“Indonesia bukan hanya negara berpenduduk muslim terbanyak, tapi juga terbaik (di dunia).”—Hamid Basyaib.
Kita tentu sepakat, keistimewaan Indonesia
terletak pada kemajemukannya. “Bhinneka Tunggal Ika” sebagai slogan yang
dicengkeram Garuda merupakan simbolisasi realitas segalaperbedaan yang diikat
satu kata, Indonesia. Yudi Latif menilai, rekonsiliasi Afrika Selatan Nelson
Mandela saat menghantam Apharteid terlalu remeh jika dibandingkan ikatan bangsa
Indonesia. Ratusan suku dan bahasa serta berbagai macam agama dan warna kulit
spesies manusia terhampar di tanah air yang belasan ribu pulaunya dipisah
lautan.
Berjalannya kehidupan berbangsa-bernegara,
sesekali keistimewaan Indonesia mendapat ujian. Beberapa kelompok menggangu
kelompok yang lain. Kemajemukan Indonesia terancam oleh bagian dari kemajemukan
Indonesia sendiri. Satu di antara kelompok pengganggu mengatasnamakan “Islam”.
Sesat pikir logika mayoritas
Berjalan lebih dari satu dekade pascareformasi,
kemajemukan Indonesia semakin terlihat. Kebebasan sebagai buah reformasi ibarat
lampu terang yang menyorot ragam identitas untuk eksis di catwalk ruang publik.
Masing-masing saling mempengaruhi, mendialogkan, menawarkan, menjual,
menghasut, bahkan ada yang memaksa.
Otonomi daerah sebagai salah satu agenda
reformasi, di sisi lain, malah menghadirkan bentuk pemaksaan.Ini terjadi tak
hanya dalam politik formal tapi juga politik kultural.
Pemerintah daerah (Pemda) Nangro Aceh Darussalam
(NAD) dengan sejumlah qanun/undang-undang menjadikan hukum Islam sebagai aturan
publik. Hukuman cambuk, pewajiban berjilbab bagi perempuan, bisa baca Al Quran
sebagai syarat menikah, serta usaha pengesahan hukuman rajam, merupakan bentuk
otoritarian terhadap realitas publik yang majemuk.
Sejumlah pemerintah daerah lain pun membuat
peraturan daerah (Perda) yang tak sesuai dengan semangat Bhinneka Tunggal Ika.
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) melaporkan
pemantauannya dengan tajuk “Atas Nama Otonomi Daerah” (Komnas Perempuan, 2010).
Meski tak seakut NAD, Pemda Jawa Barat, Sumatera Barat, Kalimantan Selatan,
Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat dan Jawa Timurpun memasukan hukum
“berbau” Islam ke dalam Perda. Pemda seakan tuli terhadap ragam suara lain
warganya dan tak mengindahkan protes yang ada.
Para pihak yang mendukung Perda tersebut
menyatakan, Perda sesuai dengan identitas budaya masyarakat daerah yang
islamis. Suara konstituen sebagai suara mayoritas warga yang memilih
pemerintahan dijadikan dasar untuk memberlakukan Perda karena dinilai mewakili
aspirasi mayoritas.
Sesat pikir logika mayoritas tersebut tak hanya
terjadi di Pemda melalui Perda-nya. Dalam kehidupan sosial sebagian masyarakat
pun mengatasnamakan mayoritas untuk memaksakan kehendak. Masyarakat initak
menerima ekspresi minoritas yang hadir di ruang publik. Patung besar “Tiga
Mojang” karya seniman Bali, Nyoman Nuarta, yang berlokasi di perumahan Bekasi,
disingkirkan warga luar perumahan. Alasan penyingkir adalah, “Tiga Mojang”—yang
ditafsirkan penyingkir sebagai simbol Trinitas—tak sesuai dengan karakter
mayoritas masyarakat Bekasi yang beragama Islam.
