Tanah Air Perempuan



Oleh USEP HASAN SADIKIN
“t(e) a ta, t(e) i ti, a, (e)n a na. Tatiana.”
Abu Bakar (diperankan Asrul Dahlan) mengejakan nama seorang perempuan. Tatiana (Alexandra Gottardo), memang namanya. Sosok perempuan yang biasa dipanggil “Mamah guru” karena mengajar anak-anak sekolah dasar (SD). Abu Bakar, yang secara usia lebih “pantas” menjadi guru, dari pada murid di bangku SD, juga ikut belajar membaca kepada Tatiana. “Kamu harusnya bangga karena masih mau belajar,” seru Tatiana memotivasi.
Tatiana berpijak di atas tanah air yang berkonflik. Timor-Timur, Indonesia. Penyelesaiannya di tahun 1999 menciptakan keberpisahan, sebagian Timor-Timur lepas dari Indonesia menjadi Timor Leste. Itu lah konteks Tatiana berpisah dengan anak laki-lakinya, Mauro. Saat mengungsi, Tatiana terpaksa meninggalkan Mauro yang sakit-sakitan di Timor Leste. Disintegrasi tak hanya melanda bangsa, tapi juga keluarga.
Motaain, adalah daerah lokasi perbatasan utara Indonesia-Timor Leste. Daerah dekat Balibo ini, menjadi beranda kedua negara bagi mereka yang terpisah. Tapi anak sulung Tatiana, yang kecewa karena ditinggalkan, tak mau bertemu sang ibu. Merry (Griffit Praticia), sang adik, menyadarkan Mauro.
Persatuan keluarga, akhirnya tercipta. Di daerah perbatasan, Motaain ternyata masih ada kecintaan “Tanah Air Pusaka”. Meski batas kesabaran hampir sampai.
Nasionalisme Merah Putih
“Tanah Air Beta” (TAB), seperti makna kuat dari kata judulnya, merupakan film tentang nasionalisme Indonesia. “NKRI harga mati!” itu bunyi tulisan fandalis di salah satu sisi tembok jalan Kota Kupang. Sebagian kita mungkin tergelitik bertanya, pentingkah nasionalisme? Haruskah kita tinggal dan mempertahankan tanah air yang hadirkan derita nestapa.
Sebagai judul, “Tanah Air” ditulis merah. Bisa ditafsirkan, tanah air dengan bingkai administrasi dan hukum negara telah hadirkan darah dan penderitaan.
Kata “Beta” ditulis putih. Bisa dimaknai gambaran suci (hak asasi) setiap diri manusia yang memperjuangkan tanah airnya. Ini mengingatkan isi pidato Presiden SBY yang mengutip ucapan John F. Kennedy. “Jangan kau tanya apa yang negara berikan kepadamu. Tapi bertanyalah, apa yang bisa kau berikan kepada negara,” ucapnya (terkesan) berwibawa. Sebuah pernyataan yang tak guna diucap pemimpin negara. Masih meragukankah nasionalisme bangsa ini? Sementara di wilayah Indonesia bagian timur, masyarakatnya masih tulus mengibarkan merah putih di atas tanah yang tandus. SBY, atau siapa pun yang memimpin, harusnya bertanya, apa yang akan diberikannya kepada rakyat dan wilayah yang dilupakan?
Ari Sihasale kembali mengangkat cerita dari dunia Indonesia yang dilupakan itu. Sebelumnya kisah semangat belajar “Denias” terbilang sukses dengan setting Papua. Melalui TAB, kisah pelik di Timor Barat, Nusa Tenggara Timur, dihadirkan. Perlu diapresasi, karena sangat banyak masyarakat Indonesia yang belum menyadari ketimpangan daerah yang jauh dari Jakarta.
Namun sayang. Alenia, rumah produksi yang menggarap TAB—gabungan nama Ari Sihasale dan Nia Zulkarnaen, tak tajam dan kurang total menguak sejarah kelam Timor-Timur. Konon, di rentang tahun 1976-1980, ratusan ribu orang meregang nyawa dalam perang antar warga dan militer. Tahun 1991, terjadi “Insiden Santa Cruz” di Dili yang menewaskan banyak mahasiswa. Film “Balibo”, garapan sineas dan jurnalis Australia, malah berani membeberkan pembunuhan wartawan asing di daerah yang suka disingkat Tim-Tim itu.
Tapi nasionalisme tetap kuat menjadi semangat Alenia. “Denias”, “Garuda di Dadaku”, dan terakhir, TAB, semuanya menawarkan nasionalisme lapak bioskop.
