Jejak Kekerasan Islam Maskulin

Tiga nyawa jamaah Ahmadiyah melayang di Cikeusik, Pandeglang, diiringi teriak “Allahu Akbar”. Kita boleh menduga atau yakin, ini kreasi elite mengalihkan isu atau penyudutan pihak tertentu. Tapi sediakanlah niat untuk memahami sisi lain dari kompleksitas persoalannya. Mungkin ada yang membayar kekerasan tersebut. Tapi sulit diterima jika manusia tega membunuh sesama dengan begitu yakin hanya sebatas bayaran. Ini bukan kisah mafia berprofesi memburu nyawa. Di dalam peliknya permasalahan, terasa kuat keimanan yang merestui kekerasan.

Tragedi Cikeusik tersebut memungkinkan kita membuka sejarah Islamisasi di muka bumi. Proses perjuangan dogma Islam ternyata tak lepas dari jalan kekerasan. Usia esksitensi Islam tak sedikit memunculkan wajah marah. Kumpulan individu yang meyakini agama keselamatan ini menjadikan kekerasan sebagai solusi. Agar Islam tetap murni, pemeluknya rela membunuh pihak yang dianggap mencampur atau merubah ajaran. Untuk mempertahankan Islam, muslim direstui dogma untuk melawan dengan kekerasan.

Sebagian dari kita seperti melakukan klarifikasi terhadap jejak kekerasan mengatasnamakan Islam. Dipisahkanlah Islam, antara ajaran agama dengan pemeluk agama. Persis seperti memisahkan cawan dengan anggur. Ajaran Islam ibarat cawan sedangkan (perilaku) muslim adalah minuman anggur. Ketika meneguk anggur dirasa pahit, langsung disimpulkan anggur sebagai penyebabnya. Kekerasan Islam ibarat rasa pahit yang berasal dari para pemeluknya, bukan dari ajarannya. Disimpulkan, Islam tak mengajarkan pemeluknya melakukan kekerasan, tetapi pemeluknya telah salah dalam memahami dan menjalankan ajaran Islam. Benarkah begitu?

Dogma kekerasan

Islam, yang secara bahasa berarti damai/selamat/berserah total kepada Tuhan, ternyata merekam kekerasan di dalam dogmanya. Usia muda spesies manusia diisi pertumpahan darah putra Adam, Habil oleh Qabil. Selain itu, dalam kisah penciptaan manusia, malaikat memprotes Tuhan karena makhluk bernama manusia suka melakukan kekerasan terhadap sesamanya, sehingga mengancam kerusakan bumi. Dua kisah keberasalan manusia ini memungkinkan hadirkan sikap mewajarkan kekerasan manusia.

Di dalam Al Quran, kekerasan disebutkan secara eksplisit. Melalui ayat yang diklaim sebagai ucapan Tuhan, kekerasan memungkinkan menjadi pilihan. Sebagian firman berikut bisa menggambarkan, betapa kekerasan direstui oleh ajaran kedamaian bernama Islam:

“Sesungguhnya orang-orang kafir dan mereka mati dalam keadaan kafir, mereka itu mendapat laknat Allah, para Malaikat dan manusia seluruhnya. Mereka kekal di dalam laknat itu; tidak akan diringankan siksa dari mereka dan tidak (pula) mereka diberi tangguh.” (QS. 2: 161-162)

“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (Mekah); dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan, dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjidil Haram, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu. Jika mereka memerangi kamu (di tempat itu), maka bunuhlah mereka. Demikanlah balasan bagi orang-orang kafir.” (QS. 2:190-191)

“Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu dimana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah ditempat pengintaian. Jika mereka bertaubat dan mendirikan sholat dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi maha Penyayang.” (QS. 9:5)

“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan RasulNya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.” (QS. 9:29)

“Allah mengancam orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan orang-orang kafir dengan neraka Jahannam, mereka kekal di dalamnya. Cukuplah neraka itu bagi mereka, dan Allah mela’nati mereka, dan bagi mereka azab yang kekal.” (QS. 9: 68)

“Apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir, maka pancunglah batang leher mereka, sehingga manakala kamu telah mengalahkan mereka, maka tawanlah mereka.” (QS. 47:4)

“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi kasih sayang antar sesama mereka.” (QS. 48:29)

Pelaksanaan titah illahiah tersebut menjadi bagian ketaatan kaaffah (menyeluruh) seorang muslim. Ayat-ayat tersebut belum menyertai sejumlah hadits yang juga mengandung ajaran kekerasan.

