Christen Broecker: Hukum dan Implementasi Qanun Jinayat Bermasalah

“Ibuku datang untuk menjemputku (dari kantor polisi Syariah) pada pukul 07.00. Aku menangis. Dekan kampusku, Doni, ada di sana untuk menguliahiku. Seorang polisi Syariah memberitahunya bahwa aku ditangkap (di jalan sepi, dibonceng dengan sepeda motor oleh pacarku). Dia memberi tahu ibuku dan aku, bahwa aku harusnya dilempari batu sampai mati. Aku berkata, ‘Pak, saya (berdua) hanya mencoba mencari jalan pintas, dan saya harus dilempari batu karenanya? Bagaimana dengan petugas-petugas yang memperkosa saya semalam?’.”

Pernyataan itu keluar dari Nita, yang ditangkap Polisi Syariah (Waliyatul Hisbah), bulan Januari 2010. Perempuan berumur 20 tahun ini ditangkap atas tuduhan pidana berduaan di tempat sunyi (berkhalwat). Penderitaan Nita bertambah, setelah di dalam tahanan ia diperkosa oleh para petugas.

Kasus Nita merupakan satu dari sejumlah kasus yang dipaparkan Christen Broecker dalam laporan penelitiannya berjudul “Menegakan Moralitas: Pelanggaran dalam Penerapan Syariah di Aceh, Indonesia” (MMPPSA). Aktivis Human Rigths Watch (HRW) itu berkunjung ke Yayasan Jurnal Perempuan, Kamis (2/12), untuk menjelaskan MMPPSA. Dibukukan dalam 85 halaman, MMPPSA mengutarakan permasalahan dua aturan Qanun Jinayat (QJ), yaitu aturan larangan berkhalwat dan berpakaian di tempat umum.

Meski berangkat dari kasus penyalahgunaan wewenang oleh Polisi Sayriah, Christen berpendapat bahwa kedua aturan provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) itu bertentangan dengan hukum hak asasi manusia (HAM) internasional dan konstitusi Indonesia. “Apa yang terjadi di Aceh bukan hanya permasalahan implementasi hukum, tapi juga permasalahan konsep hukum. Semua individu mempunyai hak berkeyakinan, berekspresi, dan keterbukaan dalam berhubungan dengan siapa pun,” tegas alumus School of Law di New York University ini.

Laporan Christen dihasilkan dari penelitiannya di Banda Aceh, Bireuen, Lhokseumawe, Langsa dan Meulaboh, dari April s/d Mei 2010. Bersama HRW, ia mewawancara lebih dari 100 orang. 26 diantaranya adalah korban, enam pelaku (laki-laki), dan empat perempuan transgender. Wawancara pun dilakukan kepada lima perwakilan organisasi internasional, enam pejabat tinggi, dan dua ulama di IAIN Al Raniry.

Dengan melakukan pendekatan melalui sejumlah organisasi masyarakat, Christen mendapati sejumlah fakta lainnya. Di antaranya pendapat banyak informan yang tidak setuju terhadap dua aturan QJ tersebut. Tapi karena mereka takut dihukum dan dinilai sebagai anti islam, mereka tak melakukan protes.

Selain itu ada dualisme pada sikap para pejabat. Saat Christen mewawancara Wakil Gubernur NAD, pejabat ini mengakui ada kesalahan pada dua aturan tersebut. Tapi saat berbicara di tengah masyarakat, orang kedua provinsi itu mendorong masyarakat mematuhi QJ sebagai aturan publik yang sah.

Penjelasan dualisme sikap itu, menurut Christen, menandakan masih sulitnya usaha untuk menghapus aturan larangan berkhalwat dan berpakaian di tempat umum. Christen berharap, laporan yang dibuatnya bisa memberikan pemahaman yang mendorong pemerintah dan masyarakat Aceh khususnya, setidaknya, menghilangkan penyalahgunaan wewenang dalam implementasi dua aturan tersebut. “Tentu saja, idealnya dua aturan tersebut dihapus,” ujar Christen, menutup. []

Usep Hasan S.

Comments