Perempuan dan Nasionalisme
Tatiana diceritakan sebagai tokoh yang sadar pentingnya nasionalisme. Karena kesadarannya pula, Tatiana mengajarkan, kecintaan tersebut adalah jalan persatuan. Cicilan olah pikir rasa ini mengecilkan (bahkan menghilangkan) kemungkinan terjadinya perang. Perang telah merampas nyawa suaminya, saudaranya, (sebagian) tanah airnya, masa lalunya, kebahagiaannya.
Nasib dan usaha Tatiana memungkinkan terbukanya kesadaran kita tentang konsep negara. Atas dasar apa negara dibentuk? Dan, atas dasar apa perang antar negara terjadi?
Sebagian feminis menyatakan, nasionalisme dikonstruksikan perspektif maskulin. Dasarnya adalah masculinized memory, masculinized humiliation, and masculinized hope–ingatan, penghinaan, dan harapan maskulin. (Enloe, 1990).
Perang yang menyertakan warga negara sebagai tentara dijadikan representasi nasionalisme tertinggi. Diplomasi yang menyertakan perang sebagai pilihan akhir dalam menyelesaikan konflik dinilai sebagai kekuatan suatu negara. Tak heran, saat konflik klaim budaya oleh Malaysia, (sepertinya) mayoritas masyarakat Indonesia merasa terhina dan mengesankan jantan, saat ketegangan diteruskan melalui jalan perang.
Relasi gender yang setara, tak diacuhkan para teoritikus (laki-laki) dalam membentuk konsep bangsa. Di barat sendiri, istilah “fraternity” (persaudaraan) yang satu semangat dengan “liberty” dan “equality”, merupakan bentuk kata dari kegagalan relasi gender mengkonstruksi nasionalisme. “Fraternity” berasal dari kata latin “frater” yang artinya saudara laki-laki.
Sama halnya dengan “brotherhood” yang berasal dari kata “brother”. Ini merupakan suatu ilustrasi yang tepat akan ketidakpedulian para laki-laki penggagas teori nasionalisme terhadap relasi gender.
Nasionalisme telah diimajinasikan sebagai suatu komunitas macho. Meskipun dicapai dengan cara eksploitasi dan menciptakan ketimpangan, bangsa selalu dipandang sebagai ikatan horisontal sekaligus mendalam. Pada akhirnya, fraternity inilah yang memungkinkan, jutaan orang membunuh. Tak hanya itu, mereka pun rela mati demi imajinasi “laki-laki” yang terbatas ini.
Bingkai bangsa itu memang menampung perempuan secara fisik berpartisipasi di ranah publik. Tetapi, perempuan sebatas raga yang mengambang. Ia tak menjalankan peran sentral menciptakan sejarah bangsa. Malah ia didominasi makna-makna dan relasi kekuasaan.
Lewat usaha mengajarnya, Tatiana ingin nasionalisme tak dibangun patriotisme ala laki-laki. Nasionalisme bukan gagah-gagahan berperang dan menjajah. Kita akan terhenyak ketika satu dari murid-murid kelasnya, ada yang tak mau menjadi tentara, karena bapaknya mati tertembak saat perang. Mengingatkan kita pada satu lagu yang diciptakan John Lennon dalam album ”Imagine” yang berjudul “I Don't Want To Be A Soldier”. Penggalan lirik lagu tersebut berbunyi: Well, I don't wanna be a soldier mama/ I don' wanna die/ Oh no.
Peran mengajar Tatiana adalah usaha kesadaran bahwa pendidikan tetap harus diselenggarakan. Anak-anak terlantar korban perang dan disintegrasi tak boleh selamanya menjadi korban. Nestapa, harus segara diputus dari bingkai nasionalisme maskulin. Setidaknya ini diterapkan bagi anak-anak, dan tentu saja bagi mereka yang sadar (layaknya Abu), sebagai generasi penerus.
Kita tak ingin sebagian generasi negeri ini, yang mengalami traumatik kekerasan dan perang nantinya tak bisa membaca dan mengartikan identitas ibu pertiwi. Mungkin kita kini masih mengeja dan terbata-bata menunjukkan ke-Indonesiaan kita; layaknya Abu yang membaca nama “Tatiana”. Tapi, kita harus yakin, semangat Tatiana yang sadar akan kecintaan tanah airnya bisa merubah keadaan dari tercerai berai menjadi persatuan. Dari penderitaan menuju kebahagiaan. Dari “fraternity”, menjadi “solidarity” dan “humanity”. []
USEP HASAN SADIKIN
Pegiat Kelompok Tutur Perempuan
*tulisan ini pernah dimuat di witus jurnalperempuan.com

Comments