Dialog Empatik antar Umat Beragama


Imad : “Peace be with you
Balian : “Alaikum salam
Dialog itu terdapat dalam film Kingdom of Heaven. Imad (Alexander Siddig), kaki tangan Salahuddin Al-Ayyubi, memberi salam kepada Balian (Orlando Bloom), seorang tentara Salib. Dengan senyum damai, Balian membalas salam yang biasa digunakan penduduk Yerussalem. Ini sikap saling memahami terhadap identitas yang bertikai.
Ridley Scott, sang sutradara, sengaja menyisipkan pesan empatik tersebut. Sebagian kritikus menilai, Ridley terlalu meninggikan Islam. “Karena orang seperti itulah dunia ini tak pernah damai,” ujar Ridley menanggapi kritik.
Mungkin memang tak ada dialog-salam itu dalam sejarah perang salib. Tapi mungkin juga, perdamaian memang memerlukan usaha yang melampaui sejarah. Derita, air mata, darah dan nyawa yang hadirkan dendam sebaiknya memang dilupakan, lalu dikonstruksi dengan sikap positif menyertai tafsir kekinian untuk masa depan yang lebih baik.
Kita perlu menarik sikap empatik Imad dan Balian di kehidupan sekarang. Meski gesekan muslim dengan kristiani (atau lainnya) tak sehebat perang salib, ada kecendrungan intoleransi kini semakin menguat. Tentu kita yang peduli tak mungkin membiarkannya.

Salam Empatik
Dalam kehidupan Indonesia yang berbingkai Bhineka Tunggal Ika, konflik agama masih terjadi. Belakangan ini pun toleransi antar pemeluk agama cenderung menipis. Penutupan paksa gereja jamaah Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) merupakan bentuk intoleransi yang dilegalkan dalam Surat Kesepakatan Bersama (SKB) Tiga Menteri tentang Pendirian Rumah Ibadah. Di Bekasi, ketidakpahaman sebagian muslim terhadap ajaran Kristen, hadirkan tafsiran “Trinitas” terhadap patung besar “Tiga Mojang” karya Nyoman Nuarta, sehingga patung yang berada di lingkungan perumahan Bekasi tersebut disingkirkan.
Dari keadaan tersebut, diperlukan bentuk usaha lain dalam membangun dan menjaga hubungan antar umat beragama. Memang banyak kemungkinan di tengah kompleksnya keadaan. Tapi ada kesimpulan yang bisa kita amini bersama bahwa selama ini, Indonesia yang ika atas bhineka sebetulnya terpisah satu sama lain. Toleransi yang menjadi perekat antar umat beragama hanya diartikan sebagai sikap untuk tak saling mengganggu saja, sehingga tak ada pemahaman satu sama lain. Kehidupan bersama antar umat beragama hanya gerak urasan masing-masing. Tak ada usaha saling memahami.
Untuk mengurangi potensi konflik beragama, kita harus merubah sikap acuh tak acuh tersebut. Diperlukan sikap empatik dalam interaksi antar umat beragama. Sikap yang berusaha untuk merasakan dan memikirkan perasaan dan pikiran orang (yang berbeda) di luar kita. Sikap inisiatif untuk memahami tradisi dan ajaran agama di sekitar kita. Sikap kebersediaan dan kemampuan berinteraksi secara aktif dan empatik antara pemeluk agama satu dengan pemeluk agama lain; sikap aktif dan responsif dalam mengangkat keberagaman dan perbedaan yang ada di luar agama yang dipeluk.
Sebagian dari kita berusaha mewujudkannya dengan mengucapkan selamat dalam moment hari raya tahunan agama. Tetapi sikap empatik ini tak diwujudkan, dijaga dan dilestarikan dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga, interaksi empatik antar umat beragama terkesan hanya sebatas rutinitas tahunan yang hanya terasa pada hari raya agama.
Di sini, salam memberikan peranan penting dalam membangun, menjaga dan melestarikan hubungan antar umat beragama. Biarlah frase salam yang simbolik dan terasa teologis seperti assalamu’alaikum, shalom, om swastiastu, namo Buddhaya atau namaste tetap ada dan kuat terasa di masing-masing komunitasnya, tetapi dengan sikap empatik kita akan menyapa dan mendekati serta melakukan hubungan yang berkelanjutan melalui simbol itu. Mengutip istilah dari Chumaidi Syarif Romas, simbol itu lembut, karena itu dia mudah “mempengaruhi”.