Tirani mayoritas pun membuat warga beragama
minoritas kesulitan membangun rumah ibadah. Surat Kesepakatan Bersama (SKB)
Tiga Menteri tentang Pendirian Rumah Ibadah menyulitkan pemeluk agama minoritas
(beserta ragam sektenya) membangun rumah ibadah. Aturan ini dijadikan palu
godam oleh kelompok yang mengatasnamakan Islam untuk melarang dan melakukan
kekerasan terhadap jamaah agama minoritas yang beribadah di rumah pribadi atau
rumah ibadah yang belum mendapat izin.
Belum lagi yang terjadi di sekolah negeri.
Penyeragaman berdasar moral kelompok agama mayoritas terjadi melalui
jilbabisasi sekolah negeri. Hampir seluruh SMA negeri di Indonesia
memberlakukan seragam jilbab di hari Jumat.Dicantumkannya kata “akhlak” oleh
pemerintah pada visi pendidikan nasional mendorong penyeragaman di sekolah negeri
semakin kuat dan menyentuh luas aspek privat. Akhlak cenderung dimaknai sebagai
tujuan membentuk lulusan yang agamis. Kata “agamis” pun kemudian lebih
dirasakan maknanya sebagai “Islamis” karena mayoritas murid dan guru di sekolah
beragama Islam. pemahaman mayoritas inilah yang menilai bahwa pakaian yang
dinilai benar danpaling luhur untuk perempuan adalah jilbab.
Pemaksaan mengislamkan, tak hanya berlaku pada
relasi antar satu agama dengan agama lainnya. Pemaksaan pun terjadi di dalam
masyarakat Islam sendiri. Karakter Islamisme yang terus mendesak kepada
ke-Islaman yang tunggal serta murni akan menyalahkan pemeluk Islam yang “beda”.
Di sini arti “beda” dipertentangkan dengan Islam Arab atau Islam pada umumnya
yang biasa disebut ahlulsunahwaljamaah (aswaja). Kelompok Islam yang menjadi
korban karakter memaksa atas dasar ketunggalan adalah Islam Ahmadiyah.
Demokrasi radikal dan Islamisme
Arskal Salim dalam “Islam di antara Dua Model
Demokrasi”—Wajah Muslim Liberal Indonesia, penerbit Utan Kayu 2002—mengutip
pendapat Robert Pinkney, secara mendasar demokrasi memiliki dua model.
Demokrasi radikal adalah model pertama. Sedangkan model keduanyaadalah
demokrasi liberal.
Demokrasi radikal ditandai dengan kuatnya
pandangan bahwa hak-hak setiap warga negara dilindungi dengan prinsip persamaan
di depan hukum tetapi perhatian yang diberikan tidaklah sama besar dengan
perlindungan hak individu. Demokrasi radikal menilai, kehendak mayoritas adalah
yang terpenting.Negara bagi demokrasi radikal diartikan tak lebih sebagai
posisi melaksanakan kehendak mayoritas. Wawasan demokrasi semacam ini cenderung
lebih menekankan makna formal demokrasi.
Sebagian kelompok Islam mengartikan demokrasi di
Indonesia menurut model demokrasi radikal. Bagi kelompok ini demokrasi ibarat
angin segar untuk memperjuangkan syariat Islam. Paham yang memperjuangkan
syariat Islam sebagai aturan publik bermasyarakat dan bernegara ini oleh
sejumlah kalangan dinamakan Islamisme.
Salah satu peletak dasar Islamisme, Sayyid Qutb
melalui karyanya “Petunjuk Jalan” menjadikan Islamisme sebagai konsep yang
membentuk budaya umat Islam yang penerapannya diperluas ke segala bidang
kehidupan. Ini merupakan pemaknaan Islam sebagai ”Ad-Din”. Ad-Dindinilai
Islamisme sebagai halyang berbeda dengan ”agama”.Agama hanya berfungsi mengatur
perihal spiritual hubungan manusia-Tuhan.Sedangkan Ad-Din adalah sistem
kehidupan manusia yang di dalamnya terdapat aturan segala bidang, seperti
sosial, politik, ekonomi, hukum, budaya, termasuk spiritual.