Jejak kekerasan

Di sebagian fase perluasan dakwah Muhammad, kekerasan sudah terjadi. Setidaknya dalam rentang 624-632 Masehi terdapat 26 perang yang dipimpin Muhammad (ghazwah), dan 25 perang yang dipimpin perwakilan yang ditunjuk Muhammad (sariyah). Perang Badar melawan kaum Quraisy, dan Perang Khaibar melawan Yahudi, merupakan pertumpahan darah paling monumental Islam perdana.

Sepeninggal Muhammad pun terjadi tindak kekerasan di antara pemimpin Islam dan pengikutnya. Di fase Khulafa al-Rasyidun (para pengganti yang diberi petunjuk), penggunaan dalil agama dijadikan dasar kekerasan. Bisa dibilang fase Khulafa al-Rasyidun merupakan fase paling berdarah di internal umat Islam. Masa kekhalifahan (kepemimpinan) Abu Bakar yang singkat (632-634 M) sarat peperangan dengan kelompok (yang dinilai) membelot (murtad). Muslim penolak zakat diberikan dua pilihan oleh Abu Bakar: tunduk tanpa syarat atau diperangi hingga binasa.

Bercak darah Islamisasi muka bumi semakin pekat pasca kepemimpinan Abu Bakar. Sejumlah pemimpin penggantinya, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, mati secara tidak “wajar”. Ketiga orang yang menurut hadits dijamin masuk surga ini, mati dibunuh. Belum lagi tragedi Karbala, yang menjadi ingatan kelam umat muslim sedunia, memisahkan dua sekte besar Islam, Sunni dan Syiah.

Bisa dibilang, Khawarij merupakan pihak yang paling bertanggung jawab terhadap sensitivitas teologis. Kelompok ini membentuk teologi tekstual yang mudah mengafirkan muslim yang tak mengikuti hukum teks Tuhan. Puritanismenya dengan tegas memetakan bahwa siapa pun yang tak sepaham dengannya dinilai telah keluar dari Islam. Pernyataan “kafir” terhadap seseorang atau kelompok, mendorong terjadinya pertumpahan darah.

Muncul upaya rasionalisasi ajaran Islam oleh Mu’tazilah. Konsep teologis yang dikonsepkan Wasil bin Atha (699-749 M) ini momposisikan akal di atas Al Quran. Dengan doktrin “Al Quran sebagai makhluk”, Mu’tazilah menolak ajaran yang tak sesuai dengan akal. Namun, pemosisian Al Quran tersebut berdampak hadirkan konflik besar. Bahkan untuk mempertahankan dominasi sektenya, Mu’tazilah melakukan inkuisisi (penghakiman bid’ah) terhadap sekte yang tak sejalan dengan Mu’tazilah. Kekerasan berbentuk penangkapan, penganiyayaan dan pemaksaan dogma terjadi.

Di Indonesia, selain pembunuhan dan aksi kekerasan lainnya yang dialami jamaah Ahmadiyah, juga telah terjadi kekerasan mengatasnamakan Islam oleh kelompok lain. Konflik Muhammadiyah-NU dan Sunni-Syiah, telah mengisi sejarah panjang islamisasi di Indonesia. Muhammadiyah-NU berkonflik secara teologis berdasar perbedaan liturgi, ritus dan ritual. Sedangkan konflik teologis Sunni-Syiah merujuk pada perbedaan penghormatan pemimpin Islam pasca Muhammad. Tak tahu berapa korban yang ditimbulkan konflik tersebut.