Salam: antara Budaya dan Keyakinan
Dahulu Gus Dur (sapaan akrab Abdurrahman Wahid) pernah memberikan pandangannya mengenai ucapan assalamu’alaikum. Menurutnya bentuk ekspresi normatif dan kultural, belum tentu harus sejalan. Frase assalamu’alaikum dalam shalat tak bisa diganti karena merupakan bentuk normatif. Tapi frase assalamu’alaikum dalam sapaan merupakan bentuk kultural yang bisa digantikan dengan frase lain, seperti selamat pagi dan sebagainya (Tabayun Gus Dur, Yogyakarta: LkiS, 1998).
Dari pandangannya tersebut, Gus Dur menempatkan ucapan assalamu’alaikum pada dua ruang yang berbeda, privat dan publik (sosial). Yang pertama merupakan ucapan ritus keyakinan, sedangkan yang kedua merupakan bahasa budaya. Salam di ritus keyakinan bersifat tetap. Sedangkan bahasa budaya bisa berubah sejalan dengan perbedaan dan perubahan masyarakat setempat. Dengan kalimat lain, Gus Dur menilai tak mengapa bila ucapan assalamu’alaikum dalam sapaan diganti dengan ucapan “salam”, “selamat pagi/siang/sore/malam”, atau bentuk salam lainnya yang biasa digunakan dan dimengerti.
Pandangan Gus Dur itu ditentang oleh sebagian muslim. Kendatipun lebih disebabkan adanya distorsi substansi terhadap pernyataan utuh Gus Dur oleh media, reaksi penentangan tersebut menandakan banyaknya pemeluk agama yang memiliki pandangan bahwa ucapan salam adalah frase salam keagamaan yang sangat terkait dengan keyakinan. Ini pertanda bahwa ucapan salam yang simbolik di komunitas agama masih dipegang teguh dalam interaksi kesehariannya.
Sangat disayangkan memang jika usaha keterbukaan Gus Dur tersebut dinilai negatif oleh (sebagian) pemuka agama dan masyarakat. Desakralisasi yang dilakukan Gus Dur penting untuk membedakan antara agama (syariat) Islam dan budaya (arab). Pemahaman muslim Indonesia yang terlalu mengidentikkan arab dengan Islam, sulit menyadari maksud inklusivitas Gus Dur.
Fakta tersebut menyimpulkan bahwa pemahaman agama di masyarakat yang masih simbolik. Kita mengakui, menerima, menghargai dan menggunakan eksistensi keragaman frase salam setiap agama. Tapi dengan sikap empatik kita menjadikan pluralitas salam sebagai jembatan untuk saling memahami antar kita yang berbeda.
Kita sadar pemahaman kehidupan antar umat beragama yang didapat di bangku sekolah dan masyarakat hanya sekedar mengakui eksistensi keberagaman agama. Kehidupan antar umat beragama belum beranjak kepada bingkai pluralisme yang memiliki semangat serta sikap kebersediaan dan kemampuan berinteraksi secara “mesra” antara pemeluk agama satu dengan pemeluk agama lain. Kehidupan antar umat beragama baru sebatas menyatakan dan mengakui keberagaman. Kita belum terbiasa hadir dalam bentuk sikap yang inisiatif-aktif dan responsif dalam mengangkat keberagaman agama.
Saatnya bagi kita untuk mengucap salam yang tak hanya berarti sapaan, tetapi juga berarti pemberian doa, pengakuan dan penghormatan keyakinan serta perwujudan identitas keagamaan seseorang. Ucapkanlah assalamu’alaikum (damai sejahtera menyertaimu) kepada muslim. Ucapkanlah shalom (damai sejahtera) kepada kristiani. Ucapkanlah namo Buddhaya (terpujilah Buddha) atau namaste (salam kehormatan bagimu) kepada pemeluk Buddha. Ucapkanlah om swastiastu (semoga kita dalam lindungan-Nya) kepada yang beragama Hindu. Begitu pula kepada pemeluk agama lain.
Perlu keyakinan dan pemahaman kuat untuk menempatkan salam empatik sebagai salah satu cara pembelajaran bagi kita dalam berinteraksi di tengah keragaman umat beragama. Ini merupakan cicilan dalam membangun, menjaga dan melestarikan kehidupan antar umat beragama yang penuh dengan nuansa persahabatan dan kedamaian. Empatik bersalam merupakan bentuk lompatan bagi kita yang ingin keluar dari jebakan eksklusifitas beragama yang sempit dan kaku, menuju inklusifitas beragama yang luas dan luwes.
Dari eksklusifitas beragama, menuju inklusifitas beragama. Dari pasif menjadi inisiatif-aktif dan responsif. Jadi, cobalah untuk empatik mengucap salam. Ke depan, tak akan ada lagi konflik antar umat beragama, apalagi sampai hadirkan kembali perang salib. []
USEP HASAN SADIKIN

Comments