Keberagaman Beragama di Mata (Sumpah) Pemuda

Beberapa tahun belakangan, ada kecenderungan semakin menguatnya usaha beberapa kelompok agama tertentu dalam memaksakan kehendak. Dengan standar kebenarannya, kelompok ini menyalahkan dan coba menghilangkan kelompok yang di luar standar kebenarannya. Jika ini dibiarkan, keragaman masyarakat beserta kebudayaan di Indonesia sedikit banyak akan hilang.

Sebagai bagian dari usaha membangkitkan pemahaman pentingnya keberagaman dan pencegahan fenomena maraknya kelompok yang memaksakan standar kebenarannya sendiri kepada kelompok lain, Program Pasca Sarjana Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia (UI) bekerjasama dengan Program Studi Kajian Wanita UI menyelenggarakan diskusi dengan tema “Satu Tanah Air, Satu Bangsa, Satu Bahasa Persatuan; Keberagaman Beragama di Mata Kaum Muda” di Kampus Universitas Indonesia, Depok, dalam rangka memperingati hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober 2010.

Muhammad Yusuf Chudlori, pengelola Pondok Pesantren (Ponpes) Telgalrejo yang menjadi pembicara dalam forum diskusi mengatakan bahwa masyarakat Indonesia sebetulnya sudah menerapkan pluralisme. Hal tersebut bisa ditemukan di daerah-daerah yang masih memiliki dan menjaga kearifan lokal. Contohnya di masyarakat Tegalrejo yang menjadi bagian masyarakat gunung Merapi, Merbabu, Sindoro dan Sumbing. “Kami mengenal pluralisme dengan istilah ‘seduluran’,” ujar Chudlori. Islam di masyarakat Tegalrejo begitu menyatu dengan kebudayaan lokal. “Kebersamaan dibangun dan dipelihara dengan (kesenian) wayangan, jathilan dan gamelan. Kami kumpul bersama tanpa ditanya apa agamanya,” jelas kyai muda ini. Memakai peci hitam dan celana jins, kyai yang biasa dipanggil Gus Yus ini menilai bahwa kelompok Islam yang suka melarang corak Islam lokal Indonesia, tak memahami Islam secara esensi. “Mereka terjebak dengan simbol,” tegas Gus Yus.

Pembicara lain, Mariana Amirruddin, Direktur Eksekutif Yayasan Jurnal Perempuan, menceritakan pengalamannya saat di bangku sekolah dan kuliah. Kala itu Mariana menjadi anggota organisasi Negara Islam Indonesia (NII). Bagi NII, Islam di luar NII itu salah. Konsep doktrinnya adalah pemisahan fase Mekah dan Madinah yang dipraktekkan di Indonesia. “Doktrin itu membuat saya silau, sehingga saya memutuskan ber-baiat,” jelas Master Humaniora dari Program Studi Kajian Wanita UI ini. Dulu pemerintah Orde Baru melarang semua gerakan agama yang dinilai sebagai oposisi pemerintah. Mariana yang tidak sepakat dengan rezim represif Soeharto menerima konsep negara NII sebagai bagian perlawanan radikal. Namun, seiring waktu Mariana sadar bahwa yang diperjuangkannya selama ini adalah ilusi. Pengalaman ber-agamanya menangkap banyaknya kekeliuran, termasuk posisi kaum perempuan yang didiskriminasikan. Semua hal itu membuat Mariana beralih pada gerakan feminisme. “Feminisme dan pluralisme adalah satu nafas,” tegas Mariana.

Salah satu dosen Antropologi UI, Toni Nurdiansyah menambahkan bahwa selama ini kita tak penuh dalam memahami keberagaman. “Kita menilai sudah selesai dengan pernyataan ‘berbeda-beda tapi satu’. Padahal harus ada lanjutannya, ‘satu tapi berbeda-beda’,” ujar Toni. “Berbeda-beda tapi satu, satu tapi berbeda-beda” ini merupakan pemahaman penuh keberagaman dan kebersamaan. “Jika selesai sampai ‘berbeda-beda tapi satu’, maka ada satu versi konsep kebersamaan dari salah satu kelompok yang berkuasa dan memaksa,” jelas Toni. []

Usep Hasan S.

Comments