Pluralisme "?"

“Masih pentingkah kita berbeda?”

Di tengah kisruh serta pengalaman konflik identitas agama dan golongan di Indonesia, film “?” hadir. Jalinan pita garapan Hanung Bramantyo ini menyadarkan bahwa kemajemukan Indonesia berdimensi gelap-terang. Mega berbeda adalah kaya sekaligus bahaya. Berbhineka harus selalu dijaga bagi masyarakat yang terus mencitakan “Ika”. Ini film penting di kala kemajemukan semakin genting.

“?” menceritakan pluralitas masyarakat Semarang. Islam, Kristen, Kong Hu Cu, Jawa dan Tionghoa, semuanya bersatu, berdinamika dalam perbedaan. Ada Rika (diperankan oleh Endhita), perempuan yang memutuskan bercerai, menjadi single mother. Rika harus melawan stigma masyarakat yang menilainya sebagai pengkhianat kesucian pernikahan dan Tuhan. Keyakinan jujur dari hati memberanikannya berpisah dari suaminya yang berpoligami. Perceraian bukanlah hal yang dibenci Tuhan saat keegoisan suami telah hadirkan siksa batin dan merusak prinsip kemitraan setara dalam rumah tangga. Lalu, pengembaraan iman Rika memantapkannya untuk meninggalkan Islam, memilih Katolik. Hebatnya, tak ada perlakuan yang memaksa darinya dalam memberikan pendidikan agama bagi anaknya yang tetap beragama Islam.

Melalui tokoh Surya (Agus Kuncoro), kelenjar air mata penonton dibuat bekerja saat mengikuti suka-duka pergulatan tauhidnya. Sebagai aktor figuran tak sukses, Surya terpaksa mencari uang dengan memerankan Yesus dan Santa Claus di setiap ritus keagamaan Katolik. Pragmatisme Surya itu malah semakin menguatkan keimanannya sebagai muslim. Pilihan perannya justru menjadi perlambang sosial hubungan antar umat beragama yang intim. Kita akan tertawa geli melihat Surya yang memakai ruang masjid untuk berlatih seni peran sebagai Yesus. Kita pun tak tahan mencegah tangis, saat Abi, seorang bocah Katolik yang sakit keras, menginginkan kado natal pada Surya yang berkostum Santa Claus, agar Abi cepat dipanggil Tuhan, karena Abi tak mau menyusahkan ayah dan ibu.

Lalu ada Menuk (Revalina S. Temat), muslimah taat yang bekerja sebagai pelayan makanan di “Canton Chinese Food”. Tak lupa kewajiban sembahyang di sela waktu kerja, Menuk memberikan keramahan sungguh dan penjelasan utuh mengenai menu halal kepada pembeli.

Ada juga Tan Kut San (Hengky Solaiman), seorang Tionghoa pemilik “Canton Chinese Food” beragama Kong Hu Cu, yang membedakan perabot masak dan pelayanan makanan dengan wawasan fiqh halal-haram. Pemahamannya pada Islam ia terapkan juga dengan memberikan waktu sembahyang pada pegawainya yang muslim. Di bulan Ramadan, Tan tutup restoran dengan tirai untuk menghormati yang berpuasa. Saat Idul Fitri restoran ditutup Tan sebagai pemenuhan hak berlebaran bagi pegawainya yang muslim.

Soleh (Reza Rahadian) dan Ping Hen (Rio Dewanto) yang terjebak pada streotipe patriarki Islam dan Tionghoa, bahwa laki-laki adalah pemimpin dan harus kuat. Semuanya berinteraksi seiring pasang-surut toleransi kehidupan masyarakat berbhineka. Hingga akhirnya mereka belajar untuk terus tumbuh sebagai manusia yang bermanfaat pada sesama, apapun agamanya.

Melalui semua penokohan tersebut kita menemukan kuatnya kedewasaan iman. Sejatinya kedewasaan iman merupakan keyakinan yang tak menutup terhadap perbedaan, lalu meyakini dari interaksi perbedaan, keimanan akan terus tumbuh menuju keutuhan. Kurang lebih, itulah makna pluralisme agama.

Secara umum, pluralisme merupakan istilah yang banyak di antara kita merasakan maknanya, tapi tak mengerti pemaknaannya. Padahal, bila kita bisa sadari, kita yang hidup di negara berbhineka seperti Indonesia, sangat memungkinkan, dibesarkan oleh asuhan pluralisme.