Di Pemilihan Umum (Pemilu) 1999 Islamisme hadir
dalam wujud partai politik. Partai Keadilan—yang sekarang bernama Partai
Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Masyumi Baru,
Partai Syarikat Islam Indonesia, merupakan sejumlah partai yang memperjuangkan
penerapan syariat Islam sebagai program utama partai. Namun program tersebut
ternyata tak laku di pasar Pemilu.
Islamisme via pemilu parpol memang tak disambut
antusias masyarakat. Tapi ruang bebas dan setara dalam kemajemukan Indonesia
tetap menampung kelompok pengusung Islamisme. Sejalan dengan proses dan
pengaruh Islamisasi di masyarakat, aspirasi penerapan syariat Islam selalu ada
dan cenderung berkembang. Banyak sekolah negeri mewajibkan berjilbab bagi
perempuan di hari Jumat dengan alasan variasi seragam. Guru-guru agama Islam
pun mewajibkan siswi berjilbab saat pelajaran agama sebagai penilaian afektif
pada kurikulum. Serta organisasi Rohani Islam (Rohis) yang meyakini syariat
Islam dan kekhalifahan sebagai sistem bernegara satu-satunya, tumbuh subur di
jenjang sekolah menengah pertama hingga kampus.
Kinerja pemerintah yang buruk serta penilaian
dekadensi masyarakat, khususnya kaum muda, menciptakan pemahaman sebagian
masyarakat bahwa syariat Islam merupakan solusi segala masalah masyarakat dan
negara. Pemahaman ini mendorong pengupayaanIslamisme untuk menyeruak hingga ke
pemerintahan dalam bentuk aspirasi (sebagian) warga. Di tingkat nasional muncul
Rancangan Undang-Undang Pornografi dan Pornoaksi yang telah disahkan menjadi
Undang-Undang Pornografi. Undang-undang ini merupakan usaha kolaborasi sebagian
pihak pemerintah, masyarakat dan akademisi pengusung Islamisme.
Terlepas dari pengertian demokrasi radikal, kaum
Islamisme sebenarnya menilai demokrasi sebagai hal yang bukan bagian dari pada
Islam. Sebagai sistem pemerintahan,demokrasi merupakan lawan dari sistem
pemerintahan Islam berbasis syariat (Al Quran dan Hadist) bernama kekhalifahan.
Namun untuk kondisi sekarang, kaum Islamisme menilai demokrasi sebagai sarana
yang bisa digunakan untuk mewujudkan kekhalifahan.
Terlihat watak oportunis Islamisme di sini. Ia
memanfaatkan ruang kemajemukan yang bebas dan setara. Tujuannya agar semua
muslim menjalankan syariat Islam (versi tertentu) melalui peraturan negara
maupun daerah. Dengan ini, dalam konsep pemerintahan yang ingin dicapai, pihak
pengusung Islamisme menempatkan kelompoknya sebagai yang utama di atas kelompok
lainnya.
Indonesia majemuk yang bebas dan setara
Jelas demokrasi radikal tak prospek untuk
kemajemukan Indonesia. Iklimnya ibarat ruang pertarungan para fasis yang ingin
berkuasa. Ia menghanguskan perbedaan untuk mempertahankan kuasa. Islamisme yang
berwatak fasis tentu menyukainya.
Kita yang mencitakan Indonesia majemuk, yang
terjaga dan terus tumbuh, membutuhkan demokrasi yang melestarikan dan
memperluas prinsip kebebasan dan kesetaraan. Inilah model kedua demokrasi,
menurut Pinkney, demokrasi liberal.
Demokrasi liberal merupakan demokrasi yang lebih
menekankan pada pengakuan terhadap hak-hak warganegara, baik sebagai individu
maupun anggota masyarakat. Model pemerintahan “dari, oleh, dan untuk rakyat”
ini lebih bertujuan menjaga tingkat representasi warganegara dan melindunginya
dari tindakan kelompok lain ataupun dari negara. Di sini negara bukan sebagai
operator kehendak mayoritas. Negara lebih berfungsi sebagai wasit untuk
menjamin terpeliharanya tingkat representasi dan perlindungan bagi segenap
warganegara.
