Freedom! The sun is still shining!
(Sophie Scholl)
Bayangkan, kita
berada dalam barisan berseragam. Rapih, sama, tegak dan serentak seiring teriak
perintah. Mungkin kita merasa ini manis harmonis. Atau mungkin kita berpikir,
hidup tak berkonflik itu asyik. Saat kita merasa dan berpikir itu serta nyaman
di dalamnya, sejatinya anda kehilangan kebebasan. Seiring itu kita telah
menerima fasisme.
Sophie Scholl,
perempuan muda, mengalami dua bentuk fasisme. Kapan pun, di mana pun. Fasisme pertama bernama patriarki.
Fasisme kedua bernama rezim otokrasi (orang tua).
Feminism vs fascism
Patriarki
merupakan budaya dominasi lelaki terhadap perempuan. Bagian sistem hidup yang
menempatkan lelaki sebagai pemilik kuasa ini menjadikan perempuan di posisi
yang lebih rendah dari laki-laki.
Secara massif
patriarki menetapkan kodrat perempuan di dalam rumah (domestik). Dapur, kasur
dan sumur menjadi ruang abadi homo sapiens bervagina. Penetapan kodrati ini
berdampak pada tak diprioritaskannya perempuan untuk bicara, bersikap,
berpendidikan dan bercita-cita. Kealamian perempuan adalah lemah, lembut, diam,
diarahkan, dan manut serta menekankan perasaan.
Patriarki bersifat
fasis karena menyeragamkan semua perempuan. Seiring itu, lelaki pun
diseragamkan. Homo sapiens berpenis harus bekerja di luar rumah (publik).
Dampaknya lelaki dimaknai lelaki jika kuat, cepat, lantang, mengarahkan, dan
bisa berontak serta menekankan pada pikiran.
Feminisme adalah
lawan dari ketakadilan relasi bernama patriarki. Perspektif yang menyertai
pengalaman kebertubuhan ini mendorong kesadaran, solidaritas, dan gerakan perlawanan
sekaligus terhadap fasisme patriarki. Tujuannya menciptakan ruang perbincangan
yang bebas setara untuk keadilan.
Sophie, satu-satunya perempuan di persidangan Pemerintahan Kuasa Nazi, secara tak langsung memperjuangkan haknya berpolitik.
Sebagai perempuan mahasiswa yang pasif, Sophie menjadi martir "kebetulan" dalam perlawanan terhadap tirani.
Kita tahu, di Jerman saat itu, sama
halnya di Indonesia saat Orde Baru. Keadaannya, pemerintah dan bagian masyarakat
berkuasa menyatu sebagai entitas politik tak bebas yang menindas. Melalui aksi didik
di kampus Sophie bercita tentang kebebasan multidimensi, kemerdekaan. Jika tak
mendapatkanya, mati memperjuangkannya lebih baik.
Freedom vs fascism
Kebebasan adalah
pengupayaan utuh hak asasi manusia. Seberapa bebaskah kita bisa diketahui
dengan menjawab, apakah kita sudah memenuhi hak hidup, hak berkeyakinan,
berpolitik dan berpendidikan? Jika sudah apakah orang lain pun sudah
memenuhinya?
Kebebasan
mengasumsikan makhluk secara alamiah memiliki kemampuan untuk berpikir, merasa, dan memilih bagi dirinya sendiri. Karena itu, kebebasan jika dimaknai sebagai
sistem bermasyarakat dan bernegara, merupakan sistem yang percaya bahwa
individu di dalamnya berkemampuan memilih kebaikan dan kebenaran diri sendiri.
Fasisme cenderung
memaksakan apa yang disebut sebagai sama solid sebagai hal yang baik terhadap
individu. Tapi kalau kita cermati apa yang selama ini dinamakan kepentingan
bersama atau yang sama solid lebih banyak sebagai kepentingan satu atau
segelintir orang.
Sistem yang paling
mungkin menampung kebebasan sebagai pengupayaan HAM adalah demokrasi. Fasisme
yang otokrasi, jelas bertentangan dengan demokrasi.
Otokrasi Orde Baru
yang sejalan dengan fasisme Nazi sudah ditumbangkan pemuda. Tapi fasisme yang memaksa kita untuk seragam dalam
ber-pikir/rasa dan sikap akan selalu ada. Apakah kita terjamin bebas dari
fasisme? Jawabannya bisa kita bincangkan. Tapi yang pasti, kita yang muda,
khusus perempuan, mengalami hasutan fasisme tinggi kadar.
Tak sedikit bentuk
fasisme yang kita temui—atau malah kita menjadi bagiannya. Setiap individu yang
khas, yang sejatinya mempunyai kebebasan memilih beragam, malah secara
massif berlomba mencapai bentuk-bentuk tunggal. Ada yang bangga berjamaah
dengan identitas agama tapi tak tahu keberasalan maknanya adalah perlawanan
terhadap kuasa menindas. Ada yang eksis ber-t-shirt anarkis(me) tapi manut pada
pemerintahan korup yang overcitra dan melankolis. Ada yang ber-lalala lirik
cinta vulgar seadannya dengan musik C Am Dm G sambil tak acuh pada keaktualan
dunia. Ada yang mengatasnamakan hak
asasi dan demokrasi tapi ingin membubarkan suatu organisasi.
Betul memang, kita
sekarang lebih bebas dibandingkan masa saat Sophie Scholl menjemput
kematiannya. Fakta membuktikan, selebaran yang diperjuangkan White Rose saat
ini sudah banyak penggantinya, cetak, tayang, suara dan maya. Tapi saat kita
berpikir tak perlu lagi menjaga dan memperluas kebebasan, justru kita
mengkhianati kebebasan itu sendiri.
Apakah kita mau
mengikuti Sophie memperjuangkan kebebasan kita? Memenuhi hak asasi kita untuk
hidup, berkeyakinan, berpolitik, dan berpendidikan. Disiksa, dipenjara, dan/atau
dibunuh adalah konsekuensi perjuangan. Tapi mati pun adalah konsekuensi kita
yang hidup. Tinggal pilih, mati karena memperjuangkan kebebasan atau mati
karena usia atau kecelakaan di alur hidup yang tak peduli adanya penindasan
kemanusiaan? []
USEP HASAN SADIKIN
Comments