
Pemilihan Umum 2014 kian dekat, geliat pragmatisme
partai menguat. Kesimpulan ini diambil dari pernyataan anggota fraksi yang
selama ini dikesankan partainya sebagai entitas politik struktural yang
ideologis.
Anggota Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Anis Matta
dalam Todays Dialogue Metro TV “Quo Vadis Partai Islam” menjelaskan, dipilihnya
partai disebabkan apakah partai tersebut bisa mengetahui kebutuhan calon
pemilih. Di episode lain Anis mengatakan, penekanan ideologi membuat kita
mundur berpolitik.
Setali tiga uang, Anggota Fraksi Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan Ganjar Pranowo berkata pada Rumah Pemilu (27/9), selama
ini aspirasi masyarakat tak bergantung partai dan suara hilang oleh ambang
batas tak penting. “Klaim ideologi itu romantisme individual,” katanya.
Peryataan Anis bisa dikritisi dengan fakta bagaimana
PKS bisa mendapat suara. Sebagai partai kader, PKS tentu menjadikan ideologi
sebagai dasar keberadaan perwakilan partai di parlemen. Suara PKS banyak dari
rakyat yang menjadi kader partai atau berafiliasi pada ideologi PKS. Asas yang
ditetapkan PKS sebagai partai adalah Islam. Dalam kaderisasi anggotanya, PKS
yang menyertai jamaah Tarbiyah menanamkan islamisme bercita khilafah islamiyah.
Merujuk pada penjelasan apa, bagaimana, fakta suara,
nilai dan cita PKS, pernyataan Anis bertentangan. Justru, dipilihnya PKS bukan
soal kebutuhan rakyat yang diasumsikannya sama. Rakyat memilih PKS atas dasar
ideologi. PKS berbeda dengan partai lain pun karena ideologi.
Pernyataan Ganjar pun bertentangan bila merujuk pada
sejumlah produk undang-undang. UU Pornografi, UU Kesetaraan Gender serta perda
bernuansa Islam, merupakan sebagian undang-undang yang mengalami perdebatan
ideologis saat dirancang maupun disahkan. PDIP merupakan fraksi yang kuat
terlibat dalam asupan isi dan pengesahan.
Belum lagi kesesuaian antara partai pendukung calon
presiden. Saat seorang terpilih menjadi presiden, parameter tepat atau meleset
suatu kebijakan adalah ideologi. Liberalisme HAM menuntut presiden
menyelesaikan korban dan orang hilang yang disebabkan pemerintahan masa lalu.
Feminisme menuntut pemerintah tegas berpihak pada perdagangan perempuan dan
buruh migran. Sosialisme menuntut undang-undang industri berpihak pada kelas pekerja.
Islamisme menolak saat minyak dalam negeri tak diprioritaskan pada kemaslahatan
umat.
Parlemen ideologis
Demokrasi secara prosedur menempatkan partai sebagai
pemangku kebijakan yang paling penting. Kebijakannya bukan hanya pada pilar
legeslatif tapi juga posisi pemimpin tertinggi eksekutif, presiden. Pada
konteks bermasyarakat demokrasi menempatkan partai sebagai keterwakilan
sejumlah kelompok menyertai ideologi. Partai merupakan penghubung ideologi
masyarakat ke pemerintahan. Jika nilai dan bentuk ideologi ingin diperluas
melalui pemerintahan, jalan satu-satunya melalui partai.
Jika kita cepat-cepat menetapkan ideologi di
masyarakat, jumlahnya ada tiga. Nasionalisme, islamisme dan pembangunanisme
(developmentalism). Nasionalisme diusung PDIP secara spesifik dengan istilah
marhaenisme. Islamisme diusung PKS dan PPP. Sedangkan pembangunanisme dengan
istilah Pancasila diusung Golkar dari era Orde Baru dan kini diikuti Demokrat.
Meski relatif banyak pemilih PKS mempertimbankan dasar
ideologi, secara umum masyarakat tak menyatakan pentingnya ideologi. Sangat
jarang orang mengatakan, “saya pilih PDIP karena mengusung marhaenisme.”
Kecenderungannya masyarakat memilih partai berdasarkan program. Jika partai
bisa merumuskan UU yang mendorong pemenuhan hak pendidikan 12 tahun, hak
kesejahteraan buruh, tani dan nelayan, itu jadi pertimbangan memilih. Tapi,
bukan berarti ideologi tak penting.
Apa hal yang bisa menjamin komitmen berkelanjutan
partai dalam menjalankan programnya? Jawabannya, ideologi.
Dari Pemilu 2009 ada sembilan partai yang menjadi
anggota parlemen. Partai Demokrat meraih paling banyak suara 26% dari total
pemilih se-Indonesia yang berjumlah 121.588.366 pemilih. Setelah itu diikuti
Golkar (19%), PDIP (17%), PKS (10%), PAN (8%), PPP (7%), PKB (5%), Gerindra
(5%) dan Hanura (3%).
Jika partai digabungkan berdasarkan ideologinya maka
persentase total suaranya, Pancasila 66%, islamisme 17% dan nasioalisme 17%.
Kenyataannya, Golkar dan Demokrat yang berideologi pancasila tak mengindahkan
“keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Kenyataannya, partai “wong
cilik” berideologi marhaenisme malah menjual aset negara yang seharusnya
dipertahankan untuk kemaslahatan rakyat. Kenyataannya, UU Pornografi jadi
terasa seperti dagangan politik PKS karena faktanya Arifinto melihat blue film
di ruang dewan tempat UU pengatur syahwat itu dirumuskan.
Ideologisasi parlemen merupakan upaya pengingatan
tegas terhadap partai untuk mengacu pada ideologi dalam fungsi parlemen.
Ideologi berasal dari permasalahan masyarakat. Kehadirannya ditetapkan
pemikiran dan praksis sebagai solusi. Ideologi merupakan syarat partai berdiri
sebagai bentuk keberpihakan yang mengatasnamakan keterwakilan masyarakat. Ini
bukan sekedar tempelan.
2014 kita akan kembali menghadapi pemilu. Sikap kita,
bila tak bisa menjamin atau tak dapat jaminan suatu partai bisa menjalankan
program berdasar ideologinya, kita jangan pilih partai itu. Penguatan jaminanya
bisa berupa kontrak komitmen pada masyarakat beserta media yang bersanksi
pengunduran anggota dewan dari parlemen.
Hanya ideologi yang bisa menilai anggota dewan di
parlemen bisa bekerja secara ideal dan memihak rakyat. Ini jaminan untuk
menghilangkan pragmatisme politik. []
USEP HASAN SADIKIN
Jurnalis Rumah Pemilu
Comments