Implementasi Pemberantasan Trafficking Belum Optimal

“Kenapa usaha pemberantasan perdagangan orang berjalan lambat?” Pertanyaan itu muncul dari salah satu peserta Dialog Interaktif bertajuk “Trafficking, Kebijakan dan Implementasinya”, pada hari Rabu (27/10) di Gedung Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia (KPPPARI), Jakarta. Peserta tersebut resah terhadap kejahatan perdagangan orang yang relatif tak diperhatikan. Bandingkan dengan kejahatan terorisme, yang disikapi dengan pembentukan Densus 88 dan diliput secara bersemangat oleh media.

Emmy Luci Sammy, dari Indonesia Asian Child Trafficking (Indo-Acts), menjelaskan bahwa adanya ketidakpahaman di banyak pihak mengenai trafficking. Data yang didapat dari pemantauan Yayasan Kakak di daerah Surakarta memberitahukan, di tahun 2009 ada 9 kasus perdagangan anak. Namun karena polisi tak memahami trafficking hanya 2 kasus yang diproses dengan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UUPTPPO). Emmy menambahkan, defenisi trafficking dalam UUPTPPO sudah bisa menjerat semua bentuk trafficking. “UUPTPPO sudah cukup baik, hanya saja pemahaman aparat hukum yang kurang serta tak berpihak pada perspektif korban trafficking, membuat UU ini tak digunakan dalam menjerat pelaku trafficking,” tegas Emmy.

Lisna Yoelani dari Badan Nasional dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), memberitahukan bahwa ketidakpahaman trafficking juga terjadi di masyarakat, tepatnya para tenaga kerja wanita (TKW) yang kerap menjadi korban trafficking. Ketidaktahuan ini membuat para TKW mudah terkena penipuan, perekrutan tak resmi, pemalsuan dokumen, pelecehan seksual dan menjadikan calon TKW sebagai pekerja seks komersil (PSK). Karena itu, cara awal melindungi TKW agar tak menjadi korban trafficking salah satunya dengan memberikan pendidikan dan informasi yang benar dan lengkap.

Agam Bekti Nugraha dari Kementerian Pemberdayaan dan Perlindungan Anak (KPPA) menambahkan dengan menjelaskan peranan Gugus Tugas UUPTPPO sebagai pelaksana UU. Merupakan peran Gugus Tugas UUPTPPO untuk mengkoordinasikan dan bekerjasama dalam mengadvokasi korban dan mensosialisasi trafficking. “Kami semua melaksanakan peran itu, hanya saja kami akui belum maksimal,” ujar Agam terbuka.

Satu perwakilan dari kepolisian, yang namanya tak mau disebutkan, menjelaskan keadaan di kepolisian terkait kejahatan trafficking. Menurutnya, masyarakat dan anggota kepolisian, umumnya masih memandang trafficking sebagai bentuk bisnis dan profesi. Selain masalah pandangan sosial itu, logika hukum pidana yang melekat di para anggota polisi, ternyata tak selaras dengan logika hukum UUPTPPO. “Logika hukum pidana berkata ‘satu saksi bukanlah saksi’, dan laporan korban tidak diterima. Sedangkan logika UUPTPPO membolehkan laporan korban menyertai alat bukti,” jelasnya. Polisi yang tergabung dalam International Criminal Investigative Training (ICITAP) ini menambahkah, selama ini pelatihan bagi polisi sudah dilakukan untuk pemahaman dan keberpihakan terhadap korban trafficking. “Tapi diakui usaha kami belum optimal, karena kurangnya jumlah personil dan dana,” ujarnya.

Pemaparan para pembicara ditanggapi oleh dua panelis. Yeremias Wuton dari International Organization for Migration (IOM) menekankan bahwa segala pihak yang terlibat dalam pemberantasan trafficking harus bisa menjelaskan dan menyelesaikan trafficking di skup nasional antar daerah yang jumlahnya jauh lebih banyak dibandingkan trafficking lintas negara Indonesia dengan negara luar Indonesia. Sedangkan panelis kedua, Anis Hidayah dari Migrant Care, menekankan pada pembangunan terminal khusus di setiap lokasi pemberangkatan atau pemulangan tenaga kerja Indonesia, dan usaha yang optimal dari Gugus Tugas.

Dialog interaktif ini diadakan oleh Yayasan Jurnal Perempuan, bekerjasama dengan KPPPARI dan dukungan Terre Des Hommes, sekaligus meluncurkan Jurnal Perempuan edisi 68 berjudul “Trafficking dan Kebijakan”. Dari kegiatan ini dihasilkan sejumlah rekomendasi sikap: pertama, pencanangan “Hari Anti Trafficking Nasional”. Kedua, evaluasi Pasal 2 (ayat 1) UUPTPPO yang terkesan melindungi trafficking transnasional melalui Indonesia. Ketiga, koordinasi antar pihak yang optimal dan efektif. Keempat, menyadarkan pada semua pihak pentingnya berpihak pada perspektif korban. Kelima, revisi UU Perlindungan dan Penempatan Tenaga Kerja ke Luar Negari (2004). Keenam, komitmen bersama memerangi trafficking.

Usep Hasan S

http://www.jurnalperempuan.com/index.php/jpo/comments/implementasi_pemberantasan_trafficking_belum_optimal1/

Comments