Melibatkan Laki-Laki, Menghapus Kekerasan

Jurnalperempuan.com-Jakarta. Dalam pluralitas feminisme ada narasi mayor yang menjadi salah satu langkah pencapaian kesetaraan gender. Diyakini keadilan relasi perempuan bersama laki-laki bisa dicapai dengan melibatkan laki-laki. Perempuan harus bersama laki-laki berjuang menghapus kekerasan terhadap perempuan.

Menegaskan narasi tersebut, Yayasan Jurnal Perempuan (YJP) bekerja sama dengan Aliansi Laki-Laki Baru-Jakarta dan Himpunan Mahasiswa Hubungan Internasional (HIMAHI) Universitas Nasional (Unas), pada Selasa (12/10) mengadakan seminar di kampus Unas, Jakarta, dengan judul “Keterlibatan Laki-Laki dalam Menghapus Kekerasan terhadap Perempuan Berbasis Gender, Mungkinkah?”.

Selaku pembicara seminar, Dosen Pasca Sarajana KajianWanita Universitas Indonesia Nur Iman Subono menyatakan, ada anggapan umum bahwa kekerasan terhadap perempuan merupakan masalah kaum perempuan saja. Padahal, kekerasan terhadap perempuan merupakan masalah laki-laki. “Pada kenyataannya laki-lakilah yang banyak melakukan kekerasan, dan korbannya kebanyakan perempuan,” ujarnya. Laki-laki yang biasa dipanggil “Boni” ini pun memberitahukan fakta ironis bahwa perempuan mendapat kekerasan dari sosok laki-laki terdekatnya, seperti suami, kekasih dan teman laki-lakinya.

Secara mendalam Boni menjelaskan, budaya patriarki yang berdasar logika “bapak” sebagai kendali, keistimewaan (privelege) identitas laki-laki, sifat/sikap permisif terhadap kekerasan, merupakan beberapa hal yang menjadi dasar terjadinya tindak kekerasan. Tak hanya mendapat kekerasan, perempuan pun mengalami subordinasi (perendahan status sosial), marjinalisasi (dipinggirkan dari ruang publik), dicitrakan (stereotipe) negatif, dan menanggung beban ganda (bekerja di luar dan di dalam rumah).

Banyaknya laki-laki sebagai pelaku kekerasan menjadi salah satu alasan mengapa laki-laki harus dilibatkan dalam mencegah kekerasan. “Laki-laki harus bertanggung jawab atas banyaknya kekerasan yang terjadi selama ini,” kata Boni. Selain sebagai pelaku dari banyaknya tindak kekerasan, laki-laki memiliki pengetahuan lebih baik mengenai sikap dan persepsi laki-laki, dibandingkan perempuan. Dan alasan ketiga, laki-laki dewasa bisa menjadi model/tauladan bagi generasi yang lebih muda sebagai bagian usaha membangun masyarakat anti kekerasan.

Alasan ketiga itu menjadi pelengkap dari pendapat pembicara lain, Trully Wangsalegawa. Membandingkan masyarakat di negara maju, Amerika Serikat (Amrik), dosen Universitas Nasional ini menggambarkan, relasi gender yang setara di masyarakat Amrik dibangun dari model relasi ibu-ayah yang diajarkan pada anak-anaknya. “Kita perlu mengadopsi hubungan kesetaraan gender tersebut secara utuh, jangan setengah-setengah,” ujar perempuan yang mengambil studi komparasi politik Asia Tenggara di Illinois ini.

Syafirah Hardani dari Yayasan Pulih menambahkan, bias-nya pemahaman masyarakat terhadap konsep biologis dan sosial/budaya menjadi salah satu penyebab terjadinya kekerasan berbasis gender. Umumnya masyarakat meyakini bahwa laki-laki adalah pemimpin perempuan. Budaya di lingkungan kita menakdirkan laki-laki dengan keadaan biologisnya harus bekerja di luar rumah, sedangkan perempuan di dalam rumah. “Saya menegaskan pada kita semua untuk bisa membedakan, yang mana aspek biologis, dan yang mana aspek sosial/budaya,” ujar mahasiswa Pasca Sarjana Kajian Wanita Universitas Indonesia ini.
Adapun tujuan YJP, beserta jejaring aktivismenya, mengadakan seminar ini adalah:
pertama, refleksi terhadap konstruksi sosial yang membentuk laki-laki dengan mengkritisi ketimpangan budaya dan ketidakadilan yang terjadi di dalamnya. Kedua, memahami eksistensi laki-laki bukan sebagai produk budaya machoisme (jantan berarti keras dan tak menangis). Ketiga, menyadarkan laki-laki bahwa kekerasan terhadap perempuan banyak dilakukan oleh laki-laki. Terakhir, melibatkan laki-laki untuk menghapus kekerasan berbasis gender, di mana sinergitas perempuan dan laki-laki diyakini akan sukses mengkampanyekan dan membangun masyarakat anti kekerasan dan diskriminasi.

Dari usaha kesadaran dan penjelasan permasalahan tersebut, kita bisa menjawab pertanyaan, mungkinkah keterlibatan laki-Laki dalam menghapus kekerasan terhadap perempuan berbasis gender? Jawabannya tentu, sangat mungkin.

Usep Hasan S.

Comments