politiknya pun belum baik,“ jelas Nelofer. Perempuan yang terus aktif bergerak di dunia film dan jurnalistik ini menyayangkan keadaan di Afganistan semakin bertambah pelik oleh perang. Ini menyebabkan perempuan Afganistan sulit berkembang, baik secara pendidikan maupun finansial. []


Usep Hasan S.

Comments