Di iklim demokrasi liberal tak boleh ada kekuatan
kelompok apa pun yang memaksakan dirinya menjadi dominan terhadap kelompok
lain. Pemerintahan memang dibentuk melalui perwakilan berdasar suara mayoritas
tapi bukan berarti atas nama suara mayoritas bisa menghilangkan kelompok
minoritas. Bukan berarti beragamnya masyarakat harus mengikuti kemauan
mayoritas. Prinsip kebebasan demokrasi ini menjamin semua kelompok tetap ada
dan tumbuh serta memungkinkan lahirnya kelompok baru. Prinsip kesetaraannya pun
mengurungkan kelompok mayoritas menjadi warga negara utama. Mayoritas dan
minoritas, keduanya setara di mata negara demokrasi liberal.
Atas dasar itu demokrasi liberal tak bisa
mengabulkan tuntutan penegakan syariat Islam dalam konstitusi/peraturan negara
dan daerah bagi Indonesia majemuk. Pemberlakuan syariat akan berakibat
penyeragaman suatu agama dan ekspresi beragama pemeluknya. Hal ini tak sesuai
dengan kebebasan beragama sebagai bagian dari hak-hak asasi (setiap individu)
manusia.
Di dalam Indonesia yang liberal demokratis
hak-hak warga negara harus didistribusikan merata atas dasar keanggotaan dari
teritorial politik kebangsaan. Hak warga negaraditetapkan bukan atas dasar
keanggotaan suatu komunitas keagamaan atau komunitas primordial lainnya. Jika
suatu versi agama ditetapkan sebagai instrumen yang menentukan hak-hak warga
negara, maka warga yang meyakini versi lain suatu agama dan yang berbeda agama
akan mengalami diskriminasi konstitusional. Warga yang berbeda pemahaman
Islamnya tak bebas menjalankan keyakinannya dan dipaksa mematuhi keyakinan
Islam versi pemerintah. Warga seperti ini pun ikut ditempatkan tak setara
sebagai warga kelas dua, bersama pemeluk agama lain.
Fakta bahwa Indonesia merupakan negara bangsa
majemuk sudah menjadi pengetahuan dan rujukan studi masyarakat dunia. Buku
pegangan “Demokrasi adalah Diskusi” Departemen Luar Negeri Amerika Serikat
menyertakan Pancasila sebagai satu dari beberapa konstitusi negara-negara dunia
yang semangatnya menjadi rekomendasi bernegara. Nilai-nilai pada “Burung
Garuda” menjamin kebebasan dan kesetaraan semua entitas warga negara di wilayah
kepulauan Indonesia. “Bhinneka Tunggal Ika” merupakan modal realitas, proses,
sekaligus capaian yang selalu menyadarkan kita akan sebuah kenicayaan bahwa
kita semua berbeda namun (bagaimana agar) bisa (terus hidup) bersama(?).
Indonesia dengan kemajemukannya sangat mungkin menjadi intim dengan demokrasi liberal. “Bhinneka Tunggal Ika” merupakan ruang hidup yang menjadikan demokrasi jauh lebih baik dilaksanakan dibandingkan negara berpenduduk mayoritas muslim lainnya. Bandingkan dengan negara-negara Arab timur tengah yang relatif homogen dengan ras-etnis Arabnya.
Demokrasi di
padang pasir relatif mandek dalam penerapan dan prosesnya. Ini yang membenarkan
klaim bahwa Indonesia tak hanya sebagai negara berpenduduk muslim terbanyak,
tapi juga terbaik di dunia. Tentu kita tak rela, “Bhinneka Tunggal Ika” sebagai
modal, proses dan capaian terbaik, ke depannya malah menjadi “Bhinneka Tinggal
Islam”. []
USEP HASAN SADIKIN
Comments