Sejarah panjang kekerasan itu tak bisa ditampik dengan pernyataan “yang salah adalah pemeluknya, bukan Islam”. Sedangkan pernyataan “perangilah orang-orang kafir...” oleh pelaku kekerasan terlalu lantang untuk tak diacuhkan. Pemisahan cawan-anggur yang menyalahkan muslim sebagai pihak yang tak memahami ajaran Islam, terlalu menyederhanakan persoalan. Ada kompleksitas dan dinamika panjang yang terjadi pada Islam.

Islam maskulin

Abad 7 M di jazirah Arab, Islam hadir bukan dalam ruang kosong. Wahyu dan hadits sebagai basis keimanan muslim dibentuk bersama kebudayaan masyarakat. Di negeri padang pasir ini individu beserta masyarakatnya tumbuh oleh perspektif laki-laki yang menekankan pada kekuatan. Tanah dan iklimnya yang panas mendorong laki-laki menjadi kuat untuk mempertahankan tanah keluarga dan masyarakat. Di Hijaz, salah satu daerah penting kelahiran Islam, musim kering selama tiga tahun merupakan hal wajar. Kehabisan sumber daya kehidupan, memungkinkan peperangan merebut atau mempertahankan tempat tinggal. Konteks ruang masyarakat ini menjadikan kekerasan sebagai pilihan menyelesaikan masalah, entah karena keterdesakan, buntunya pertukaran kepentingan atau memang merasa mampu untuk melakukan aksi kekerasan.

Bisa dibilang, semua pelaku kekerasan yang mengatasnamakan Islam adalah laki-laki. Kisah Habil dan Qabil, peperangan fase Muhammad, sweeping keyakinan dan pembunuhan Khulafa al-Rasyidun, Perang Salib, konflik NU-Muhammadiyah dan Sunni-Syiah, juga terakhir pembunuhan jamaah Ahmadiyah, semunya dilakukan laki-laki.

Masyarakat patriarki membakukan konsep maskulin terhadap laki-laki. Maskulin diartikan sebagai sifat kejantanan yang merujuk pada kekuatan otot (muscle). Perang-perangan, memanjat, berlari, berkelahi dijadikan proses pelestarian diri laki-laki sebagai makhluk yang mengedepankan kekuatan. Sedangkan sisi perasaan laki-laki (hampir) ditutup semuanya.

Bandingkan proses tumbuh kaum Adam tersebut dengan perempuan. Permainan rumah-rumahan, boneka, dan berbincang menjadi warna-warni pengisi karakter kaum hawa. Laki-laki dipisahkan dari sifat/sikap perasa, lemah-lembut-manja dan ekspresi air mata.

Islam, yang lahir di masyarakat patriarki memiliki citra maskulin. Kepemimpinan yang hanya diperuntukan bagi laki-laki (QS. 4: 34) menjadikan perang, pembunuhan dan bentuk kekerasan lainnya sebagai sesuatu yang berdimensi gender. Eksekusi, inkuisisi dan aksi bantai pasti melalui instruksi pemimpin laki-laki.

Dari pemaparan tersebut, teks dan konteks Islam sulit dipisahkan dari kekerasan. Terjadinya kekerasan yang mengatasnamakan Islam pun bersumber dari sebagian isi Al Quran dan hadits. Muslim pelaku kekerasan tak hanya berdasar pada karakter individu atau masyarakat yang terbentuk dari maskulinitas budaya patriarki, tapi juga berdasar dari ajaran kekerasan di dalam Islam.

Kita perlu menyadari dualisme ajaran Islam. Watak maskulin harus diakui menjadi bagian dalam Islam, yang kemudian bisa dikesampingkan. Sikap ini bukan untuk menyudutkan atau mengolok-olok muslim. Mengakui poros maskulinitas dalam Islam yang terus bersetubuh dengan budaya patriarki di masyarakat, justru akan mendorong upaya penghapusan watak dan tindak kekerasan di masyarakat. Cukup sudah tiga nyawa di Cikeusik menjadi jejak akhir kekerasan Islam maskulin. Ke depan kita bisa menoleh pada Islam damai untuk bisa melangkah bersama dalam perbedaan. []


USEP HASAN S.

Comments