“?” MUI

Sayangnya, sikap pluralisme yang digambarkan “?” tak direstui pihak yang juga menjadi bagian dari kebhinekaan Indonesia. Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) bidang budaya, Cholil Ridwan, mengatakan bahwa pluralisme merupakan paham yang telah difatwa haram MUI di tahun 2005. Bagi Cholil, sebagai film, otomatis “?” pun haram karena mengkampanyekan pluralisme.

Pluralisme dinilai haram oleh MUI karena paham tersebut mencampuradukan agama, sehingga membahayakan keyakinan umat beragama (Islam)—www.voa-islam.com (2010/01/18). Fatwa MUI No. 7/Munas VII/MUI/11/2005 tentang Pluralisme, Liberalisme dan Sekulerisme Agama menuliskan pada ketentuan hukum: Dalam masalah aqidah dan ibadah, umat Islam wajib bersikap eksklusif, dalam arti haram mencampuradukan aqidah dan ibadah umat Islam dengan aqidah dan ibadah pemeluk lain. Kemudian dalam ketentuan umum, MUI menjelaskan bahwa Islam hanya mengakui pluralitas, bukan pluralisme.

Fatwa MUI tersebut telah mendorong masyarakat yang mengamininya untuk bersikap pasif terhadap fakta kemajemukan. Pernyataan “Islam hanya mengakui pluralitas (tidak untuk pluralisme)” berarti hanya cukup puas terhadap perbedaan saja. Bagi pihak ini, perbedaan tak perlu disikapi secara interaktif, apalagi intim.
Padahal, pluralitas selain merupakan keniscayaan nyata, dimensi gelap-terangnya akan muncul silih berganti, seiring pemahaman ragam pihak di dalamnya. Kita semua harus menyadari ini. Di samping kekayaan, pluralitas mengandung potensi bencana. Hal yang mudah dimengerti jika kita yang sama lebih mungkin didekatkan bersatu, dibanding kita yang berbeda. Sebaliknya, banyak perbedaan lebih mungkin menghadirkan konflik dibandingkan sama dan seragam.

Karena itu diperlukan pluralisme. Diperlukan sikap toleran, keterbukaan, dan kesetaraan antara kita semua yang menyertai perbedaan. Tak ada dari kita yang sempurna. Tak ada yang lebih tinggi. Pluralisme menempatkan diri dan kelompok sebagai entitas kurang yang membutuhkan diri dan kelompok lain. Ini merupakan dorongan kemungkinan yang jauh lebih kuat dalam menciptakan kerukunan masyarakat.

Bila pluralitas masyarakat mengikuti pemahaman MUI, skenario “?” bisa kita rubah. Rika akan terus menderita dengan keyakinan Islam yang merestui suaminya berpoligami. Selamanya Surya menjadi aktor figuran melarat tak bermanfaat, karena agamanya melarang membantu pelaksanaan ibadah pemeluk agama lain. Menuk tak akan bekerja di “Canton Chinese Food”, hingga ia harus mencari lagi pekerjaan sana-sini untuk mempertahankan keluarganya sehingga tak ada dialog intim Islam-Kong Hu Cu di restoran itu. Tan Kut San tak akan memahami Islam, sehingga tak ada pelayanan makanan halal bagi muslim, dan penghormatan bulan Ramadan serta Idul Fitri. Selamanya Soleh dan Ping Hen terjebak pada streotipe patriarki Islam dan Tionghoa, bahwa laki-laki adalah pemimpin dan harus kuat, lalu menindas etnis dan pemeluk agama yang berbeda.

Dengan jalan pikir MUI tersebut, bisa dibayangkan, ke depannya keragaman agama dan identitas lainnya di Indonesia akan hilang. Tirani identitas (yang mengatasnamakan) mayoritas akan mendominasi masyarakat, menetapkan standar moralnya sebagai aturan publik. Saat berpikir seperti MUI, kita akan yakin, untuk menjawab pertanyaan tagline film “?” yang berbunyi, “masih pentingkah kita berbeda?” Jawabannya: tidak! []

USEP HASAN S.

http://www.islamlib.com/id/artikel/pluralisme

Comments

Nune said…
panjang euy.. like this! (n_n)